
Oleh: Abu Siddiq
Penulis Lepas
Bayangkan sebuah pohon tua yang pernah melindungi dua burung kecil dari terik mentari dan hujan badai. Dahulu, pohon itu kokoh berdiri, memberikan sarang, makanan, dan keteduhan. Namun ketika batangnya mulai rapuh dan daunnya mulai luruh, dua burung kecil yang kini telah tumbuh dan bisa terbang ke mana saja, justru memilih meninggalkan pohon itu. Bahkan, lebih dari sekadar meninggalkan, mereka membiarkannya ditebang, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Begitulah kisah pilu Mbah NK, seorang ibu berusia 74 tahun asal Surabaya, yang di hari tuanya justru dititipkan oleh anak-anaknya ke panti jompo. Alasannya klise: sang ibu tak bisa berjalan, sementara anak-anaknya sibuk bekerja. Tragisnya, mereka bahkan bersedia menandatangani surat pernyataan untuk tidak menjenguk ibunya sampai wafat, dan tidak perlu dikabari jika ibunya meninggal. Sebuah syarat yang sejatinya dibuat agar mereka berpikir ulang, namun mereka justru menyanggupinya dengan mantap.
Apa yang membuat seseorang tega menanggalkan kasih yang seharusnya paling suci, kasih kepada ibu? Apakah hanya karena kesibukan? Keterbatasan? Atau ada yang lebih dalam dari sekadar alasan lahiriah?
Realitas hari ini menunjukkan bahwa anak durhaka bukanlah satu-dua kasus, melainkan gejala sistemik. Kita hidup dalam dunia yang mengajarkan bahwa nilai manusia bergantung pada manfaatnya. Ketika seorang ibu sudah tak bisa memberi, maka ia dianggap beban. Ketika perawatan fisik dan mentalnya mengganggu kenyamanan, maka menitipkan ke panti dianggap solusi "masuk akal".
Masyarakat kini tak lagi membentuk cinta berlandaskan iman, melainkan efisiensi. Hubungan keluarga yang seharusnya hangat justru menjadi hubungan transaksional. Maka tak heran jika birrul walidain (berbakti pada orang tua) berganti menjadi birrul ekonomi, apakah masih untung memelihara orang tua?
Namun sebelum kita menghakimi anak-anak itu terlalu jauh, mari kita bertanya: dari pohon yang mana mereka tumbuh? Mungkin mereka besar tanpa pelukan yang cukup. Mungkin mereka dibesarkan oleh orang tua yang dulu juga disakiti sistem. Mungkin mereka tak pernah mendapat pendidikan ruhani yang mengakar. Mereka bukan hanya pelaku, mereka juga korban, korban dari sistem kehidupan sekuler yang mencabut ruh Islam dari akar keluarga.
Padahal Islam memuliakan orang tua setinggi langit. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
“Janganlah kamu mengatakan kepada mereka perkataan ‘ah’ dan janganlah membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23)
Jika mengeluh saja dilarang, apalagi meninggalkan ibu tanpa kepastian, tanpa kasih, tanpa kunjungan hingga ajal menjemput.
Islam tidak sekadar menyuruh anak untuk berbakti. Islam membangun sistem agar anak mampu berbakti. Sistem pendidikan Islam membentuk pribadi bertakwa sejak kecil. Masyarakat Islam menciptakan atmosfer saling menasihati. Negara Islam menjamin keluarga berjalan di atas nilai-nilai Rabbani. Semua itu melahirkan anak-anak seperti Uwais al-Qarni, yang tak dikenal di bumi, tapi masyhur di langit karena baktinya kepada sang ibu.
Maka ketika kita menyaksikan video viral tentang anak-anak yang meninggalkan ibunya, kita tidak cukup hanya marah dan mencaci. Kita harus sadar bahwa selama sistem kehidupan kita tak berubah, kasus seperti Mbah NK akan terus terulang. Kita butuh perubahan menyeluruh, bukan hanya pada hati anak, tapi pada akar sistem yang membentuk cara berpikir mereka.
Sebab hanya dengan sistem Islam yang kaffah, pohon tua itu akan tetap dirawat, dipeluk, dan disiram hingga akhir hayatnya, bukan ditebang oleh tangan anaknya sendiri.
0 Komentar