MEMBANGUN KEJUJURAN DALAM KOMITMEN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA


[Catatan Hukum Atas Sejumlah Problem Hukum Di Negeri Lahan Kriminalisasi dan Diskriminasi]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Penulis sebenarnya ingin segera memberikan apresiasi atas sejumlah komitmen hukum yang disampaikan para petinggi di Negeri ini. Namun, setelah mengaitkan dengan fakta di lapangan, juga beberapa fakta historis, akhirnya penulis menundanya hingga ditemukan bukti sahih atas sejumlah komitmen yang diunggah pejabat.

Misalnya, ketika Presiden meminta ingin dikritik. Bukan hal yang buruk, bahkan layak di apresiasi. Namun, ketika melihat Fakta Ali Baharsyah di penjara karena mengkritik kebijakan Presiden yang akan menetapkan kebijakan Darurat Sipil mendampingi Kebijakan PSBB, rasanya pernyataan Presiden yang ingin dikritik menjadi tidak penting untuk dibahas, apalagi di apresiasi.

Belum lagi, ketika mengingat fakta historis yang menyebut Presiden kangen didemo, namun pada saat ada demo di istana, ingin bertemu dan menyampaikan aspirasi kepada Presiden, kenyataannya Presiden justru 'kabur'. Yang terakhir, saat Jakarta ramai oleh Demo Penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja, Presiden justru pergi ke Kalimantan 'meninjau' Itik (bebek).

Begitu pula, ketika Kapolri ikut latah menyalahkan UU ITE, menyetujui wacana revisi UU ITE yang digulirkan Presiden. Bukan tak mau percaya atau memberikan apresiasi, tetapi rakyat butuh bukti.

Penulis ingat betul, ketika Idham Azis menjabat Kapolri. Ada beberapa yang terburu-buru mengelu-elukan Kapolri yang dekat dengan ulama, bahkan video Kapolri bersama Ustad Das'ad Latief viral, meminta Kepolisian berlaku humanis pada pendemo. Kenyataannya?

Sejumlah tindakan kepolisian yang represif menindak pendemo di zaman Tito Karnavian juga terjadi di era Idham Azis. Bahkan, penembakan brutal yang dilakukan anggota Polda Metro Jaya kepada 6 anggota laskar FPI, terjadi di era Idham Azis. Sejumlah penangkapan aktivis dan ulama termasuk terhadap Gus Nur, juga terjadi di era Idham Azis.

Karena itu, penulis tak mau gegabah dengan tergesa-gesa mengunggah kalimat apresiasi, sebelum ada bukti. Bukti yang ada, sejumlah kriminalisasi dan diskriminasi yang terjadi di era rezim Jokowi bukanlah karena UU ITE. Tetapi karena politik hukum Presiden dan Kebijakan Penegakan Hukum Polri yang represif terhadap pengkritik pemerintah.

UU ITE di era SBY biasa saja, meski norma pasalnya lebih kejam. Saat itu, delik pencemaran (pasal 27 ayat (3) UU No 12/2008 ancaman pidananya 6 tahun hingga bisa ditahan. Di era Jokowi, telah direvisi sehingga ancaman pidananya hanya 4 tahun sehingga tidak bisa digunakan untuk menahan tersangka. (UU No 19/2016)

Pada faktanya, pasal pencemaran selalu di kaitkan dengan pasal pidana kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA pada pasal 28 ayat (2) UU ITE yang ancaman pidananya 6 tahun. Sehingga, tersangka UU ITE ditahan oleh Polri.

Jadi, keliru besar jika problem ketidakadilan hukum itu dikambinghitamkan kepada UU ITE. Padahal, problemnya ada pada penegak hukum. Penegak hukum yang selalu memproses laporan, bahkan membuat laporan internal, untuk menangkap aktivis. Termasuk, ketidakadilan akibat selalu ditolaknya permohonan penangguhan penahanan yang diajukan tersangka atau keluarganya.

Terlebih lagi, di masa pandemi kezaliman lebih masif. Berdalih pandemi, terdakwa tidak dihadirkan di pengadilan. Semua protes telah dilayangkan, nyatanya semua tidak diindahkan.

Jadi, sebenarnya yang diinginkan rakyat itu bukti bukan janji. Bukti itu diberikan dengan perbuatan, tindakan, kebijakan. Bukan kata-kata berulang yang terdengar membosankan.

Kalau benar hukum tidak adil, UU ITE bermasalah. Segera, hentikan semua kasus penyidikan berdasarkan UU ITE. Segera, bebaskan atau minimal berikan penangguhan kepada semua tersangka atau terdakwa berdasarkan UU ITE. Jangan hanya bicara dan mengeluh tentang ketidakadilan, tetapi terus melestarikan kezaliman.

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, butuh narasi kejujuran untuk mengelola negeri ini. Rakyat, sudah muak dengan ujaran dusta yang hanya bersandar pada permainan kata-kata.

Bukankah, mudah bagi Presiden menutup semua kasus kriminalisasi? Melalui Kapolri, Presiden bisa perintahkan Kapolri terbitkan SP3 pada semua kasus kriminalisasi dan diskriminasi ditingkat penyidikan. Melalui Jaksa Agung, Presiden bisa perintahkan keluarkan kebijakan Deponering untuk mengesampingkan semua perkara yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan. Dan melalui kewenangan dirinya, Presiden bisa keluar Grasi, Amnesti dan Abolisi.

Bukankah semua itu mudah bagi Presiden? Kenapa tidak dilakukan? Kenapa, hanya sibuk dengan kata-kata dan janji-janji? Bukankah, tindakan nyata lebih membekas ketimbang orasi dan janji-janji?

Penulis tidak tahu, apakah bangsa ini didesain untuk dikelola dengan dusta dan kata-kata. Yang jelas, sulit sekali mengharapkan bangsa ini maju, jika tidak ada narasi kejujuran dalam membangun bangsa dan Negara. [].

Posting Komentar

0 Komentar