
Oleh: Tety Kurniawati
Penulis Lepas
Kasus penculikan anak tengah marak dan menjadi perhatian serius di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terjadi 91 kasus penculikan anak di Indonesia dengan jumlah total 180 korban anak dalam kurun waktu antara tahun 2022 hingga Oktober 2025. Data ini menunjukkan adanya tren peningkatan kasus penculikan yang signifikan.
Kasus terbaru yang dilansir dari Detik, balita 4 tahun bernama Bilqis yang hilang di Makassar dan ditemukan setelah hampir seminggu di Jambi. Bilqis merupakan korban penculikan yang dijual ke suku anak dalam di Jambi dengan surat palsu. Selain Bilqis, ada pula kasus bocah berusia 6 tahun bernama Alvaro Kiano Nugroho di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang sudah hilang selama 8 bulan. Sampai saat ini keberadaannya masih ditelusuri oleh pihak kepolisian (Detik, 15/11/2025).
Dari kasus Bilqis diketahui bahwa pelaku penculikan diduga terkait dengan sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lintas provinsi. Adapun Suku Anak Dalam (SAD) tidak terlibat dalam sindikat penculikan anak, melainkan menjadi korban penipuan dan eksploitasi oleh pelaku sindikat penculikan. Anggota komunitas adat tersebut diperdaya untuk mengadopsi anak korban penculikan dengan imbalan uang, tanpa mengetahui latar belakang anak tersebut sebagai korban tindak kejahatan.
Kapitalisme Menyuburkan Penculikan Anak
Fenomena tersebut menunjukkan hilangnya lingkungan ramah anak dan kegagalan negara menjamin keamanan di ruang publik. Hal yang lazim terjadi dalam penerapan sistem kapitalisme yang mendasarkan kegiatan ekonominya pada orientasi materi. Layanan keamanan publik, seperti patroli polisi, penerangan jalan, fasilitas publik yang terawat dan nyaman, dianggap pemborosan anggaran dan tidak menghasilkan secara finansial. Dampaknya, investasi di sektor ini cenderung diminimalkan. Terlebih di daerah yang dianggap kurang "menguntungkan" secara komersial.
Sistem kapitalisme menciptakan ketimpangan ekonomi yang signifikan, kemiskinan, dan kesulitan finansial yang dapat menjadi motif utama bagi individu untuk melakukan tindak kriminal, termasuk penculikan, baik untuk mendapatkan uang tebusan atau untuk tujuan eksploitasi ekonomi lainnya (misalnya, perdagangan manusia).
Sementara itu, tantangan sistemik penegakan hukum seperti korupsi yang merajalela di lingkungan aparat penegak hukum dan peradilan, serta ketidakadilan akses hukum antara si kaya dan si miskin, menghambat proses penegakan hukum dan menghalangi berjalannya proses hukum yang efektif. Konsekuensinya, hukum negara lemah dalam menghentikan tindakan penculikan dan perdagangan manusia.
Di lain sisi, sistem kapitalisme menganut prinsip peran negara yang minimal dalam urusan publik. Alhasil, penyediaan keamanan publik hanya berfokus pada perlindungan hak milik pribadi. Sementara itu, keamanan publik yang komprehensif disediakan ala kadarnya atau diserahkan pada inisiatif swasta. Jangkauannya pun terbatas pada mereka yang mampu membayar layanan saja. Wajar jika kemudian kejahatan yang menyasar golongan rentan seperti anak-anak, masyarakat adat, dan masyarakat miskin sulit terhindarkan.
Islam Menjamin Keamanan Generasi
Negara dalam naungan Islam mewujudkan keamanan dan mencegah kejahatan seperti penculikan maupun tindak perdagangan orang dengan mengintegrasikan peran tiga pilar.
Pertama, ketakwaan individu. Berfokus pada pembentukan individu yang beriman dan bertakwa. Sistem pendidikan Islam didesain untuk membangun pola pikir dan pola perilaku yang padu dalam kepribadian generasi. Ketakwaan individu menciptakan kesadaran yang kuat bahwa tiap tindakan melanggar aturan Allah, seperti penculikan dan perdagangan orang, adalah dosa besar dan kejahatan berat yang melanggar prinsip dasar perlindungan jiwa dalam hukum Islam. Maka, individu yang bertakwa akan menjaga dirinya jauh dari perbuatan kriminal yang mengundang hukuman Allah ï·» di dunia dan akhirat.
Kedua, kontrol masyarakat. Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam menjaga keamanan dan ketertiban diwujudkan melalui prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran). Kepedulian dan solidaritas antar sesama anggota masyarakat dimulai dari lingkungan keluarga, berlanjut hingga tercipta lingkungan yang aman dan saling menjaga. Pengawasan bersama secara otomatis akan mempersulit pelaku kejahatan melancarkan aksinya.
Ketiga, penerapan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan oleh negara. Pelaku kejahatan diganjar dengan sanksi (takdir ataupun hudud yang relevan) terhadap pelaku penculikan. Hukum ini diberlakukan bukan sekadar untuk memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga sebagai pencegah (zawajir) agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang serupa (efek jera). Penegakan hukum yang adil dan konsisten oleh aparat penegak hukum, memastikan keamanan dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Implementasi ketiga pilar inilah yang menjamin terciptanya lingkungan ramah anak, aman, di mana kejahatan penculikan bisa dicegah secara efektif.
Wallahu a'lam bish-shawab.

0 Komentar