DANANTARA: INVESTASI UANG RAKYAT, SIAPA YANG UNTUNG?


Oleh: Diaz
Jurnalis

Agenda townhall Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) kembali menarik perhatian publik. Acara itu digelar pada Senin, 30-06-2025 di Wisma Danantara, Jakarta Selatan, dan dihadiri langsung oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto bersama jajaran menteri Kabinet Merah Putih. Agenda ini dimaksudkan untuk mengonsolidasikan arah investasi nasional melalui Danantara.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur harus terus dilanjutkan guna menunjang program-program prioritas Prabowo. Selain itu, pertemuan tersebut juga menekankan pentingnya memperkuat ketahanan pangan dan energi, serta meningkatkan kualitas hidup rakyat melalui sektor pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. AHY juga menjelaskan bahwa Danantara Indonesia, sebagai badan pengelola investasi negara, mulai menunjukkan daya tarik dan kepercayaan dari berbagai pihak internasional, yang menandakan potensi besar lembaga ini sebagai katalis pembangunan lintas sektor.

Di sisi lain, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, menambahkan bahwa Prabowo turut membahas skema sektor perumahan agar lebih tepat sasaran dan efisien, serta menyampaikan bahwa untuk tahun ini tidak ada pinjaman luar negeri dalam bidang perumahan, sebuah langkah yang disambut positif sebagai wujud kemandirian pembangunan nasional.

Namun, di balik gegap gempita narasi optimisme yang digaungkan pemerintah, terselip satu pertanyaan mendasar yang tak boleh diabaikan: jika dana yang digunakan untuk mendukung proyek-proyek besar ini bersumber dari uang rakyat (baik melalui pajak, utang negara, maupun investasi berbasis dana publik) maka siapa yang sesungguhnya menjamin keuntungannya? Dan lebih penting lagi, siapa yang benar-benar menikmati hasil dari proyek-proyek tersebut? Apakah keuntungan itu akan kembali kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, serta pengentasan kemiskinan yang nyata? Ataukah justru hanya segelintir elit dan korporasi besar yang menikmati hasilnya, sementara rakyat tetap menanggung beban dan risiko finansialnya?


Ketika APBN Dijadikan Modal Investasi

Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Prof. Rossanto Dwi Handoyo, menyoroti perbedaan mendasar antara Danantara Indonesia dan lembaga pengelola investasi negara lainnya seperti Temasek Holdings di Singapura. Ia menjelaskan bahwa Temasek menjalankan investasinya dengan memanfaatkan cadangan devisa negara, yang secara prinsip memang disiapkan untuk menopang kebijakan ekonomi strategis jangka panjang.

Sebaliknya, Danantara justru mengambil sumber dananya dari hasil efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berasal dari berbagai kementerian. Ini berarti, dana yang sejatinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang bersifat mendesak dan mendasar (seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial) dialihkan untuk menjadi modal investasi yang berisiko.

Permasalahannya menjadi krusial ketika pengelolaan investasi ini tidak membuahkan hasil secara cepat atau bahkan mengalami kegagalan. Dalam situasi semacam itu, yang paling terdampak adalah rakyat sendiri, karena sumber dana berasal dari uang mereka. Sayangnya, meski rakyat menanggung risiko, mereka belum tentu menjadi pihak yang secara langsung menikmati hasil keuntungannya.

Model ini mengandung potensi ketimpangan: keuntungan mungkin dinikmati oleh segelintir elit ekonomi atau pemodal besar, sementara kerugiannya dipikul secara kolektif oleh masyarakat luas. Maka wajar bila publik mempertanyakan transparansi, akuntabilitas, dan urgensi dari skema semacam ini yang mengandalkan dana rakyat namun belum tentu berpihak kepada mereka.


Risiko Menabrak Amanah Pengelolaan Uang Publik

Menteri AHY dan Menteri Maruarar Sirait menyampaikan bahwa Danantara akan menopang proyek perumahan, pendidikan, kesehatan, hingga hilirisasi industri. Namun semua itu tetap berbasis skema investasi. Padahal skema investasi tak pernah menjamin kepastian distribusi manfaat secara adil dan merata. Maka wajar jika publik menaruh curiga: jangan-jangan ini hanya proyek ambisius yang menguntungkan elite dan pemodal.

Dalam Islam, anggaran negara adalah amanah yang wajib digunakan sesuai prioritas kemaslahatan rakyat. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas satu sen pun uang umat yang dikelola secara sembrono atau tidak tepat sasaran.


Baitul Mal dan Kepemimpinan Amanah

Islam telah menetapkan sistem pengelolaan kekayaan publik secara syar’i dan adil melalui institusi Baitul Mal. Dalam struktur pemerintahan Islam (Khilafah), Baitul Mal berfungsi sebagai pengelola dana negara dari berbagai pos: fai’, kharaj, jizyah, zakat, hingga pengelolaan sumber daya alam. Dana ini digunakan langsung untuk membiayai kebutuhan rakyat, tanpa skema utang ataupun investasi spekulatif.

Proyek-proyek seperti hilirisasi, pembangunan perumahan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan seluruhnya dibiayai oleh negara, bukan lewat mekanisme investasi, tetapi kewajiban langsung negara sebagai penanggung jawab urusan rakyat.

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. al-Bukhari)

Dalam sistem Islam, tidak dikenal konsep “menunggu investor datang” untuk membangun bangsa. Negara berdiri atas kemandirian, kekuatan hukum syariah, dan keberpihakan penuh terhadap rakyat. Karena itu, tidak dibenarkan menggunakan uang rakyat untuk proyek yang tidak bisa dijamin kebermanfaatannya secara merata dan cepat.


Arah Investasi atau Arah Khilafah?

Sudah saatnya kita jujur melihat akar persoalan: problem pengelolaan uang negara bukan soal kurangnya lembaga atau inovasi investasi, tapi soal sistem dan paradigma. Selama uang rakyat dipandang sebagai “aset investasi” bukan “titipan amanah”, maka penyelewengan akan terus berulang, dan kesejahteraan hanya menjadi jargon kampanye.

Solusi atas persoalan mendasar dalam pengelolaan kekayaan negara bukanlah sekadar menambah skema-skema baru seperti Danantara, yang pada dasarnya masih beroperasi dalam kerangka sistem kapitalistik yang sarat kepentingan elite. Yang dibutuhkan justru adalah perubahan menyeluruh menuju sistem yang adil, amanah, dan benar-benar berpihak pada rakyat, yaitu sistem Islam. Sistem ini tidak hanya berbicara tentang bagaimana mengelola investasi, tetapi lebih dari itu, mengatur seluruh urusan umat berdasarkan hukum Allah yang penuh hikmah dan keadilan.

Danantara mungkin hadir membawa narasi harapan, namun harapan itu tetap bersifat spekulatif selama masih berjalan di atas fondasi sistem yang rapuh. Sementara Khilafah Islamiyah memberikan jaminan kepastian, karena berpijak pada aturan Ilahi yang tidak bisa dibeli atau dipengaruhi kepentingan kelompok tertentu.

Dalam Islam, pengelolaan kekayaan negara bukan untuk memperkaya segelintir orang, tetapi untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat secara nyata dan merata. Sebab hanya hukum Allah yang mampu mewujudkan keberkahan, keadilan hakiki, dan perlindungan sejati terhadap harta rakyat.

Wallahu A'lam Bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar