
[Catatan Politik Kemelut Wacana Perubahan UU Pilkada dan Pelaksanaan Pilkada dan Pemilu Tahun 2024]
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Elit politik saat ini sedang terbelah, antara yang pro dan kontra perubahan UU No 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) sekaligus pelaksanaan Pilkada Tahun 2024 berdasarkan Ketentuan UU No 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot (baca : UU Pilkada). Mereka saling 'ngotot' untuk menggolkan misi politik dengan berbagai argumentasi.
Bagi yang Pro Revisi UU Pemilu dan Pilkada, selalu mengedepankan alasan kualitas Demokrasi dan hak rakyat untuk mendapatkan pemimpin sesuai aspirasinya. Bagi yang kontra, berdalih fokus menghadapi Pandemi Covid-19 dan agar UU konsisten dijalankan dan tidak mudah diutak-atik.
Sebenarnya, alasan utama isu perubahan UU Pemilu dan Pilkada ini hanyalah soal perebutan kekuasaan antara elit partai. Sementara kita rakyat, tak mendapat benefit apapun dari konflik mereka. Mereka hanya sibuk mencari, memperoleh, dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam sistem Demokrasi, setelah terpilih pemimpin bukan berfikir menyejahterakan rakyat. Tetapi berfikir, bagaimana dengan kekuasaannya bisa terpilih kembali pada periode berikutnya.
Maka tidak aneh, baru selesai Pemilu, pemerintahan baru jalan satu tahun, elit sudah sibuk memikirkan Pemilu untuk 4 tahun mendatang. Incumbent berusaha mempertahankan kekuasaan, sementara oposisi berusaha mencuri kursi kekuasaan dari incumbent. Begitu seterusnya.
Adapun untuk memahami 'Konflik Elit Partai' terkait wacana perubahan UU Pemilu dan Pilkada ini, dapat saya ringkas kedalam beberapa poin sebagai berikut :
Pertama, sumber konflik antara elit partai adalah pada ketentuan pasal 201 UU 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2014 tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot menjadi UU.
Dalam ketentuan pasal ini, para Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yang periode jabatannya selesai di tahun 2022 dan 2023, yakni Para Gubernur, Bupati dan Walikota yang periode jabatannya Tahun 2017-2022 dan Tahun 2018-2023, tidak dilakukan Pilkada (Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota) pada tahun 2022 dan tahun 2023. Melainkan dibarengkan dengan Pemilu yang pelaksanaannya diundur pada tahun 2024.
Kedua, pada Tahun 2022 dan Tahun 2023 tidak ada Pilkada (Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota). Sehingga, partai tidak memiliki peluang untuk merebut kekuasaan di Daerah melalui Pilkada 2022 dan 2023.
Partai bisa mencuri kursi kekuasaan, jika UU Pilkada diubah. Yakni, dengan mengubah ketentuan pasal 201 dengan mengamanatkan dilaksanakannya Pilkada pada tahun 2022 dan tahun 2023 untuk jabatan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023.
Ketiga, PDIP mengunci posisi politik dengan menolak Revisi UU Pilkada, berikutnya diikuti Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Dengan kekuasaan eksekutif ada pada kekuasaan PDIP, melalui Presiden Jokowi PDIP bisa 'mengkooptasi' kekuasaan di daerah melalui pengaktifan ketentuan pasal 201 ayat 9, 10 dan 11.
Melalui aktivasi pasal 201 ayat 9, 10 dan 11, PDIP bisa menaruh 'Orang Dalam' untuk mendukung visi partai melalui penempatan Pimpinan Tinggi Madya untuk menduduki jabatan Gubernur dan Pimpinan Tinggi Pratama untuk menempati jabatan Bupati dan Walikota, yang kosong pada tahun 2022 dan tahun 2023.
Golkar kemungkinan 'telah bernegosiasi' dengan PDIP tentang postur pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota yang kosong pada tahun 2022 dan tahun 2023. Golkar punya banyak stok kader di Birokrat, Golkar tak mau ketinggalan 'Kue Gratisan' ini dan tak mau semua kue kekuasaan melalui penempatan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota dikuasai oleh PDIP sendiri.
Mengingat, sebelumnya Golkar termasuk yang ngotot minta revisi UU Pilkada. Belakangan, Golkar ikut irama PDIP. Tentu Golkar tak mau merapat tanpa kompensasi, salah satu kompensasi yang patut diduga diterima Golkar, adalah PDIP akan berbagi kursi kekuasaan di daerah bersama Golkar untuk mengisi jabatan kepala daerah yang kosong di tahun 2022 dan 2023.
Memang benar, bukan kader PDIP dan Golkar langsung yang menempati karena syaratnya harus birokrat dengan kualifikasi Pimpinan Madya dan Pratama. Namun publik sudah paham, banyak birokrat yang terafiliasi dengan partai bahkan binaan partai, yang siap mengabdi untuk merealisasikan visi dan misi partai.
Entahlah, apakah Gerindra, Nasdem, PKB, PPP dan PAN mendapat jatah atau diajak ikut mengisi jabatan kekuasaan di Daerah yang kosong di tahun 2022 dan 2023. Yang jelas, posisi tawar Golkar lebih kuat dan Golkar punya banyak cadangan kader di Birokrat.
Keempat, karena itu Demokrat dan PKS ngotot UU Pilkada di revisi. Karena jika UU Pilkada tidak diubah, tak ada kesempatan PKS dan Demokrat untuk mempertahankan Kader mereka yang habis periode jabatannya sebagai kepala daerah di 2022 dan 2023, tak punya kesempatan pula untuk mencuri posisi kepala daerah di 2022 dan 2023 yang sebelumnya dikuasai partai lain, karena peluang itu ditutup jika tak ada revisi UU Pilkada.
Tak ada revisi, berarti tak ada Pilkada ditahun 2022 dan tahun 2023. Artinya, Demokrat dan PKS harus siap 'Gigit Jari' karena kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota di tahun 2022 dan 2023 akan dikuasai oleh PDIP dan Golkar (kemungkinan, Gerindra, PKB, PAN dan PPP juga hanya menjadi penonton, kalaupun kebagian hanya sekedar permen pemanis).
Untuk menguatkan argumentasi, dua partai ini akan mengeksploitasi kekacauan pelaksanaan Pilkada, Pemilu dan Pilpres langsung tahun 2019. Hal ini, akan menjadi alasan materiil tuntutan perubahan UU Pilkada dan Pemilu.
Kelima, ada tujuan secara khusus untuk mengunci Anies Baswedan yang habis jabatannya di tahun 2022. Anies Baswedan tak akan bisa ikut Pilkada di DKI tahun 2022, DKI akan ditunjuk pejabat pimpinan madya (tentu orangnya Jokowi atau PDIP), sehingga Anies selama 2 tahun hingga 2024 nganggur.
Saat 2024 Anies akhirnya pecah konsentrasi. Apakah mau fokus menjadi Gubernur DKI Jakarta kembali dengan ikut Pilkada DKI, atau langsung melenggang ke Pilpres 2024. Keadaan ini, menyebabkan Anies tak bisa mengkapitalisasi kekuasaan di DKI untuk meningkatkan elektabilitas menuju Pilpres 2024.
Jika UU Pilkada direvisi, 2022 Anies Baswedan bisa ikut Pilkada DKI Jakarta dan berpotensi menang. Selama 2022 hingga 2024 Anies Baswedan bisa fokus bekerja untuk DKI Jakarta sekaligus membangun legacy sebagai modal meningkatkan elektabilitas. Dan tahun 2024 Anies Baswedan bisa ikut Pilpres 2024. Itu artinya, Anies Baswedan dapat peluang keduanya.
Keenam, ditiadakannya Pilkada tahun 2022 dan tahun 2023 sekaligus penunjukan pejabat Gubernur, Bupati dan walikota tahun 2022 dan tahun 2023 akan sangat menguntungkan PDIP. Sebab, otoritas penunjukan pejabat Gubernur, Bupati dan walikota tahun 2022 dan tahun 2023 ada pada Presiden Jokowi, yang tak lain adalah petugas partai PDIP.
PDIP juga paham, jika Pilkada 2022 dan 2022 diadakan, akan banyak posisi Kepala Daerah yang selama ini dikuasai PDIP akan direbut partai lainnya. Mengingat, PDIP paham partainya saat ini sedang berada di titik nadir.
PDIP sedang mempertahankan kekuasaan, sambil membeli waktu berharap ada perubahan situasi politik di 2024. Hingga PDIP memiliki kesiapan elektabilitas, untuk bertarung di Pemilu dan Pilkada 2024.
Begitulah, realitas politiknya. Jadi, jangan percaya narasi pilkada tahun 2022 dan 2023 ditiadakan karena pemerintah mau fokus menangani pandemi covid-19. Toh, pada 2020 yang lalu, Pilkada tetap jalan meskipun rakyat kompak menolak karena situasi pandemi.
Jangan pula tersihir dengan narasi 'demi kualitas demokrasi' atau 'rakyat butuh memilih pemimpinnya'. Itu semua narasi basi. Intinya, semua hanyalah soal merebut dan mempertahankan kekuasaan. [].
Nb.
1. Tulisan ini adalah Pengantar Diskusi Cangkruk'an Cak Slamet, yang akan diselenggarakan pada Senin malam (15/2).
2. Lampiran Pasal Krusial :
UU 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2014 tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot menjadi UUPasal 2011. Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.2. Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017.3. Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.4. Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018.5. Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.6. Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.7. Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.8. Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.9. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.10. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.11. Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.12. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) diatur dengan Peraturan KPU.
0 Komentar