
Oleh: Intan A L
Pegiat Literasi
Fenomena maraknya judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) di kalangan generasi muda bukanlah sekadar persoalan moral individu (Detik, 17/01/25). Ini adalah masalah sistemik. Generasi muda hari ini hidup di tengah himpitan ekonomi, ruang digital yang tak ramah, dan sistem yang menjadikan mereka target pasar, bukan pihak yang dilindungi.
Fakta menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Pemuda dengan ekonomi terbatas menjadi sasaran empuk iklan judol dan pinjol karena algoritma digital yang membaca kelemahan dan kebiasaan pengguna. Data menunjukkan sekitar 58% Gen Z menggunakan pinjol untuk kebutuhan gaya hidup dan hiburan, bukan kebutuhan darurat. Di saat yang sama, jumlah rekening pinjaman usia muda terus melonjak, sebagaimana dicatat OJK. Ini menandakan adanya masalah struktural, bukan sekadar salah kelola keuangan pribadi.
Masalah ini tidak lahir di ruang hampa. Sistem kapitalisme menciptakan tekanan ekonomi: lapangan kerja sempit, upah rendah, dan biaya hidup tinggi. Dalam kondisi terdesak, sebagian anak muda tergoda mencari jalan pintas, judol menjanjikan kemenangan instan, pinjol menawarkan uang cepat tanpa proses panjang. Padahal, keduanya justru menjerumuskan pada lingkaran utang, kecanduan, dan kehancuran mental.
Lebih dari itu, negara gagal hadir sebagai pelindung generasi. Sistem pendidikan yang sekuler dan materialistis tidak membentuk ketahanan moral, hanya mengejar capaian materi. Lingkungan sosial pun menormalisasi gaya hidup instan, flexing, dan kesenangan sesaat. Akibatnya, tindakan spekulatif dan berisiko dianggap wajar.
Di ruang digital, persoalan semakin parah. Platform dikuasai logika kapitalisme, di mana algoritma dirancang bukan untuk keselamatan pengguna, melainkan untuk profit. Konten yang memicu emosi, adiksi, dan impuls justru diprioritaskan karena menghasilkan klik dan uang. Generasi muda direduksi menjadi komoditas, datanya dijual, kebiasaannya dieksploitasi, dan kelemahannya dimanfaatkan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa solusi tambal sulam (seperti imbauan moral atau literasi keuangan semata) tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik.
Islam menawarkan solusi yang menyeluruh. Sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan individu per individu, memastikan kebutuhan pokok terpenuhi tanpa bergantung pada utang berbunga atau praktik spekulatif. Dengan jaminan ekonomi yang adil, generasi tidak dipaksa mencari jalan pintas yang merusak.
Pendidikan Islam membentuk kepribadian Islam, di mana setiap tindakan diukur dengan halal dan haram, bukan sekadar untung dan rugi. Ini membangun kontrol diri yang kuat, bukan ketakutan semu pada sanksi hukum.
Lebih jauh, infrastruktur digital dalam sistem Khilafah dibangun di atas paradigma Islam. Negara bertanggung jawab menyaring konten merusak, mencegah normalisasi maksiat dan kriminalitas, serta memastikan teknologi melayani kemaslahatan manusia, bukan sebaliknya.
Akhirnya, generasi Muslim harus sadar jati dirinya, bukan sekadar konsumen atau korban algoritma, melainkan pembangun peradaban. Kesadaran ini lahir melalui pembinaan Islam yang benar dan aktivitas dakwah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.
Jika generasi terus dibiarkan diburu algoritma kapitalisme, kehancuran hanyalah soal waktu. Namun, dengan Islam sebagai sistem kehidupan, generasi justru dapat menjadi pelopor perubahan dan kebangkitan peradaban.
Wallahu 'alam bishshawwab

0 Komentar