ADA APA DIBALIK KEMENANGAN GOLPUT DALAM SURVEI LITBANG KOMPAS?


Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Kalau ada yang menilai PDIP memiliki elektabilitas tertinggi, anda keliru. Kalau ada yang berfikir PDIP akan menang jika Pemilu dilaksanakan hari ini, Anda salah. Dalam survei yang dirilis Litbang Kompas, yang jagoan itu Golput.

Mari kita lihat hasilnya. Dalam rilis hasil survei elektabilitas parpol versi Litbang Kompas pada Januari 2021, ditemukan fakta : elektabilitas PDIP: 19,7%, Gerindra: 9,6%, PKB: 5,5%, PKS: 5,4%, Demokrat: 4,6%, Golkar: 3,4%, NasDem: 1,7%, PAN: 0,8%, Perindo: 0,6%, PPP: 0,5%, Berkarya: 0,4%, Hanura: 0,2%, PSI: 0,2%, Garuda: 0,1%, PBB: 0,0%, PKPI: 0,0%, dan siapa juaranya ? Ternyata GOLPUT JUARANYA. Suara Golput mencapai angka 47,3%.

Angka Golput, melebihi total keseluruhan elektabilitas partai yang lolos parlementiary Threshold dengan patokan 4 %. Suara PDIP, Gerindra, PKB, PKS dan Demokrat masih dibawah angka golput (total 45 %).

Itu artinya, kalau pemilu dilaksanakan hari ini dan PDIP menang, kemenangan PDIP dibandingkan angka Golput, atau kemenangan PDIP, Gerindra, PKB dan PKS dibanding angka Golput (47,3 %) masih kalah jauh. Itu artinya, pemerintahan yang dibangun dari hasil Pemilu tidak legitimate karena tidak didukung mayoritas suara rakyat.

Pertanyaan, ada apa dibalik angka Golput yang tinggi ini?

Mungkin Anda mengira, ini karena Propaganda Tulisan Sastrawan Politik yang selama ini menyerang Demokrasi tanpa ampun. Dampaknya, publik khususnya Umat Islam enggan bahkan menjauh dari kontestasi politik yang dihelat oleh sistem demokrasi.

Kalau Anda mengira demikian, saya bisa membenarkan. Sebagian saja, tidak sepenuhnya. Sebab, tingginya angka Golput lebih disebabkan:

Pertama, kekecewaan pada Proses Pemilu dan Pilpres 2019, termasuk kecewa pada hasilnya, dan kecewa pada Jagoan yang dibela. Praduga Pilpres curang, Kematian 894 KPPS, sejumlah korban demo protes hasil Pilpres, hingga pengkhianatan Prabowo pada konstituennya, adalah sebab yang paling melatarbelakangi tingginya angka Golput.

Umat menganggap, tak ada bedanya ikut memilih atau tidak memilih. Selain dikecewakan oleh proses, dan hasil pilihan, Umat juga dikecewakan oleh Calon Pemimpin yang katanya akan timbul dan tenggelam bersama rakyat.

Jadi, untuk menghukum pemenang maupun yang melegitimasi kemenangan, umat melakukan Golput. Sampai di sini, Golput hanya dapat dipahami sebagai sebuah saluran untuk mengekspresikan kekecewaan politik.

Kedua, ada kesadaran yang menghinggapi benak umat Islam, bahwa persoalan yang dihadapi bukanlah soal rezim semata melainkan juga soal sistem. Karena itu, merubah keadaan melalui Pemilu dan Pilpres sama saja 'mengaduk aduk lumpur'.

Umat mulai paham peta jalan menuju perubahan rezim dan sistem, melalui aktivitas dakwah ditengah Umat, yang bertumpu pada kekuatan umat, bukan pada agenda Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Karena itu, Golput diambil bukan sekedar ekspresi kemarahan tetapi juga perlawanan ideologis untuk mendelegitimasi rezim dan sistem.

Ketiga, makin jelasnya gambaran tentang rezim dan sistem pengganti yakni penerapan syariat Islam secara kaffah melalui penegakan institusi Khilafah, membuat Umat berkonsentrasi dengan dakwah untuk merealisasikan visi ini. Hal mana, menjadikan umat berkonsentrasi dengan dakwah dan ogah terlibat atau menghabiskan energi terlibat dalam Pemilu dan Pilpres atau Pilkada.

Kenyataan ini dapat diindera oleh siapapun. Realitas politik ini, yang saat ini menyebabkan seluruh partai politik merasa ketar ketir. Mereka, tak lagi dipandang sebagai saluran aspirasi politik Umat.

Jika demikian, survei Litbang Kompas yang menyebut ada 47,3 % angka Golput, adalah tanda bahwa perubahan besar di negeri ini akan segera terjadi. Mari berjuang, untuk mewujudkan perubahan sejati, yakni perubahan rezim dan sistem dengan menegakkan Khilafah. [].

Posting Komentar

0 Komentar