
Oleh: Yuni Oktaviani
Aktivis Muslimah, Pekanbaru-Riau
Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Jika disamakan dengan usia manusia, tentu delapan puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Semakin tua umurnya, mestinya semakin tenang kehidupannya, tinggal menikmati masa-masa senja. Namun, berbeda halnya dengan Indonesia saat ini. Di usia delapan puluh tahun, justru semakin banyak kekacauan dan kezaliman yang terjadi akibat ulah penguasa, membuat rakyat jengah dan marah.
Puncaknya, banyak yang mengibarkan bendera hitam bergambar bajak laut bertopi jerami, seperti dalam serial anime One Piece. Apakah aksi ini bentuk perlawanan rakyat? Apa akar masalahnya, dan bagaimana solusinya dalam Islam?
Dikutip dari Kompas (01/08/2025), anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyatakan penolakannya terhadap aksi pengibaran bendera bergambar bajak laut One Piece yang dilakukan sejumlah masyarakat. Ia menilai penggunaan bendera tersebut bisa mengarah pada provokasi dan masuk kategori makar.
Ilusi Kemerdekaan
Bagi Indonesia, delapan puluh tahun adalah masa yang panjang dan penuh perjuangan. Para pahlawan bangsa berjuang mengusir penjajah yang hendak mengotak-atik negeri ini. Dengan keringat, air mata, darah, bahkan nyawa, mereka mempertaruhkan segalanya demi hengkangnya para penjajah, agar Indonesia merdeka.
Sayangnya, kemerdekaan itu kini hanya menjadi seremonial tahunan agar negara tak kehilangan momen sakralnya. Faktanya, penjajahan gaya baru justru diberi karpet merah, dibiarkan bebas mengobrak-abrik kekayaan Indonesia. Dialah oligarki, investor asing, dan para pemilik modal. Kekayaan alam yang melimpah hanya dinikmati segelintir elit, sementara rakyat gigit jari, menjadi korban dan objek penderitaan.
Rakyat menjerit: turunkan harga sembako, gratiskan pendidikan, murahkan biaya rumah sakit, atau berikan pekerjaan. Namun, penguasa negeri ini tak bergeming. Alih-alih mengabulkan, mereka justru menjawab dengan pajak 12 persen, impor beras, impor tenaga kerja asing, harga sembako yang terus melambung, serta pendidikan dan kesehatan yang makin sulit diakses.
Jurang antara si miskin dan si kaya kian lebar. Kemewahan pejabat negara (dari gaya hidup, cara berpakaian, hingga flexing sana-sini) kontras dengan penderitaan rakyat. Mereka ke mana-mana dengan pengawalan ketat dan mobil dinas mewah, sementara rakyat disuguhi berita pembunuhan, bunuh diri akibat kemiskinan, pelecehan seksual, bullying, judi online, hingga jebakan pinjaman daring.
Permasalahan negeri ini semakin berkelindan. Keamanan dan ketenteraman hidup yang seharusnya menjadi hak rakyat justru diabaikan. Rakyat hidup tanpa pengurusan dan perlindungan negara.
Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan
Fenomena ini lahir dari masalah yang berlangsung secara sistemik. Rakyat yang apatis dan hampir putus asa mulai menunjukkan perlawanan. Ibarat bom waktu, mereka lelah dengan hiruk-pikuk perpolitikan negeri yang kotor. Protes dan keluh kesah kaum kecil tak pernah didengar penguasa.
Puncaknya terjadi di bulan Agustus ini, ketika euforia kemerdekaan menggaung. Berkibarlah bendera hitam berlambang bajak laut, simbol yang diambil dari anime One Piece, bergambar tengkorak bertopi jerami yang merepresentasikan kebebasan, loyalitas, dan tekad baja sang kapten Luffy.
Dalam kisahnya, Luffy melawan kejahatan, ketidakadilan, dan ketamakan para penguasa. Ia pemberani dan setia kawan. Dari sini, layakkah pengibaran bendera itu disebut makar? Tentu tidak. Walau terkesan melawan, rakyat tetap mencintai negeri ini. Mereka hanya tak rela negaranya hancur oleh oligarki dan penguasa rakus.
Setiap kebijakan pemerintah condong pada elit dan pemilik modal. Hasilnya, pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya adil bagi seluruh rakyat justru dikeruk habis demi kepentingan segelintir pihak. Beginilah potret sistem kapitalisme yang meniscayakan kesenjangan sosial. Kezaliman struktural merajalela, buah dari penerapan sistem buatan manusia. Inilah akar masalah sejatinya.
Merdeka dengan Kembali pada Islam
Banyak kemudaratan di negeri ini muncul akibat penerapan sistem hidup yang tidak bersumber dari Sang Khalik. Aturan buatan manusia tak melahirkan kemaslahatan, melainkan kesengsaraan dan kesenjangan.
Sebaliknya, jika negara ini menerapkan aturan yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ï·º, keberkahan dan keridaan Allah akan tercurah. Sejarah kegemilangan Islam membuktikan hal itu, dari zaman Rasulullah hingga Kekhilafahan Turki Utsmani.
Kala itu, pemimpin amanah mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab, memastikan tak ada yang kelaparan atau terhalang akses pendidikan dan kesehatan. Bahkan, kebutuhan hidup rakyat tercukupi hingga tak ada yang mau menerima zakat.
Dalam sistem Islam, negara wajib mengelola sumber daya publik untuk kesejahteraan rakyat dan mencegah pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang atau korporasi. Negara hadir sebagai entitas berdaulat, disegani, dan melindungi seluruh umat, baik muslim maupun nonmuslim.
Imam al-Mawardi menyatakan, peran negara (imamah/khilafah) adalah menjaga agama dan mengurusi urusan dunia. Kekuasaan yang ditopang agama akan bertahan, dan agama yang ditopang kekuasaan akan kuat.
Berbeda dengan kondisi kini, di mana sekularisme kapitalisme memisahkan agama dan negara. Akibatnya, terjadi pergolakan, kerusakan, ketidakadilan, dan tingginya kriminalitas. Negara gagal mewujudkan dan menjaga ketakwaan rakyat. Hanya Islamlah ideologi yang mampu diterapkan bersama kekuasaan.
Islam terbukti menjadi aturan kehidupan yang mencakup pendidikan, ekonomi, sosial, politik, hingga peradilan. Aturan sosial seperti kewajiban menutup aurat, menundukkan pandangan, dan larangan berkhalwat mencegah perbuatan asusila. Sistem sanksi yang tegas memberi efek jera, sehingga kejahatan dapat dicegah.
Intinya, ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam bentuk negara, akan lahir masyarakat bertakwa, berlandaskan iman, dan tegas menjalankan aturan. Rakyat sejahtera, adil, dan makmur. Inilah makna merdeka yang sesungguhnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar