STANDAR YANG MENCIPTAKAN KESENJANGAN


Oleh: Irohima
Penulis Lepas

Kemiskinan telah menjadi persoalan yang melanda hampir sebagian besar negara-negara di dunia. Tinggi atau rendahnya angka kemiskinan dianggap sebagai indikator maju atau tidaknya sebuah negara. Setiap tahunnya, angka kemiskinan akan dipantau melalui lembaga-lembaga yang bertugas mengukur angka kemiskinan dengan standar yang ditetapkan.

Selain mengukur dengan menggunakan Garis Kemiskinan (GK) yang merupakan batas pendapatan minimal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, kemiskinan juga dapat diukur dengan menggunakan indikator seperti tingkat kemiskinan, jumlah penduduk miskin, dan kesenjangan kemiskinan.

Meski kemiskinan memiliki definisi umum yang sama hampir di setiap negara, namun standar garis kemiskinan ternyata berbeda. Jika lembaga dunia menggunakan standar global untuk membandingkan kemiskinan antar negara, sebaliknya Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS), menggunakan standar garis kemiskinan nasional yang mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia berdasarkan data pengeluaran konsumsi.

Hal inilah yang menyebabkan perbedaan standar kemiskinan yang jomplang antara Indonesia dan lembaga dunia. Bank Dunia melaporkan, bahwa terdapat 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia yang terkategori miskin, hal ini berdasarkan acuan garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper midlle income dengan standar sebesar $ 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari, sedangkan Indonesia menggunakan standar nasional sebesar $2,15 PPP per kapita per hari (detikfinance, 30/04/2025).

Kemiskinan merupakan permasalahan global yang luas dan kompleks serta selalu berkaitan erat dengan permasalahan seperti ketimpangan pendapatan, kualitas sumber daya manusia, akses pendidikan dan kesehatan, dan ketidakberdayaan masyarakat. Selain itu kemiskinan seringkali terkait dengan masalah sosial seperti marginalisasi, diskriminasi dan juga partisipasi dalam pembangunan.

Standar kemiskinan yang berbeda-beda dapat menimbulkan dampak yang signifikan dalam pengukuran dan penanganan kemiskinan. Seperti yang terjadi saat ini, perbedaan yang jomplang antara standar kemiskinan nasional dan global, membuat seseorang yang tidak terkategorikan miskin secara nasional justru masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global. Tentu, kondisi ini akan berpengaruh pada kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

Adanya perbedaan standar kemiskinan merupakan dampak dari penerapan aturan kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dengan memakai standar yang rendah, negara bisa mengklaim mampu mengatasi dan mengurangi angka kemiskinan, padahal semua hanya manipulasi angka untuk menarik investasi dan untuk menutupi kegagalan dalam menyejahterakan rakyat negeri. Penerapan aturan kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial membuat kesenjangan ekonomi yang begitu lebar di tengah masyarakat.

Dalam kapitalisme, modal dan sumber daya cenderung terkonsentrasi pada individu atau segelintir orang saja, hal inilah yang menyebabkan kesejahteraan tidak merata. Akses setiap orang juga berbeda ke pendidikan, peluang kerja dan sumber daya, dan kendali perekonomian selalu dipegang oleh pemilik modal besar. Sistem kapitalisme merupakan surga bagi para pemilik modal atau pengusaha, sebaliknya yang tidak memiliki modal akan terjebak dalam kemiskinan.

Berbanding terbalik dengan sistem Islam, sistem ekonomi dalam Islam akan mengupayakan distribusi kekayaan yang merata hingga kesejahteraan bukanlah sesuatu yang sulit untuk didapat. Dalam Islam, negara akan bertanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu, sebagaimana yang Rasulullah ﷺ katakan:

فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi yang bisa mengentaskan kemiskinan karena terbukti mampu menjamin kesejahteraan dan keadilan. Terwujudnya kesejahteraan dalam Islam disebabkan rakyat dan penguasa selalu konsisten dalam menjalankan aturan karena dorongan ketakwaan bukan karena keuntungan. Penguasa dalam Islam juga akan menunaikan dan mengelola harta umat dengan sebaik-baiknya. Selain itu, Islam melarang setiap peluang akumulasi kekayaan pada elit tertentu, hingga tidak akan terjadi konsentrasi kekayaan hanya pada satu atau beberapa titik. Islam juga tidak akan mengenakan pajak kepada rakyatnya. Pajak hanya akan diambil ketika terjadi kekosongan pada kas negara, itu pun hanya dikenakan pada orang-orang muslim yang kaya saja.

Hanya sistem Islam yang mampu merealisasikan kesejahteraan tanpa memanipulasi angka kemiskinan. Sistem Islam pula yang akan mampu mengubah standar kemiskinan menjadi standar kekayaan.

Wallahualam bis shawab

Posting Komentar

0 Komentar