
Oleh: Nunung Sulastri
Penulis Lepas
Saat ini, Indonesia sedang memasuki musim tanam dan panen padi. Namun, harga beras justru mengalami kenaikan yang terus-menerus, baik untuk kualitas medium maupun premium. Meskipun stok beras diklaim melimpah, lebih dari 130 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras pada pekan kedua bulan Juni. Harga beras bahkan telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran karena akan memberatkan stabilitas harga pangan di tingkat konsumen, terutama rakyat miskin.
Menurut Guru Besar UGM, Prof. Lilik, kenaikan harga beras sangat tidak masuk akal mengingat tahun ini produksi beras nasional dalam kondisi memuaskan. Stok cadangan beras pemerintah (CBP) tahun ini bahkan tercatat sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah. (Berita Satu, 19-6-2025)
Permasalahan kenaikan harga beras ini jelas sangat merugikan masyarakat, khususnya para petani. Ketidaknormalan ini mengindikasikan adanya gangguan dalam rantai distribusi beras yang berdampak pada naiknya harga di pasar. Hal ini disebabkan oleh efek dari aturan baru pemerintah, yaitu kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar. Akibatnya terjadi penumpukan stok di gudang, yang mengganggu suplai beras ke pasar dan menyebabkan harga melonjak secara signifikan.
Permasalahan Sistem
Permasalahan kenaikan harga beras ini berkaitan erat dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Aturan atau sistem yang dijalankan adalah sistem ekonomi kapitalisme, di mana pengelolaan pangan lebih berpihak pada mekanisme pasar dan kepentingan elite, dibandingkan pada pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Lebih jelasnya, sistem yang dipakai pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.
Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengurus kebutuhan dasar rakyat. Pengelolaan yang karut-marut, bahkan anomali harga yang berulang kali terjadi, menunjukkan bahwa kebijakan stabilisasi harga yang dicanangkan tidak mampu menyelesaikan persoalan, khususnya dalam bidang pangan.
Dalam sistem kapitalisme, pangan bukanlah hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara. Pangan diposisikan sebagai komoditas ekonomi yang bisa diperdagangkan demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, tata kelola beras menjadi tidak merata dan tidak sehat. Masalah ini muncul karena hilangnya peran negara yang bersikap pasif dalam mengatur distribusi dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar serta pihak swasta.
Semua ini menunjukkan bahwa dalam sistem kapitalisme, negara hanya bertindak sebagai regulator atau fasilitator bagi kepentingan ekonomi pemilik modal, bukan sebagai pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Akibatnya, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga yang makin hari makin tidak menentu, termasuk dalam hal kenaikan harga beras.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 29:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Ketika harga barang dinaikkan secara tidak wajar atau ada pihak yang menimbun barang demi menaikkan harga, hal ini termasuk dalam praktik ihtikār (penimbunan barang), yang jelas dilarang dalam Islam.
Islam Sebagai Solusi
Untuk mewujudkan tata kelola pasar yang adil, Islam hadir sebagai solusi. Dalam sistem Islam yang dikenal dengan Khilafah, negara menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya pijakan. Dalam sistem ini, negara wajib hadir untuk menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk dalam bidang pangan. Pangan tidak dijadikan komoditas dagang, melainkan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara sebagai bagian dari pengurusan terhadap rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung demi kemaslahatan rakyat, tanpa menjadikannya sebagai komoditas dagang. Khilafah akan memberikan berbagai bentuk dukungan kepada petani, seperti subsidi bibit, pupuk, maupun penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan) secara cuma-cuma. Hal ini untuk menjamin dan memastikan hasil produksi beras berkualitas baik dan mencukupi kebutuhan rakyat.
Kebijakan ini sekaligus akan meringankan beban para petani serta mendorong sektor pertanian agar menjadi kuat dan sejahtera sebagai tulang punggung ketahanan pangan negara. Khilafah juga akan menerapkan larangan penimbunan (ihtikār) yang dapat menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga secara tidak wajar. Praktik penimbunan ini jelas haram, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Barang siapa yang menimbun (dengan maksud menaikkan harga) maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim)
Dengan distribusi yang merata, lancar, dan adil, harga pangan akan tetap stabil. Rakyat pun akan dapat mengakses kebutuhan pokok tanpa kesulitan dan dengan jaminan. Khilafah akan memastikan harga barang terbentuk secara alami melalui mekanisme pasar tanpa intervensi negara dalam bentuk penetapan harga. Hal ini sesuai dengan syariat Islam yang melarang intervensi harga oleh negara.
Kestabilan harga yang dicapai dengan adil dan transparan (bukan melalui praktik monopoli dan ihtikār) menunjukkan bahwa solusi hakiki atas persoalan ekonomi dan fluktuasi harga bukanlah tambal sulam regulasi dalam sistem kapitalisme, melainkan perubahan menyeluruh menuju sistem Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.
Semoga Allah ﷻ segera menurunkan pertolongan-Nya melalui tegaknya sistem Islam. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
0 Komentar