
Oleh: Aisah
Penulis Lepas
Kita sering mendengar lirik lagu Keluarga Cemara yang menggambarkan keluarga yang hangat, nyaman, dan harmonis. Namun, keindahan lirik tersebut jauh dari realitas yang kita temukan hari ini. Justru sebaliknya, perceraian semakin marak karena pilar-pilar keluarga begitu rapuh dan mudah runtuh. Dengan pondasi keluarga yang melemah, perceraian kerap menjadi jalan terakhir, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah terjadi.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh perceraian tidak hanya membebani pasangan suami istri, tetapi juga mengganggu perkembangan anak. Anak, di usia berapa pun, berpotensi tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, merasa dikesampingkan, atau tidak dipedulikan. Ada kalanya anak-anak korban perceraian terabaikan, bahkan dititipkan pada pihak keluarga yang tidak memahami pengasuhan dan pendidikan yang benar. Nilai ketakwaan, adab, serta kasih sayang yang semestinya mereka dapatkan pun terenggut bersamaan dengan hancurnya rumah tangga kedua orang tuanya.
Lebih dari itu, maraknya perceraian yang terjadi nyatanya membawa dampak di masyarakat, terutama di kalangan muda. Hasrat untuk membentuk keluarga perlahan memudar. “Menikah untuk apa kalau akhirnya berpisah?” Pandangan semacam ini makin sering ditemui di kalangan anak muda.
Berdasarkan catatan lembaga statistik, ada lima faktor terbesar yang mendorong perceraian: konflik yang terus berulang, kesulitan ekonomi, salah satu pihak pergi dan tidak kembali, kekerasan dalam rumah tangga, serta kebiasaan mabuk. Melihat angka perceraian yang terus naik, pemerintah berusaha mengambil langkah-langkah pencegahan. Mulai dari kelas pembekalan calon pengantin, program pendampingan relasi suami–istri, hingga berbagai kegiatan penguatan keluarga.
Namun, apakah semua ini benar-benar mampu meredam laju perceraian? Faktanya, tidak. Upaya tersebut seakan memandang keluarga sebagai unit yang berdiri sendiri, sehingga solusi yang diberikan hanya menyentuh permukaan. Padahal, keluarga adalah bagian terkecil dari struktur sosial dan negara; ia berada dalam lingkup sistem yang jauh lebih besar. Karena itu, terlalu sederhana jika persoalan keluarga dicoba diselesaikan tanpa mempertimbangkan sistem yang menaunginya.
Kini, keluarga Muslim hidup dalam sistem sekuler-kapitalisme, sebuah tatanan yang menempatkan materi sebagai ukuran utama. Akibatnya, banyak pasangan menikah bukan karena ingin menyempurnakan ibadah, tetapi lebih karena dorongan hawa nafsu atau mencari keuntungan tertentu. Pendidikan sekuler pun tidak pernah menanamkan bahwa pernikahan adalah bagian dari ibadah.
Di saat yang sama, sistem kapitalisme liberal melahirkan gaya hidup bebas yang semakin meluas di masyarakat. Demi mengejar kesenangan sesaat, berbagai perilaku menyimpang dibiarkan begitu saja, bahkan tidak tersentuh hukum selama dilakukan atas dasar suka sama suka.
Sistem kapitalisme juga menciptakan kondisi hidup yang makin menekan ekonomi masyarakat. Beban pajak yang berat, peluang kerja yang minim, serta harga kebutuhan yang terus meroket membuat persoalan dalam rumah tangga kian menumpuk. Seluruh aspek kehidupan (pendidikan, politik, ekonomi, hingga sosial) yang dibentuk oleh kapitalisme saling terkait dan bersama-sama melemahkan ketahanan keluarga. Apa pun upaya yang ditempuh tidak akan mampu menghentikan laju perceraian selama akar kerusakannya, yaitu kapitalisme, masih dibiarkan berdiri.
Rapuhnya struktur masyarakat berawal dari lemahnya institusi keluarga di dalamnya. Keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena menjadi tempat tumbuhnya generasi yang kelak akan melanjutkan perjalanan sebuah bangsa. Maka tidak mengherankan bila keruntuhan keluarga pada akhirnya turut menyeret keruntuhan masyarakat secara keseluruhan.
Kita perlu memahami bahwa keluarga yang kuat hanya dapat berdiri kokoh bila ditopang oleh sistem yang juga kuat, salah satunya melalui pendidikan. Orang tua memang memegang peran utama dalam mempersiapkan kebutuhan anak, tetapi pendidikan di rumah harus sejalan dengan kurikulum yang ditetapkan negara. Negara pun seharusnya menjadi ruang pendidikan yang sehat, bukan justru tercemar oleh arus informasi dari media cetak maupun media sosial. Faktanya, media sosial hari ini dipenuhi tontonan bernuansa liberal yang mendorong gaya hidup bebas.
Ketahanan keluarga juga sangat dipengaruhi oleh penerapan sistem ekonomi Islam di tingkat negara. Sistem ini memastikan setiap individu memperoleh kesejahteraan, karena negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja sekaligus akses pendidikan yang layak bagi setiap anggota keluarga.
Keluarga yang kokoh dan generasi yang kuat tidak akan muncul dari sistem sekuler-kapitalisme. Satu-satunya tatanan yang mampu melahirkan generasi unggul adalah sistem yang agung, yang berasal dari Allah ï·», yaitu sistem Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a'lam bish-shawab.

0 Komentar