
Oleh: Khonsa An-Naura
Santri Ideologis
Belum lama ini, genap sudah delapan dekade Indonesia merdeka. Seyogyanya, sudah cukup umur untuk belajar dari kesalahan. Seyogyanya, sudah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun, nyatanya masih banyak masalah yang tak kunjung selesai.
Dari arah pendidikan, akses untuk sekolah yang lebih tinggi masih kurang. Kian tinggi sekolahnya, kian merosot angka partisipasi sekolah (APS)-nya. Dan tak sedikit pula sarana prasarana yang belum memadai untuk mendukung pembelajaran, khususnya di wilayah pelosok.
Dilansir dari CNN Indonesia (14/08/25), Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, mengungkapkan keprihatinannya akan adanya jurang ketimpangan antara tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sebab, APS untuk jenjang SD mencapai lebih dari 99 persen.
Namun, semakin tinggi semakin menurun signifikan hingga untuk kelompok usia 19–23 tahun hanya berkisar 30–40 persen. Secara nasional, rata-rata sekolah penduduk hanya tamat SMP, bahkan lebih miris di wilayah Papua Pegunungan banyak penduduknya belum tamat SD (berdasarkan data BPS 2024).
Pada sisi lain, masyarakat juga belum merasakan adanya pemerataan layanan kesehatan. Dikutip dari Inilah (18/08/25), warga harus berjuang keras untuk mendapatkan pelayanan terbaik ketika berobat, padahal itu adalah hak mereka sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan BPJS. Dari tiadanya ketersediaan obat, minimnya fasilitas di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), serta rumah sakit milik konglomerat yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Sungguh miris sekali, delapan puluh tahun Indonesia merdeka, layanan pendidikan dan kesehatan masih belum merata. Masih jauh dari harapan. Bagaimana bisa? Fakta mengenai dua aspek penerapan di atas adalah buah dari sistem kapitalisme. Sebab, dalam kapitalisme layanan diberikan pada swasta dan negara hanya berperan sebagai regulator.
Kapitalisme pun hanya memperhatikan daerah yang dianggap bernilai ekonomi dan mengabaikan daerah terpencil. Hal ini wajar terjadi karena sistem ini memandang pendidikan dan kesehatan hanya sebagai komoditas semata. Sehingga kualitas sekolah ditentukan oleh kemampuan finansial. Begitu pula kualitas layanan kesehatan yang susah didapatkan bagi orang miskin. Sama saja, keduanya bersifat diskriminatif.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menjadikan negara sebagai raa'in, yakni pengurus umat yang melayani kebutuhan dasar rakyat termasuk juga pendidikan dan kesehatan. Dalam Islam, pendidikan dan kesehatan adalah hak milik umat. Maka dari itu, negara akan menjamin pendidikan dan kesehatan bisa didapat gratis, berkualitas, dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi.
Selain itu, negara juga akan membangun sarana dan prasarana umat, baik yang berkaitan langsung dengan pendidikan dan kesehatan maupun yang berkaitan secara tidak langsung seperti jalan, jembatan, dan transportasi untuk mendukung akses pendidikan dan layanan kesehatan. Hal ini didukung oleh dana milik negara yang sangat melimpah karena berasal dari pengelolaan kekayaan alam oleh negara melalui baitul mal yang dikelola berdasarkan syariat Islam.
Masalah sistemik tentu harus diselesaikan dengan cara sistemik pula. Tak bisa lagi-lagi hanya berharap dengan pergantian orang. Delapan dekade berlalu dengan harapan yang sama, namun tidak berbeda jauh. Yang dibutuhkan adalah pergantian dari sistem yang batil kepada sistem yang hak, yakni sistem Islam.
Perjuangan diterapkannya sistem Islam di bawah naungan Khilafah bukan sekadar simbolik, namun perjuangan yang terarah dan terukur melalui dakwah. Jadi, mari kita perjuangkan yang hak ini.
Wallāhu Nāṣir ‘abdah.
0 Komentar