
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Belum hilang sakit hati rakyat melihat putusan hakim terhadap kasus Jaksa Pinangki, dari hukuman 10 tahun disunat 4 tahun menjadi 6 tahun. Kemudian kasus video porno yang menimpa Gisella, artis ibukota, yang hanya wajib lapor dan tidak dipenjara. Alasan kedua kasus tersebut hampir sama, karena memiliki anak balita, demi kemanusiaan, maka tak boleh seorang anak kehilangan haknya karena ibunya berdiam di balik jeruji besi.
Muncul berita yang dilansir Kompas.com, 9 Juli 2021, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengaku saat ini dirinya menanggung beban berat dalam menjalani hukuman yang tengah menjeratnya. Menurutnya selain usianya yang tidak lagi muda, dirinya masih memiliki seorang istri dan tiga orang anak yang membutuhkan sosok seorang ayah.
Hal itu, diucapkan Edhy dalam nota pembelaan (pleidoi) dari gedung KPK yang tersambung secara daring dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (9/7/2021). "Saya sampaikan bahwa pada saat ini saya sudah berusia 49 tahun, usia di mana manusia sudah banyak berkurang kekuatannya untuk menanggung beban yang sangat berat, ditambah lagi, saat ini saya masih memiliki seorang istri yang sholeha dan 3 orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah,".
Edhy dinilai terbukti menerima 77 ribu dolar Amerika Serikat dan Rp 24.625.587.250 sehingga totalnya mencapai sekitar Rp 25,75 miliar dari para pengusaha pengekspor benih benur lobster (BBL) terkait pemberian izin budi daya dan ekspor. Atas kejahatannya Edhy dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dolar Amerika Serikat subsider 2 tahun penjara (kompas.com, 9/7/2021).
Edhy berharap ia dibebaskan atau setidaknya diringankan dari jumlah hukuman yang ia terima. Ia mengetuk pintu hakim melalui jalur "kemanusiaan" , mengapa saat terima gratifikasi, suap dan yang lainnya ia tak berpikir dengan cara "kemanusiaan" pula? Berapa banyak uang negara yang dirugikan akibat ulahnya, bahkan nasib petani yang tak mendapatkan hak khususpun turut menanggung akibatnya. Berapa keluarga yang tak mendapatkan kehidupan yang layak sebab kepala keluarga sulit mendapatkan pekerjaan? Dengan tega masih saja meluluskan beberapa proyek pengusaha kelas kakap dan meninggalkan nelayan dan petani ikan kecil. Padahal kekuasaan ada padanya, yang semestinya ia gunakan untuk menjamin kebutuhan masyarakat mudah diakses.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berpendapat “Tuntutan itu sama dengan tuntutan seorang kepala desa di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, yang terbukti melakukan korupsi sebesar Rp 399 juta pada akhir 2017 lalu,”. Benar-benar telah menghina rasa keadilan, tambahnya. Kurnia Berpendapat, melihat konstruksi pasal yang digunakan yaitu Pasal 12 huruf a UU Tindak Pidana Korupsi, KPK sebenarnya dapat menuntut Edhy hingga seumur hidup penjara ( kompas.com, 30/6/2021).
Hukum Manusia Tak Mencerminkan Rasa Adil
Terlalu banyak kasus yang tidak mendapatkan hukuman yang tepat, terutama jika menyangkut orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Sedangkan mereka yang dianggap berseberangan bahkan akan menghambat kebijakan pemerintah selanjutkan akan ada banyak gugatan yang siap dilayangkan. Jika tak ada delik maka akan dibuat, jika tak ada pasal akan segera dibentuk, semua hanya demi kepentingan segelintir orang yang bersembunyi di balik kekuasaan rezim. Merekalah yang sebenarnya pengendali rezim, dengan pengaruh dan kapital mereka.
Para ulama lurus dan hanif yang kerap menjadi sasaran, mengapa? Sebab lisan para ulama tajam bak pedang, siap membuka tabir kesalahan rezim, dengan pemahaman Islam yang terus menerus diserukan, maka pastilah umat akan mendapati kesadarannya, hal itulah yang paling dihindari. Bagaimanapun, benar dan salah, adil dan zalim umat masih menyandarkan kepada Islam. Sehingga ketika dirasa ada sesuatu yang tak beres, secara alami mereka berpaling kepada agamanya. Ulama inilah yang kemudian bak bintang di langit menunjukkan terangnya kebenaran.
Persoalannya hari ini umat belum mendapatkan gambaran yang utuh tentang bagaimana Islam menerapkan hukum-hukumnya. Dengan culas rezim menerapkan sekulerisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Seruannya adalah ber-Islamlah dalam ibadah dan urusan pribadimu, sedangkan untuk interaksi sosial tidak boleh. Padahal, sudahlah jelas, keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Sedang Islam hanya bisa tegak dengan kekuasaan.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz di dalam surat yang beliau tujukan kepada salah seorang ‘amil-nya mengungkapkan: "Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain" (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib al-Idâriyah [Nizhâm al-HukĂ»mah an-Nabawiyyah], 1/395). Kekuasaan dalam Islam sangat penting, tidak lain dan tidak bukan untuk menegakkan hukum-hukumNya. Dengan institusi inilah akan tegak keadilan sekaligus menolak kezaliman. Wallahu a'lam bish showab.
0 Komentar