
Oleh: Abu Ghazi
Penulis Lepas
Tahun baru ibarat mesin waktu yang berhenti sejenak di sebuah stasiun: memberi jeda untuk naik atau turun, mengecek arah perjalanan, dan memastikan apakah kita sedang menuju tempat yang benar atau justru tersesat ke jurang kehancuran. Tahun 1447 Hijriyah kini tiba, membawa serta tumpukan catatan umat selama 12 bulan ke belakang. Sayangnya, jika kita mau jujur melakukan evaluasi, betapa umat ini sebenarnya bukan sedang melaju kencang, melainkan tergelincir dari rel kejayaan.
Dalam perjalanan panjang ini, kita (umat Islam) seharusnya menjadi gerbong utama dari peradaban. Umat terbaik, sebagaimana janji Allah. Namun kenyataan berkata lain: kita kini bak penumpang yang tak punya masinis. Negeri-negeri kita disesaki sumber daya, tapi rakyatnya miskin. Tanah-tanah kita subur dan kaya, tapi dilubangi asing demi emas dan nikel. Palestina, Myanmar, Yaman, India, hingga Xinjiang menjadi saksi bisu darah kaum Muslim mengalir tanpa perlindungan.
Muhasabah (introspeksi diri) bukan hanya amal sunah tahunan, tapi sebuah rem darurat bagi kereta umat ini yang sedang melaju tanpa arah. Allah ï·» sudah mengingatkan: “Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk Hari Esok.” (TQS al-Hasyr [59]: 18). Bukan sekadar refleksi individu, tapi juga evaluasi kolektif: mengapa kita kalah, tertindas, dan tak lagi disegani?
Sederhananya, kita bisa ibaratkan umat hari ini seperti rombongan besar yang terpisah dari pemandunya. Dahulu, Rasulullah ï·º dan para sahabat mengawali tahun hijrah bukan dengan pesta atau kembang api, tapi dengan hijrah yang revolusioner, membangun peradaban Islam dari Madinah. Mereka sadar: agar umat ini selamat dan menang, dibutuhkan kekuatan yang bukan sekadar spiritual, tapi juga politik dan militer. Maka dibentuklah Negara Islam pertama yang menjadi perisai umat.
Perisai itu kini telah pecah. Sudah seabad lamanya kaum Muslim tak punya payung yang menyatukan dan melindungi. Penguasa negeri-negeri Islam lebih setia kepada penjajah ketimbang kepada Islam. Ketika Gaza dibombardir, tak satu peluru pun mereka kirimkan. Ketika rakyat mereka sendiri kelaparan, pintu perbatasan tetap terkunci rapat. Mereka tak ubahnya petugas stasiun yang justru memutar arah rel sesuai pesanan para penjajah.
Padahal sejarah telah membuktikan: saat umat ini bersatu dalam satu naungan (yakni Khilafah Islam) mereka menjadi mercusuar dunia. Khilafah bukan mitos. Ia nyata. Ia telah berdiri lebih dari 1.300 tahun lamanya. Dan selama itu pula, umat ini merdeka, berjaya, dan dilindungi. Kapan pun kehormatan Islam diganggu, bala tentara dikerahkan. Tak ada ruang untuk pengkhianatan, tak ada tempat bagi penjajah menginjakkan kaki tanpa perlawanan.
Kini, saat tahun berganti, saatnya kita bertanya: apakah kita ingin tetap menjadi gerbong tanpa arah, ataukah mau kembali menjadi pemimpin rel sejarah?
Karena itu, hijrah yang sejati hari ini adalah berpindah dari sistem kufur menuju sistem Islam. Dari demokrasi yang rusak menuju kepemimpinan Islam yang amanah. Dari nasionalisme sempit menuju ukhuwah Islamiyah yang menyatukan. Sebab, tak akan pernah ada kemenangan tanpa kekuasaan yang menolong Islam.
Rasulullah ï·º pernah memohon, "Berilah aku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong." (TQS al-Isra’ [17]: 80). Kekuasaan yang dimaksud bukan sekadar jabatan, melainkan struktur negara yang melaksanakan Islam secara kaffah. Negara yang menjamin kemuliaan umat ini. Negara yang kita kenal dengan nama: Khilafah.
Maka, tahun baru ini bukan sekadar penanda waktu. Ia adalah tanda tanya besar: akankah kita tetap diam dalam keterpurukan, ataukah bergerak menjemput kembali kejayaan?
Jika kita benar-benar ingin menjadi khayru ummah, saatnya kita melangkah, bukan hanya mengenang. Saatnya menjemput kembali mesin waktu umat ini, dengan arah yang jelas, pemandu yang benar, dan tujuan yang pasti: rahmatan lil ‘alamin dalam naungan Khilafah.
0 Komentar