PRAY FOR SUMATRA, EKONOMI KAPITALISME MEMBUAT SENGSARA


Oleh: Ledy Ummu Zaid
Penulis Lepas

Bencana dahsyat yang melanda Pulau Sumatra, berupa banjir bandang dan tanah longsor telah menarik perhatian besar dari seluruh masyarakat. Antara 23 hingga 25 November 2025, wilayah Sumatra Barat (Sumbar), Sumatra Utara (Sumut), dan Aceh diguncang bencana yang memakan banyak korban. Kejadian ini tidak hanya mengguncang langsung, tetapi juga berhasil menggugah warga dunia maya. Hashtag #prayforsumatra pun menjadi viral di media sosial, menyatukan solidaritas dan kepedulian masyarakat dari berbagai penjuru dunia.


Bencana Sumatra Memakan Banyak Korban Jiwa

Dilansir dari laman Detik (08/12/2025), korban bencana Sumatra yang meninggal dunia mencapai 950 orang. Lebih dari 5.000 orang terluka, dan 274 orang masih dinyatakan hilang. Data ini didapat dari Dashboard Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang baru saja dirilis pada Senin (8/12).

Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumbar, Sumut, dan Aceh ini juga mengakibatkan 850 ribu orang mengungsi. Adapun daerah yang terdampak bencana berjumlah 52 kabupaten dan kota. Setidaknya 156 ribu rumah, 435 jembatan, 1.200 fasilitas umum, dan 534 sekolah rusak akibat bencana dahsyat yang terjadi di tiga provinsi tersebut.

Sejalan dengan itu, dilansir dari laman CNN (08/12/2025), deforestasi dan pembalakan liar diduga menjadi penyebab utama bencana banjir dan longsor di Pulau Sumatra. Tak terelakkan lagi, banyak kayu gelondongan ikut terseret banjir. Sementara itu, Kementerian Kehutanan telah menemukan lima lokasi penebangan hutan ilegal.

Dirjen Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho mengatakan bahwa terdapat kerusakan lingkungan di hulu daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru dan Sibuluan. Menurutnya, hilangnya hutan di sekitar lereng dan hulu DAS dapat menurunkan kemampuan tanah dalam menyerap air. Dengan demikian, hujan ekstrem lebih cepat berubah menjadi aliran permukaan yang kuat dan memicu banjir serta longsor.

Di tempat yang berbeda, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa meski status bencana nasional belum diturunkan, penanganannya sudah seperti bencana nasional, seperti yang dilansir dari laman Kompas (02/12/2025). Menurutnya, sejak hari pertama pemerintah sudah turun langsung dan all out. Tito juga mengatakan para menteri sudah datang ke lokasi bencana dengan mengerahkan semua kekuatan nasional. Ia menilai hal yang terpenting saat ini adalah tindakan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk membantu penanganan bencana ini.


Ekonomi Kapitalisme Penyebab Bencana Sumatra

Jika kita melihat lebih dalam, bencana yang terjadi di Pulau Sumatra ini bukan sekadar faktor alam dan ujian hidup semata. Ini juga merupakan pengingat dari Sang Pencipta akibat ulah manusia itu sendiri. Kita lihat saja kayu-kayu gelondongan yang turut hanyut dalam banjir sebagai bukti bahwa negara melegalisasi penggundulan hutan.

Faktanya, negara mengizinkan banyak perusahaan swasta bahkan asing untuk mengkonsesi lahan di Pulau Sumatra guna memperluas perkebunan sawit. Kemudian, pembukaan tambang baru, baik untuk organisasi masyarakat (ormas) maupun perusahaan, semakin dimuluskan. Apalagi didukung dengan Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) serta UU Cipta Kerja yang hanya menguntungkan kalangan elit saja.

Alih-alih melindungi ekosistem alami dan sumber daya alam (SDA), negara ternyata mendukung kerusakan lingkungan. Inilah gambaran nyata negara telah meninggalkan hukum Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam mengatur kehidupan. Tak ayal, banyak kerusakan terjadi di berbagai sektor, baik riil maupun non-riil.

Penguasa dan pemilik modal akan senantiasa melancarkan aksinya untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, rakyat semakin hidup dalam keterbatasan dan penjajahan yang tidak ada habisnya. Sebagai contoh, penanggulangan bencana Sumatra ini tampak lambat dan tidak optimal karena belum ditetapkannya sebagai bencana nasional.

Sistem ekonomi kapitalisme yang seharusnya menjadi biang kerok dari persoalan umat ini telah membawa kondisi yang semakin parah. Kebijakan penguasa yang salah acapkali datang dari pesanan para elit kapitalis. Untuk melancarkan bisnisnya, pemerintah kita tak segan menjual jutaan hektar lahannya untuk diubah menjadi industri atau perkebunan sawit.


Islam Sangat Menjaga Lingkungan

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam sangat menjaga lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan manusia sebagai khalifatullah fil ardh atau pemimpin di bumi. Dengan demikian, tugas manusia adalah menjaga kelestarian alam dan harmoni dalam kehidupan. Jika yang dilakukan sebaliknya, maka kehancuranlah yang didapat.

Dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (TQS. Ar-Rum: 41).

Daulah (negara) tentu akan menerapkan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh untuk mengatur segala lini kehidupan. Sistem ekonomi Islam akan mengatur SDA agar dipelihara oleh negara demi kemaslahatan rakyat. Swasta dan asing tentu dilarang untuk menguasainya. Pembabatan hutan habis-habisan seperti saat ini jelas telah melanggar hukum syarak.

Selanjutnya, pemeliharaan lingkungan akan diserahkan kepada ahlinya. Daulah akan mengutus para ahli lingkungan untuk melestarikan alam, mencegah bencana, dan memberikan pembiayaan terbaik untuk penanggulangan bencana alam. Hal ini karena daulah memiliki baitul mal yang pemasukannya stabil.

Seorang khalifah tentu menjadikan pengurusan umat dalam rangka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Keselamatan umat agar terhindar dari dharar (bahaya) menjadi prioritas dalam hidupnya. Begitu pula dengan rakyat yang senantiasa amar makruf nahi mungkar, termasuk kepada penguasa.

Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya al-imam (khalifah) adalah perisai, di mana orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung dengan kekuasaannya.” (HR. Bukhari & Muslim).


Khatimah

Meski donasi dari masyarakat terus berdatangan, status bencana nasional belum juga diturunkan pemerintah. Oleh karenanya, korban bencana semakin dibuat sengsara karena lambatnya bantuan dari seluruh elemen masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme, Islam dengan negaranya, Khilafah Islamiyyah, akan memelihara dan menolong umat dengan cepat dan tanggap. Dengan demikian, sudah seharusnya umat bersatu menginginkan perubahan sistem yang hakiki, yakni penerapan syariat Islam kaffah.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

0 Komentar