
Oleh: Tuti Awaliyah, S.Sos
Penulis Lepas
Di era teknologi yang serba cepat saat ini, kehidupan digital telah menjadi ruang baru bagi manusia untuk berinteraksi, belajar, dan bekerja. Namun, kemudahan yang ditawarkan dunia digital menyimpan konsekuensi yang tidak kecil bagi generasi muda kita. Gadget dan media sosial kini justru menjadi sumber stres, kecanduan, dan kerentanan mental.
Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi teratas sebagai negara dengan tingkat kecanduan gawai yang sangat tinggi. Laporan Digital 2025 Global Overview mencatat sebanyak 98,7% penduduk Indonesia usia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk online, melampaui Filipina dan Afrika Selatan yang mencapai 98,5%. Tak hanya itu, rata-rata waktu online harian masyarakat Indonesia juga tinggi, mencapai 7 jam 22 menit, lebih lama dari rata-rata global yang hanya 6 jam 38 menit (CNBC Indonesia, 26/04/2025).
Kecanduan gadget dan media sosial telah menjadi masalah yang serius di Indonesia. Banyak generasi muda yang akhirnya mengalami gejala digital dementia, penurunan kemampuan berpikir dan mengingat akibat konsumsi gawai berlebihan. Gejala lainnya termasuk rasa cemas, sulit tidur, kesulitan fokus, kesepian, dan cenderung menarik diri dari interaksi nyata.
Ketika Data Manusia Menjadi Komoditas
Industri digital global bergerak berdasarkan satu prinsip utama: keuntungan. Perusahaan teknologi berlomba-lomba membuat aplikasi yang mampu menangkap perhatian manusia selama mungkin. Semakin lama seseorang berada dalam aplikasi, semakin besar keuntungan yang didapat perusahaan, baik dari iklan maupun dari data yang dikumpulkan.
Generasi muda Indonesia, yang merupakan populasi internet terbesar di Asia Tenggara, menjadi pasar empuk. Pengawasan terhadap perusahaan digital masih minim, akibatnya anak-anak dan remaja terpapar konten tanpa batas, tanpa filter, dan tanpa perlindungan yang memadai. Negara juga tampak tidak memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif media digital. Tidak ada pembatasan usia untuk menggunakan media sosial. Padahal, media sosial dan kecerdasan buatan (AI) terbukti berbahaya bagi kesehatan mental.
Pandangan Islam
Kemajuan teknologi tidak bisa dihentikan, tetapi dampaknya bisa dikendalikan. Kita tidak boleh membiarkan generasi muda tenggelam dalam dunia digital yang tidak diawasi dan tidak manusiawi. Krisis kesehatan mental bukan sekadar masalah psikologis individu; ia adalah cerminan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kerja industri digital.
Oleh karena itu, perlu adanya perubahan sistem yang lebih melindungi generasi muda. Dalam Islam, negara memiliki visi dan misi mewujudkan generasi terbaik sekaligus pemimpin peradaban, sehingga berkomitmen kuat terhadap kualitas generasi muda. Dalam sistem ini, negara akan melakukan langkah-langkah preventif untuk membentengi generasi muda dari pengaruh dunia digital yang negatif.
Negara dapat melakukan pengawasan ketat terhadap konten media yang dapat diakses oleh generasi muda. Hanya konten yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dapat diakses oleh masyarakat. Konten-konten yang tidak Islami dan merusak akan mendapatkan sanksi. Selain itu, negara juga bisa membatasi usia yang dapat mengakses media sosial, sehingga anak-anak dan remaja dapat terlindungi dari dampak negatifnya.
Pendidikan berbasis akidah juga bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini. Dengan pendidikan berbasis akidah, generasi dapat dibentuk menjadi pribadi yang kuat dan tangguh, tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif media digital. Mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang berkarakter, berakhlak mulia, serta mampu menghadapi tantangan zaman dengan bijak.
Wallahu a'lam bishawab.

0 Komentar