CACAT LOGIKA HARGA DIRI BANGSA DALAM KEPUNGAN BENCANA


Oleh: Ummu Zamzama
Teman Surga Community

Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar menyatakan kapasitas Pemerintah masih kuat dalam penanganan bencana di Sumatra, sehingga bantuan dari pihak luar belum dibutuhkan.

"Kita masih kuat, ngapain? Kita masih kuat kok," ujar Muhaimin Iskandar di Jakarta, Senin (8/12/2025), dikutip dari Antara.

Menurut sang Menteri, pemerintah dan relawan terus bekerja dengan maksimal dalam menangani situasi bencana, baik itu di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Proses evakuasi dan pemberian bantuan terus dipercepat.

Senada dengan itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono menyampaikan bahwa Indonesia masih dapat melakukan penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatra secara mandiri, sehingga bantuan dari negara-negara sahabat masih belum diperlukan saat ini.


Cacat Logika

Pernyataan pejabat pemerintah ini menunjukkan cacat logika. Seolah, demi harga diri bangsa, pemerintah menampik tawaran bantuan dari negara asing untuk mengatasi bencana banjir bandang yang menerjang Sumatra. Sungguh sangat ironis penolakan itu terjadi ketika kondisi masyarakat sudah sangat darurat.

Menurut update Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 8 Desember 2025, sekitar 3.022 infrastruktur di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mengalami kerusakan parah hingga tidak dapat lagi diakses oleh warga. Sebanyak 1.200 fasilitas umum seperti jalan, pom bensin, dan sarana untuk kepentingan masyarakat umum lainnya mengalami kerusakan. Tak hanya fasilitas umum saja, kerusakan pun terjadi pada sekitar 534 fasilitas pendidikan, mulai dari gedung-gedung sekolah hingga universitas, sehingga kegiatan pembelajaran pun terpaksa dihentikan untuk sementara. Sebanyak 435 jembatan yang tersebar di seluruh Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat juga luluh lantak.

Akibatnya, banyak warga yang terjebak di daerahnya karena akses yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya telah terputus. Kemudian, 420 rumah ibadah mengalami kerusakan. Sebanyak 234 gedung atau kantor juga tak bisa diselamatkan. Sekitar 199 fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan klinik lumpuh total sehingga tidak bisa memberikan perawatan yang dibutuhkan oleh warga.

Belum lagi korban jiwa yang berjatuhan sudah ribuan. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Selasa (16/12/2025) pukul 09.30 WIB, bencana ini telah mengakibatkan 1.030 orang meninggal, 205 orang hilang, dan sekitar 7.000 orang terluka. Separah ini kondisi Sumatra, Jakarta masih gaduh soal penetapan status bencana dan prosedur penanganannya, sambil sesumbar tak butuh bantuan dari luar. (Kontan, 16/12/2025)

Keputusan itu benar-benar cacat logika. Perbaikan kehidupan warga pasca-bencana membutuhkan banyak sumber daya. Para ahli kebencanaan memperingatkan bahwa tanpa dukungan internasional, pemulihan wilayah terdampak di Sumatra bisa memakan waktu hingga 20-30 tahun jika sepenuhnya bergantung pada kemampuan pemerintah. Bahkan disebut-sebut bencana ini berpotensi membuat kemiskinan di Aceh semakin parah dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

Sungguh, pemerintah telah menampilkan teater politik murahan atas nama harga diri bangsa. Publik patut bertanya, apa ukuran harga diri bangsa itu? Apakah dengan sikap menolak bantuan? Ataukah dari seberapa kemampuan negara dalam menyelamatkan nyawa rakyatnya?


Tobat Paradigma

Sepatutnya, para pemimpin negeri mayoritas Muslim ini merenungkan pesan mulia dari Baginda Rasulullah ï·º:

ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan Rasulullah ini sangat tegas. Ukuran kepemimpinan yang sukses itu adalah sejauh mana memenuhi kebutuhan rakyatnya, apalagi dalam kondisi darurat bencana seperti yang menimpa Sumatra. Oleh karenanya, sikap menolak bantuan yang sangat dibutuhkan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan.

Kalau kita telisik, frasa harga diri bangsa itu adalah bentuk kemunafikkan penguasa selama ini yang super sibuk mengemis investasi dan utang asing yang mengandung riba hingga menggadaikan sumber daya alam yang sejatinya adalah harta milik rakyatnya.

Dalam perspektif Islam, harga diri adalah kemuliaan. Dan kemuliaan itu adalah bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah ï·»:

ÙˆَÙ„ِÙ„ّٰÙ‡ِ الْعِزَّØ©ُ ÙˆَÙ„ِرَسُÙˆْÙ„ِÙ‡ٖ ÙˆَÙ„ِÙ„ْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِÙŠْÙ†َ
Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan Kaum Mukmin.” (QS. Al-Munafiquun: 8)

Selayaknya, para pejabat pemerintah negeri Muslim terbesar ini mengintrospeksi diri dan melakukan tobat paradigma. Harga diri yang mereka maksud, hendaknya bukan omong kosong di depan mikrofon dan kamera, melainkan diimplementasikan secara nyata dalam bentuk kecepatan tanggapan dalam menangani bencana. Mendahulukan nyawa-nyawa kritis daripada prosedural birokratis. Dan yang terpenting adalah semua itu dilakukan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sebagai pemimpin dan pengatur urusan rakyat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Dalam hal bantuan, Islam tidak melarang bantuan asing untuk membantu korban bencana sepanjang itu sangat dibutuhkan dan tidak berkonsekuensi kepada rusaknya akidah, menghina martabat Islam, mengandung intervensi apalagi menjajah. Islam mengajarkan bahwa menyelamatkan nyawa manusia adalah prioritas utama (Maqashid Syariah). Menolak bantuan yang sangat dibutuhkan saat nyawa terancam dapat dikategorikan melalaikan kewajiban menjaga jiwa.

Rasulullah ï·º pernah meminta bantuan non-Muslim dalam hal teknis atau kemaslahatan umum, seperti saat menyewa penunjuk jalan (Abdullah bin Uraiqit) saat hijrah.

Rasulullah ï·º juga pernah mengirimkan bantuan ke Makkah saat penduduknya (yang saat itu masih memusuhi Islam) dilanda bencana kelaparan. Rasulullah tetap mengirimkan bantuan pangan sebagai bentuk kasih sayang dan misi kemanusiaan universal (Rahmatan lil 'Alamin).

Meski begitu, Islam melarang ketergantungan kepada asing yang menyebabkan negara hilang kedaulatan, baik kedaulatan politik maupun ekonomi. Semoga para pejabat di negeri ini mampu menerjemahkan dengan benar bahwa harga diri itu tidak pernah dilahirkan dari kemunafikan, tetapi ia lahir dari sikap amanah dan ketaatan kepada Allah ï·».

Wallahua'lam.

Posting Komentar

0 Komentar