
Oleh: Ummu Zaid
Penulis Lepas
Seorang suami yang menikah siri tega membakar istrinya hidup-hidup. Sebelum melakukan aksi keji itu, pelaku sempat mengaku telah menganiaya dan memukuli korban. Tragedi memilukan ini terjadi di Malang. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memang tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga bisa berupa kekerasan psikis, seksual, dan ekonomi. Dampaknya sangat serius: trauma, ketakutan, bahkan depresi mendalam.
Pemicu KDRT pun beragam, mulai dari rasa cemburu, emosi, hingga kemarahan yang tak terkendali, yang akhirnya berujung pada pemukulan, tendangan, bahkan pembunuhan.
Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) mencatat, sejak Januari hingga awal September 2025 terdapat 1.146 kasus KDRT di Indonesia. Padahal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah mengatur sanksi pidana berupa kurungan, denda, hingga hukuman tambahan seperti pembatasan hak-hak pelaku dan larangan mendekati korban. Namun, fakta di lapangan menunjukkan keberadaan UU ini belum mampu menekan angka kekerasan dalam rumah tangga, apalagi menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Maraknya kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan rumah tangga, tetapi juga di kalangan remaja. Misalnya, seorang remaja berusia 16 tahun di Cilincing, Jakarta Utara, tega membacok neneknya hanya karena disebut anak pungut. Kasus lain terjadi ketika seorang remaja seusia itu mencabuli dan membunuh anak perempuan berusia 11 tahun. Di Grobogan, seorang pelajar SMP ditemukan tewas setelah dikeroyok teman sekolahnya. Bahkan, yang paling menyayat hati, seorang anak berusia 15 tahun menjadi korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri.
Rangkaian peristiwa tragis ini seharusnya menggugah perhatian serius masyarakat dan negara. Mengapa kekerasan, terutama dalam rumah tangga, kian marak terjadi? Kondisi ini menunjukkan rapuhnya ketahanan keluarga. Retaknya hubungan keluarga memberi dampak langsung pada perilaku remaja yang semakin tidak terkendali, hingga memicu meningkatnya kasus kekerasan di kalangan muda.
Fenomena KDRT dan kekerasan remaja tak lepas dari pengaruh paham sekularisme, yakni pandangan hidup yang memisahkan agama dari urusan dunia. Ketika nilai-nilai agama diabaikan, keluarga kehilangan landasan takwa dan tanggung jawab moral. Pendidikan sekuler-liberal pun menanamkan kebebasan tanpa batas, menumbuhkan sikap individualistis yang perlahan mengikis keharmonisan keluarga dan perilaku remaja.
Selain itu, materialisme menjadikan kebahagiaan semata-mata diukur dari harta dan kenikmatan duniawi. Akibatnya, tekanan hidup mudah memicu stres, pertengkaran, bahkan kekerasan. Sementara itu, negara seolah abai dan melepaskan tanggung jawabnya. UU PKDRT hanya menjadi alat hukum yang bersifat reaktif (menindak pelaku setelah kejadian) tanpa menyentuh akar persoalan yang bersumber dari sistem kehidupan yang rusak.
Berbeda halnya dengan pendidikan Islam. Dalam sistem Islam, peserta didik dibentuk menjadi pribadi yang bertakwa dan berakhlak mulia, bukan sekadar berorientasi duniawi. Syariat Islam memiliki aturan yang menata peran suami dan istri dengan jelas, menjaga keharmonisan keluarga, serta mencegah kekerasan sejak awal. Allah ﷻ berfirman:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ….” (QS. an-Nisā’ [4]: 34)
Negara dalam pandangan Islam berkewajiban menjadi pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk menjaga stabilitas keluarga. Negara harus memastikan keadilan sosial, memberikan jaminan ekonomi, serta menegakkan hukum yang tegas berdasarkan syariat. Sanksi dalam hukum Islam tidak hanya memberi efek jera, tetapi juga berfungsi mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan ketentuan Allah ﷻ.
Sesungguhnya, sistem Islam adalah sistem yang sempurna dan menyeluruh. Jika diterapkan dengan iman dan ketundukan kepada Allah ﷻ, niscaya kehidupan manusia akan terjaga dari kesempitan dan kesengsaraan. Akar dari segala permasalahan yang kita saksikan hari ini adalah akibat penolakan manusia terhadap aturan Allah. Karena itu, sudah saatnya seluruh problem kehidupan dikembalikan kepada Sang Pencipta manusia, yakni Allah ﷻ.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama selain agama Allah, padahal kepada-Nya berserah diri segala yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka akan dikembalikan?” (QS. Ali Imran [3]: 83)
Referensi:
- https://www.beritasatu.com/jatim/2931933/terungkap-suami-siri-bakar-dan-kubur-istri-di-kebun-tebu-malang
- https://www.beritasatu.com/multimedia/2931881/tak-terima-dibilang-cucu-pungut-remaja-16-tahun-bacok-sang-nenek
- https://www.beritasatu.com/dki-jakarta/2931478/remaja-pembunuh-bocah-sd-terancam-hukuman-mati
- https://www.beritasatu.com/multimedia/2931499/pelajar-smp-di-grobogan-meninggal-akibat-dikeroyok-teman-sekolah
- https://medan.kompas.com/read/2025/10/18/202323278/ayah-di-dairi-lakukan-kekerasan-seksual-kepada-anaknya-sampai-30-kali
- https://goodstats.id/article/jumlah-kasus-kdrt-di-indonesia-capai-10-ribu-perkara-per-september-2025-yzCSR

0 Komentar