
Oleh: Ummu Zaid
Penulis Lepas
Ditemukan beberapa potongan tubuh di daerah Pacet, Mojokerto. Diduga korban mutilasi. Tidak menunggu waktu lama, polisi berhasil mengungkap pelakunya. Ternyata, pasangan kekasih, karena rasa kekesalan berlebihan, sakit hati, marah, dan juga ada tuntutan gaya hidup hedonis yang tidak bisa dipenuhi, akhirnya tega membunuh dan kemudian memutilasi jasadnya.
Ditambah lagi, mereka telah melakukan kohabitasi atau kumpul kebo, living together selama 5 bulan tanpa ikatan pernikahan. Hari ini, gaya hidup kohabitasi seolah-olah menjadi tren gaya hidup pacaran dengan mencari dalih bahwa cara seperti itu bisa mengenal pasangan sebelum menikah. Alasan lain, lebih hemat untuk biaya hidup.
Virginia Hanny, seorang psikolog, mengamati tentang tren kohabitasi yang terjadi di kalangan muda karena ada tiga alasan: pertama, tinggal bersama merupakan kemauan dari kedua belah pihak tanpa ada paksaan sama sekali; kedua, menentukan lokasi tempat tinggal dengan pertimbangan biaya hidup, sewa rumah, listrik, transportasi, dll; ketiga, mengetahui tujuan dari tinggal bersama dan menentukan batasan yang jelas.
Dalam sistem saat ini, pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari menyebabkan kerusakan moral di kalangan generasi muda dan masyarakat. Hal ini juga terjadi karena pacaran dan kohabitasi dianggap sebagai hal yang normal, tanpa ada yang perlu ditentang. Ini adalah tanda kerusakan masyarakat akibat penerapan sistem kapitalisme yang ada di tengah-tengah kehidupan mereka.
Menormalisasi pacaran dan kohabitasi justru menciptakan tren yang merusak di kalangan muda, yang merupakan dampak dari sekularisme. Cinta yang tidak didasarkan pada agama dapat menyebabkan kerusakan dan malapetaka bagi pelakunya, karena mereka mengungkapkan dan mengekspresikan cinta tanpa batas, bebas, dan tanpa peduli tentang halal-haram atau norma-norma yang ada di masyarakat. Keinginan dan hawa nafsu lebih mendominasi.
Masyarakat sekuler-liberal menganggap pacaran bukanlah hal yang tabu, bahkan jika tidak pacaran, seseorang dianggap aneh. Kumpul kebo pun tidak dianggap masalah, karena mereka merasa tidak ada yang dirugikan, menganggap diri sudah dewasa dan bisa bertanggung jawab. Tren ini dianggap wajar oleh masyarakat. Selain itu, negara juga tidak membentuk dan mengkondisikan rakyatnya untuk memahami Islam dengan benar, terutama terkait pacaran dan kohabitasi.
Dalam undang-undang, perzinahan baru menjadi tindak pidana jika ada korban yang melapor. Ini sangat miris dan mengerikan, karena kehidupan masyarakat sekuler telah merusak sendi-sendi agama dan moral generasi mudanya.
Dalam Islam, masyarakat diajarkan dan dipahamkan bahwa setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum Syara'. Artinya, setiap individu tidak bisa bertindak sesuka hati atau mengikuti hawa nafsu karena hal itu dapat membahayakan dirinya dan orang lain yang tidak langsung terpengaruh. Negara juga berperan untuk mengajarkan sistem sosial Islam. Oleh karena itu, penting untuk membangun ketakwaan individu agar menjauhi aktivitas seperti pacaran, membunuh, dan kohabitasi, karena semua itu diharamkan oleh Allah ﷻ, sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari Tuhan kamu. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 178)
Islam memerintahkan kepada manusia dalam kehidupan masyarakat untuk amar makruf nahi mungkar, terutama pergaulan bebas harus ditindak tegas dan dilarang tanpa alasan apapun, karena jelas melanggar aturan Allah ﷻ.
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنۡكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imron: 104)
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya; jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Untuk menghentikan tindakan ini dan memberikan efek jera bagi pelaku serta orang lain, sangat penting bagi negara untuk menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Negara juga harus berperan aktif membentuk rakyatnya agar memiliki kepribadian Islam melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Selain itu, negara harus menerapkan sistem pergaulan dan sanksi Islam terhadap pelaku pacaran, pembunuhan, dan kohabitasi.
Dengan aturan sanksi Islam, akan memberikan pencegahan terhadap perilaku dan menyelamatkan mereka dari sanksi akhirat. Dengan catatan yang melakukan sanksi adalah seorang Khalifah dalam sistem khilafah.
Indahnya hidup dalam naungan khilafah akan menciptakan individu, masyarakat, dan negara yang akan melakukan aktivitas sesuai aturan Allah ﷻ. Ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan negara akan terwujud di tengah kehidupan mereka. Kebahagiaan dunia dan akhirat bisa diraih.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (menetapkan hukum) di antara mereka, ialah ucapan: 'Kami mendengar dan kami taat.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51)
0 Komentar