
Oleh: Ardi Juanda
Praktisi SDM
Saat angka pengangguran melambung tinggi, pernyataan seorang pejabat negara justru mengarahkan rakyat untuk mencari kerja di luar negeri. Apakah ini solusi nyata, atau tanda bahwa negara telah kehilangan daya juangnya dalam menjamin kesejahteraan warganya?
Pengangguran Meluas
Dalam pernyataannya di Universitas Diponegoro, Semarang, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Abdul Kadir Karding, mendorong masyarakat (khususnya mahasiswa) untuk mempertimbangkan bekerja di luar negeri secara resmi. Hal itu ia sampaikan di tengah fakta bahwa hampir satu juta warga Jawa Tengah menganggur, dan secara nasional, angka pengangguran disebut telah menembus 70 juta jiwa.
Karding menyebut bekerja di luar negeri bukan hanya alternatif, tapi pilihan utama untuk karier global. Bahkan, ia menyampaikan keyakinan bahwa pekerja migran Indonesia (PMI) dapat menjadi sarana menyebarkan pengaruh budaya bangsa di dunia internasional, sebagaimana Korea Selatan menyebarkan budayanya lewat K-Pop.
Tanggung Jawab yang Terlupakan
Pernyataan Karding memicu respons tajam, salah satunya dari Muhammad Said Didu yang menyebut pemerintah seolah telah angkat tangan dalam menyediakan lapangan kerja. Kritik ini menggarisbawahi kegelisahan publik: apakah benar negara telah menyerah pada tanggung jawab dasarnya?
Dalam Islam, tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyat bersifat mutlak. Negara adalah pelayan umat yang wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, termasuk pekerjaan. Nabi ﷺ bersabda:
اَلْإِمَامُ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika negara gagal membuka lapangan kerja, maka arahan untuk pergi ke negeri orang bukanlah bentuk solusi, melainkan bentuk pengalihan dari kewajiban utama.
Arah yang Perlu Diperbaiki
Islam tidak menutup pintu bagi rakyat yang bekerja di luar negeri. Namun, ketika itu dijadikan strategi utama dalam mengatasi pengangguran, justru terlihat bahwa akar persoalan belum ditangani. Yang dibutuhkan rakyat adalah kebijakan sistemik yang mampu menciptakan pekerjaan di dalam negeri, bukan sekadar penyaluran keluar negeri.
Negara semestinya mengelola kekayaan alam, sektor energi, pertanian, dan industri untuk membuka lapangan kerja bagi rakyat. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh potensi alam diciptakan untuk manusia, dan negara berkewajiban mengelolanya agar kebutuhan rakyat (termasuk pekerjaan dan penghidupan) terpenuhi secara adil dan merata.
Harta, lahan, dan sumber daya adalah milik umat, bukan untuk dikomersialkan oleh segelintir elite, apalagi dibiarkan kosong hingga rakyat tak punya tempat bekerja.
Saatnya Berpihak pada Rakyat
Jika bekerja ke luar negeri terus dijadikan sebagai solusi utama, maka secara perlahan negeri ini akan kehilangan harapan untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Memang, rakyat yang dikirim ke luar negeri demi mencari nafkah bisa saja berhasil secara individu. Namun, keberhasilan pribadi ini tidak serta-merta memperkuat kekuatan kolektif bangsa. Sebaliknya, negeri ini akan semakin bergantung pada remitansi dan kehilangan potensi sumber daya manusianya di dalam negeri.
Negara yang berdaulat sejatinya adalah negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya di tanah sendiri, bukan yang justru mendorong mereka pergi demi bertahan hidup. Ketika rakyat dipaksa mencari kehidupan di negeri orang karena lapangan kerja di tanah air tak tersedia, itu bukan lagi pilihan, tapi keterpaksaan yang menyakitkan. Dalam kondisi seperti ini, memperbaiki sistem ekonomi dan membuka lapangan kerja yang luas di dalam negeri bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi jalan penting untuk memuliakan rakyat dan menjaga kehormatan bangsa.
Pengangguran yang merajalela bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan akibat dari sistem yang cacat dan tidak berpihak pada rakyat. Maka, menyuruh rakyat meninggalkan negerinya sendiri tanpa memperbaiki sistem yang menyebabkan mereka pergi adalah bentuk nyata dari kegagalan visi kenegaraan. Islam memandang negara sebagai penanggung jawab utama dalam melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Ekonomi bukan sekadar alat perputaran uang, tetapi sarana mewujudkan kehidupan yang mulia bagi manusia.
Kini saatnya kita mengubah arah. Bukan dengan menyerah di hadapan masalah, tapi dengan kembali kepada sistem Islam yang adil, kuat, dan berpihak pada umat. Sebab, hanya dengan itu negeri ini bisa bangkit, bukan dari bantuan luar, tapi dari kekuatan dan keberkahan dalam negeri sendiri.
0 Komentar