
Oleh: Khusnul
Penulis Lepas
Bencana longsor hingga banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa wilayah lainnya. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian buka suara terkait belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap bencana banjir dan longsor di Sumatra Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar). Ia menuturkan, meski status bencana nasional belum ditetapkan, penanganan bencana di wilayah tersebut tetap dilakukan setara dengan bencana nasional.
“Untuk penetapan status bencana nasional sementara ini belum, setahu saya. Tetapi, perlakuannya sudah nasional dari hari pertama,” kata Tito dalam keterangannya, Senin (01/12/2025), dikutip dari laporan jurnalis Kompas TV (02/12/2025).
Penyebabnya tidak hanya karena faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya. Banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara menilai banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah beberapa waktu belakangan bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, mengatakan banjir tersebut juga merupakan dampak kerusakan hutan yang masif dan alih fungsi lahan. Berdasarkan catatan Walhi, dalam 10 tahun terakhir, 2.000 hektare hutan di Sumut rusak.
“Perusakan hutan di sana itu disebabkan, ya, dipicu, ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatera Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini, pemicu utamanya adalah kerusakan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi nonhutan,” kata Rianda dalam konferensi pers, Senin (01/12/2025). (CNN Indonesia, 02/12/2025)
Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau sekadar ujian semata, melainkan dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi oleh kebijakan penguasa. Penguasa, di antaranya, memberikan hak konsesi lahan tanpa pertimbangan yang matang: apakah ketika izin diberikan akan menimbulkan dampak signifikan terhadap kerusakan alam atau tidak.
Selain itu, terdapat praktik obral izin perusahaan sawit. Sebagian pihak memandang sawit sebagai tanaman yang “sama” seperti tanaman lain sehingga tidak menjadi masalah jika kawasan hutan diganti dengan sawit. Padahal, keputusan semacam ini semestinya melalui kajian yang lebih mendalam, termasuk dampak jangka panjang akibat penggantian hutan menjadi tanaman sawit.
Di sisi lain, ada pula pemberian izin untuk tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan lain-lain. Semuanya cenderung lebih menguntungkan pihak pengusaha, bukan rakyat. Maka, banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra merupakan salah satu dampak kerusakan lingkungan akibat penerapan aturan yang hanya berbasis asas keuntungan, bukan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
Sikap penguasa seperti ini sangat niscaya dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Dalam sistem ini, rakyat bukan prioritas yang harus diperjuangkan untuk disejahterakan. Rakyat hanyalah pion untuk meraup keuntungan demi mencapai kesejahteraan pribadi.
Dalam kondisi seperti itu, wajar jika penguasa dan pengusaha kerap bersekongkol untuk menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan. Tanpa perlu memperhatikan kerugian jangka pendek maupun jangka panjang, selama masih bisa meraup keuntungan, segala jalan akan ditempuh. Sistem demokrasi kapitalisme yang rusak akan melahirkan penguasa zalim yang hanya mementingkan kepentingan pengusaha karena memberi kontribusi positif bagi kesejahteraan pribadinya.
Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terutama pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Dalam sistem demokrasi kapitalis, hal itu sering dianggap tidak perlu dipusingkan. Ketika kepentingan terusik, mereka memilih “langkah seribu” untuk menghindari kesalahan dan mencari kambing hitam atas kejadian tersebut. Inilah efek negara yang meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan.
Ketika hukum Allah diterapkan, kesejahteraan dan keamanan akan tercapai. Sebaliknya, ketika hukum Allah ditinggalkan, masyarakat yang menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa menikmati hasil hutan dengan bergelimang kesejahteraan untuk pribadi mereka.
Dalam ajaran Islam diterangkan dalam Al-Qur’an bahwa kerusakan di bumi terjadi akibat ulah manusia. Sebagaimana makna Surah Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Karena itu, di sini kita semua perlu berintrospeksi diri, terutama para penguasa dan pengusaha: apakah selama ini yang mereka lakukan menyalahi hukum Allah atau tidak. Jika menyalahi hukum Allah, segeralah bertobat dan melakukan pembenahan dalam segala bidang; jangan saling melempar kesalahan dan bersembunyi.
Selain itu, sebagai wujud keimanan kepada Allah, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan agar keberkahan di langit dan di bumi diturunkan oleh Allah.
Negara dalam sistem Islam juga harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan melalui pengelolaan yang benar. Dalam Islam, kesejahteraan rakyat merupakan prioritas utama negara. Jika pengusaha menimbulkan dampak negatif bagi alam dan umat manusia, negara harus melarang dan bertindak tegas.
Pengelolaan sumber daya alam juga harus memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan hidup dan kemungkinan bencana yang dapat terjadi. Jika sumber daya itu sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan rakyat, negara harus memikirkan cara agar tambang dapat diambil tanpa merusak lingkungan, serta menghindari bencana yang mungkin terjadi.
Negara juga harus siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor melalui pertimbangan para ahli lingkungan. Jangan mengabaikan peringatan para ahli karena mereka menguasai bidangnya. Peringatan mereka ditujukan untuk kesejahteraan dan kebaikan rakyat, bukan untuk mencari keuntungan.
Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim (2363) dari Anas bin Malik: (أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ) “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” Intinya, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa umatnya lebih memahami urusan duniawi, seperti teknologi pertanian, dan menyerahkan urusan teknis duniawi kepada ahlinya sambil tetap berpegang pada bimbingan agama. Ini menunjukkan Islam mendorong penggunaan ilmu pengetahuan dan keahlian untuk kemajuan dunia selama tidak bertentangan dengan prinsip agama, serta sangat memperhitungkan pertimbangan para ahli di bidangnya.
Dari sini tampak jelas bahwa hanya dengan hukum Allah negara dapat meminimalisasi terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Dengan regulasi, sarana, dan prasarana yang tepat guna serta tepat sasaran, negara dapat bertindak tanpa menghitung untung rugi.
Kesejahteraan diperoleh dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tetapi alam tetap terjaga karena pengelolaan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan, bukan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Seorang khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan memfokuskan setiap kebijakannya pada keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar.
Para ahli di bidangnya difasilitasi dan diberdayakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, bukan disingkirkan karena merugikan kerja sama yang menguntungkan pribadi. Bahkan, jika sangat dibutuhkan, negara dapat membentuk sekolah khusus untuk mengembangkan tenaga ahli agar tidak bergantung pada tenaga ahli dari luar negeri.
Selain itu, khalifah akan merancang blueprint tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, menata kawasan permukiman dengan semua daya dukungnya, serta memisahkan kawasan industri, tambang, dan hima sesuai tata kota.
Dengan begitu, keamanan rakyat lebih terjaga dan sumber daya untuk mencukupi kebutuhan rakyat dapat terpenuhi. Industri dan tambang dikelola dengan baik sesuai kebutuhan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Insyaallah, ketika semua itu diterapkan, Allah akan menurunkan keberkahan di langit dan di bumi untuk seluruh umat manusia.

0 Komentar