
Oleh: Lisa Ummu Hafshah
Penulis Lepas
“Jadilah pintar” – slogan ini kerap kita dengar dalam berbagai kampanye pemerintah. Namun, realitas yang ada justru memprihatinkan. Akses belajar masih menjadi kemewahan bagi banyak rakyat Indonesia. Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya 9 tahun, setara dengan tingkat SMP (Kompas.com, 4 Maret 2025; BeritaSatu, 5 Maret 2025). Ini bukan hanya soal statistik, melainkan potret buram ketidakadilan sistemik yang terus terjadi.
Ketimpangan Akses dan Solusi Setengah Hati
Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program seperti KIP, bantuan sekolah, dan layanan gratis. Hanya saja program-program tersebut belum mampu menjangkau seluruh rakyat. Banyak yang tertinggal karena keterbatasan kuota, birokrasi berbelit, atau tinggal di wilayah terpencil yang bahkan belum memiliki fasilitas pendidikan layak.
Berbagai laporan media mengungkap bahwa rendahnya angka rata-rata lama sekolah berkorelasi kuat dengan faktor ekonomi dan ketimpangan wilayah. Di daerah-daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), fasilitas pendidikan sangat minim, guru pun sulit ditempatkan secara merata (Setneg.go.id)
Tak hanya itu, logika efisiensi anggaran membuat pemerintah semakin nyata ingin melepas tangan dari kewajiban menyediakan layanan pendidikan yang bermutu. Swasta mengambil alih, namun konsekuensi yang harus ditanggung adalah mahalnya biaya pendidikan. Maka wajar jika hanya mereka yang mampu secara ekonomi yang bisa mengakses pendidikan hingga tinggi. Sedangkan rakyat miskin? Cukup sampai SMP, itupun kalo tidak terpaksa putus sekolah lebih awal.
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga justru menjadi barang mahal yang tak semua mampu menikmati. Kapitalisme telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Maka tak heran jika akses terhadapnya sangat bergantung pada kemampuan membayar. Negara cenderung mengambil posisi fasilitator ketimbang penyedia utama layanan pendidikan. Swastanisasi pendidikan menjadi jalan keluar “efisien” bagi negara, namun menambah beban bagi rakyat. Kurikulum pun lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Mencetak generasi bermental buruh bukan mencetak manusia seutuhnya yang berilmu dan berakhlak.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Islam, yang menjadikan pendidikan sebagai bagian dari maslahah ‘ammah (kepentingan umum) dan merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya secara langsung dan menyeluruh.
Islam Memandang Pendidikan sebagai Kewajiban Negara
Dalam Islam, pendidikan bukanlah komoditas sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini. Pendidikan adalah hak mendasar seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas, gratis, dan merata untuk seluruh warga negara, tanpa diskriminasi ekonomi ataupun wilayah. Semua berhak mendapatkan akses pendidikan yang sama. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Kewajiban negara untuk mendidik rakyat juga tergambar dalam kebijakan Rasulullah ﷺ yang menebus tawanan Perang Badar dengan syarat mengajarkan membaca kepada sepuluh anak Muslim Madinah. Ini adalah contoh nyata negara memfasilitasi pendidikan bahkan dalam kondisi perang.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu yang fardhu ‘ain wajib difasilitasi negara, sementara ilmu fardhu kifayah perlu didorong demi kemaslahatan umat.
Pendanaan Pendidikan dalam Islam
Sementara dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, yang bersumber dari fai’, kharaj, jizyah, dan kepemilikan umum seperti sumber daya alam. Urusan pendidikan adalah kewajiban negara, haram hukumnya menyerahkannya kepada swasta ataupun korporasi. Negara tidak boleh bergantung pada utang luar negeri atau investasi swasta asing. Pendidikan tidak boleh diswastakan, sebab akan melahirkan ketimpangan sebagaimana terjadi hari ini.
Dari sisi kurikulum pendidikannya Islam menetapkan bahwa kurikulum pendidikan berdasarkan akidah Islam yang bertujuan mencetak generasi mukmin yang berilmu, bertaqwa dan memiliki keterampilan membangun peradaban unggul. Sangat timpang dengan kurikulum pendidikan saat ini yang difokuskan hanya sekedar mencetak buruh murah bagi pasar.
Buruknya akses pendidikan adalah konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini. Selama sistem ini dipertahankan, pendidikan akan terus menjadi hak istimewa bagi segelintir orang, bukan kebutuhan dasar rakyat.
Selama pendidikan masih tunduk pada logika kapitalisme, maka ketimpangan dan keterbatasan akses akan terus terjadi. Rakyat akan terus disuruh “pintar” namun tidak diberikan jalan yang nyata untuk mencapainya. Sudah saatnya kita menyadari bahwa solusi atas problem ini bukan tambal sulam kebijakan, tapi perubahan sistemik yang menyeluruh.
Khilafah Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjamin pendidikan sebagai hak rakyat, bukan barang dagangan. Hanya dengan sistem ini, visi mencerdaskan kehidupan umat bisa benar-benar terwujud dalam bingkai syariat.
0 Komentar