MUSIBAH DARI TUHAN, BANTUAN MASIH TERTAHAN


Oleh: Winda Raya, S.Pd., Gr
Aktivis Muslimah

Air datang lagi, perlahan namun pasti, menenggelamkan harapan yang belum sempat pulih. Hari demi hari berlalu, genangan tak juga surut, sementara warga belajar hidup berdampingan dengan kegelapan dan ketidakpastian. Banjir menghantam perumahan warga. Di balik rumah-rumah terendam dan wajah-wajah letih, tersimpan pertanyaan yang sama: sampai kapan bencana ini dibiarkan berulang tanpa jawaban yang benar-benar menyelesaikan?

Warga kini hanya dapat menanti surutnya genangan air serta kembalinya aliran listrik agar jalur komunikasi kembali berfungsi dan aspirasi mereka bisa tersampaikan. Banjir yang berlangsung lama ini menyisakan cerita pilu tentang ketangguhan warga yang bertahan dalam kondisi gelap dan sepi. Di gang-gang yang masih terendam, ratusan keluarga menggantungkan harapan pada datangnya bantuan, cahaya, dan kabar yang menenangkan.

Di tengah situasi tersebut, kondisi cuaca belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan memprediksi potensi terjadinya banjir rob kembali pada 1–9 Desember. Masyarakat hanya bisa memanjatkan doa agar rob tersebut tidak meluas ke wilayah yang airnya mulai menyusut. (Detik, 01/12/2025)

Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, mengungkapkan bahwa lima gardu induk milik PLN di kawasan Medan Utara dan Medan Marelan mengalami kerusakan akibat banjir yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Kerusakan tersebut menyebabkan pemadaman listrik di sejumlah wilayah.

Ia menjelaskan bahwa perbaikan di wilayah Medan Utara, seperti Medan Labuhan, Deli, dan Belawan, telah mulai dilakukan. Namun, untuk wilayah Medan Marelan, proses perbaikan belum dapat dilaksanakan karena kondisi banjir yang masih menggenangi area tersebut.

Tadi kami rapat dengan PLN, ada 5 gardu induk yang terkena atau rusak. Menyebabkan listrik padam di Medan Utara dan Marelan,” ujar Rico. (Tribun News, 29/11/2025)

Selama empat hari berturut-turut, warga Terjun di Kecamatan Medan Marelan menjalani kehidupan tanpa aliran listrik, tanpa jaringan komunikasi, dan tanpa respons bantuan yang memadai. Situasi ini menjadi cermin pahit bahwa kehadiran negara kerap tampak kuat dalam baliho dan slogan, tetapi rapuh ketika diuji di lapangan. Dalam kondisi darurat, masyarakat justru dipaksa bertahan dengan kemampuan sendiri menggunakan perahu darurat dari styrofoam, mencari air bersih secara mandiri, serta menghadapi malam-malam panjang tanpa penerangan.

Lumpuhnya lima gardu induk listrik yang dibiarkan berhari-hari tanpa penanganan cepat mengungkap lemahnya ketahanan infrastruktur vital. Sistem kelistrikan yang seharusnya menjadi layanan publik utama ternyata tak mampu bertahan menghadapi banjir yang sebenarnya bersifat musiman. Akibatnya, warga kehilangan hak-hak mendasar, mulai dari penerangan, akses informasi, rasa aman, hingga jalur komunikasi untuk meminta pertolongan.

Kondisi semakin memburuk ketika jaringan telekomunikasi ikut terputus. Tanpa sinyal, warga benar-benar terisolasi dari dunia luar. Mereka tidak dapat mengabarkan kondisi darurat, tidak mengetahui informasi cuaca, dan tidak memiliki kepastian kapan bantuan akan datang.

Dalam sistem yang berjalan saat ini, keselamatan masyarakat seolah ditentukan oleh faktor alam dan keberuntungan semata, bukan oleh kesiapsiagaan negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung.

Fakta bahwa banjir terjadi hampir setiap tahun di wilayah yang sama namun tetap menimbulkan dampak besar menunjukkan kegagalan serius dalam perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan. Sungai yang tidak dinormalisasi, drainase yang buruk, serta ketiadaan langkah pencegahan jangka panjang memperlihatkan bahwa kebijakan yang diambil cenderung bersifat reaktif, bukan preventif. Penanganan baru dilakukan setelah warga menjadi korban, bukan sebelum bencana datang.

Runtuhnya rasa aman menjadi dampak lanjutan yang tak kalah mengkhawatirkan. Dalam kondisi gelap total, warga tidak hanya menghadapi ancaman banjir, tetapi juga rasa takut akan tindak kriminal seperti pencurian dan penjarahan. Ketika keamanan lingkungan sepenuhnya bergantung pada ronda swadaya warga, hal itu menjadi sinyal kuat bahwa negara sedang absen dari peran dasarnya sebagai penjaga keselamatan jiwa dan harta masyarakat.

Secara keseluruhan, peristiwa ini bukan sekadar bencana alam, melainkan potret kegagalan sistemik dalam tata kelola negara. Bencana berubah menjadi krisis kemanusiaan karena lemahnya infrastruktur, minimnya kesiapan, dan lambannya respons. Jika kondisi seperti ini terus berulang tanpa evaluasi menyeluruh dan solusi berkelanjutan, maka penderitaan warga akan terus menjadi harga yang harus dibayar atas kelalaian negara dalam menjalankan tanggung jawabnya.

Dalam pandangan Islam, bencana tidak dipahami semata-mata sebagai peristiwa alam, melainkan sebagai cermin tanggung jawab kepemimpinan. Syariat menetapkan bahwa negara memiliki kewajiban penuh untuk memastikan sarana publik dibangun kuat dan siap menghadapi situasi darurat. Energi dan kelistrikan sebagai bagian dari kepemilikan umum harus dikelola langsung oleh negara dengan standar mutu tertinggi. Upaya pencegahan ditempatkan sebagai prioritas utama, bukan hanya penanganan setelah bencana terjadi. Penataan wilayah, perbaikan sungai, serta langkah-langkah mitigasi harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan, bukan sekadar program sementara. Dalam kondisi apa pun, termasuk saat bencana, keamanan masyarakat tetap menjadi tanggung jawab negara.

Sistem Islam tidak membiarkan masyarakat menghadapi kesulitan seorang diri dalam kegelapan dan keterbatasan. Negara hadir di garis terdepan dengan tindakan yang cepat, tepat, dan penuh kepedulian, karena seorang pemimpin dipandang sebagai penanggung jawab atas rakyatnya yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ï·».

Islam menawarkan sebuah sistem kehidupan yang tidak hanya hadir untuk menolong setelah musibah terjadi, tetapi juga mampu mencegah bencana.

Sudah saatnya menjadikan Islam sebagai landasan tata kelola kehidupan agar negara benar-benar berfungsi sebagai pelindung, bukan sekadar penonton, di tengah musibah yang menimpa rakyat.

Wallahu a'lam Bissawwab.

Posting Komentar

0 Komentar