
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Ada seorang Ikhwan yang memberikan semangat, sekaligus mengingatkan bahwa perjuangan masih panjang. Tanpa bermaksud mengalihkan maksud dari nasehat dan lecutan semangat yang ingin disampaikan, penulis memberikan komentar sederhana : perjuangan itu singkat, yang panjang dan kekal itu menikmati hasil perjuangan.
Perjuangan itu hanya sampai mati, setelah mati tak ada lagi perjuangan. Kalau besok kita mati, maka perjuangan itu hanya sampai besok. Kalau sebulan lagi kita mati, maka perjuangan itu hanya satu bulan lamanya. Kalau setahun lagi kita mati, maka perjuangan itu hanya satu tahun lamanya. Begitu seterusnya.
Namun, siapa yang menjamin hidup kita sampai tahun depan? Atau bulan depan? Atau Minggu depan? Atau minimal sampai besok? Bukankah kematian itu rahasia Allah SWT? Berapa banyak kawan dan sahabat kira yang telah dahulu dipanggil Allah SWT?
Karena itu, perjuangan itu pendek, bahkan sangat pendek. hanya sampai mati. Setelah mati, tak ada lagi perjuangan. Setelah mati, kita menunggu saat menghitung hasil perjuangan. Setelah masuk surga, barulah kita menikmati hasil perjuangan.
Di surga, kita menikmati hasil perjuangan dalam waktu yang lama, bahkan abadi selamanya. Itu, jika kita berjuang hanya untuk agama Allah SWT, untuk tegaknya hukum Allah SWT dimuka bumi.
Karena waktu berjuang itu pendek, maka marilah berlomba lomba dalam kebajikan. Berlomba, untuk memberikan usaha dan pengorbanan terbaik, untuk dakwah Islam.
Kalau kita paham berjuang itu pendek waktunya, sangat sebentar, hanya sampai mati. Lantas, apa alasannya kita bermalas-malasan dalam dakwah?
Kalau kita paham berjuang itu pendek waktunya, sangat sebentar, hanya sampai mati. Lantas, apa alasannya kita masih peritungan untuk berkorban demi dakwah?
Kalau kita paham berjuang itu pendek waktunya, sangat sebentar, hanya sampai mati. Lantas, apa alasannya kita masih memiliki urat takut pada rezim zalim?
Bukankah, ketakutan tidak menunda ajal sebagaimana keberanian tidak mendekatkan ajal? Bukankah, sedikitnya bagian kehidupan tidak mengurangi kebahagiaan yang kekal di akhirat? Bukankah, zalimnya penguasa tidak memaksa kita untuk ingkar, sebagaimana keadilan penguasa tidak menjamin kita untuk selamat?
Sebagian manusia, menyesal pada keadaan. Sebagian yang lain, masih mempertanyakan takdir yang menimpa. Sementara kita?
Kita adalah hamba Allah SWT yang beriman, husnudz dzan pada semua takdir-Nya dan yakin atas pertolongan dan kemenangan. Karena itu, bahagia lah dalam kepayahan dan pengorbanan untuk dakwah. [].
0 Komentar