
Oleh: Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Rencana pelaksanaan Vaksin Gotong Individu yang semula dilakukan tanggal 12 Juli 2021 ditunda setelah menuai protes dan kritik dari publik. Sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana vaksinasi berbayar. Bukan sekadar ditunda.
Di antara pihak yang mendesak ialah sejumlah anggota DPR, relawan Lapor covid-19, Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, pakar epidemiolog, hingga Ekonom. Mereka mengatakan vaksin tidak layak diperjualbelikan terlebih di tengah krisis pandemi seperti ini. Vaksinasi mestinya diberikan secara gratis, bukan dikomersialisasi layaknya barang dagangan.
Ekonom senior, Faisal Basri, mengatakan perusahaan plat merah sejak awal menganggap vaksinasi sebagai peluang bisnis. "Menurut Menteri Kesehatan, vaksin yang dikuasai BUMN didapat berdasarkan business to business murni. Barang publik kok diprivatisasi? Ya salah pemerintah sendiri. Sedari awal memang pemerintah yang membuka opsi bisnis kok. Vaksinasi dianggap sebagai peluang bisnis oleh BUMN," cuit Faisal Basri lewat akun Twitter-nya @FaisalBasri, Rabu, 14 Juli 2021. (Tempo, 14/7/2021)
WHO sendiri mengkritik kebijakan tersebut. Kepala Unit Program Imunisasi WHO, Dr Ann Lindstrand, mengatakan menerapkan mekanisme vaksin berbayar di tengah pandemi bisa menimbulkan masalah etika dan mempersempit akses masyarakat terhadap vaksin.
Aturan mengenai vaksinasi berbayar tercantum dalam Permenkes Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Harga pembelian vaksin dalam program tersebut dipatok sebesar Rp 321.660 per dosis. Peserta vaksinasi juga akan dikenakan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Dengan demikian, setiap satu dosis penyuntikan vaksin peserta harus mengeluarkan Rp 439.570. Karena dibutuhkan dua dosis vaksin, maka total biaya vaksinasi per individu sebesar Rp 879.140. (Kompas, 13/7/2021)
Inkonsistensi
Sikap inkonsistensi pemerintah tampaknya sudah menjadi kebiasaan pemerintah dalam menetapkan kebijakan. Di awal pelaksanaan vaksinasi, Presiden Jokowi mengatakan vaksin ini gratis, tidak dipungut biaya. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah akhirnya memberi opsi berbayar.
Sekalipun dikatakan pilihan, bukan kewajiban, tetap saja rencana vaksinasi berbayar tidak menunjukkan rasa empati dan kepedulian kepada rakyat. Vaksinasi adalah hak kesehatan bagi setiap warga negara tanpa memandang status sosial dan tingkat ekonominya. Sudah menjadi kewajiban bagi negara menyediakan vaksin gratis untuk seluruh rakyat.
Menteri BUMN, Erick Thohir berkilah bahwa vaksin berbayar bertujuan membantu para tenaga kesehatan dalam melaksanakan vaksinasi. Membantu dalam hal apa? Agar vaksin yang sudah dibeli tidak terbuang sia-sia?
Kebijakan vaksinasi berbayar sungguh melukai hati rakyat. Dampak pandemi bukan hanya dirasakan rakyat jelata tapi juga mereka yang berada di kelas menengah. Sebab, pandemi memukul perekonomian. Vaksin berbayar yang biayanya terpaut mahal itu pasti semakin membebani ekonomi rakyat.
Mental Kapitalis
Sistem kapitalisme telah benar-benar mengakar di negeri ini. Penguasa pun bermental kapitalis. Vaksinasi adalah satu cara agar kekebalan komunal bisa tercapai sebagai cara keluar dari pandemi Covid-19. Jika watak kapitalis yang dipakai, tidak mengherankan bila pada akhirnya vaksin diperdagangkan.
Di negara kampium kapitalisme, seperti AS misalnya, vaksin diberikan secara gratis. Masa' iya Indonesia mau melampaui keserahakan negara penganut kapitalisme? Urusan penguasa dengan rakyat itu bukan penjual dan pembeli. Jika dirasa program vaksinasi gratis belum tercapai, maka harus dievaluasi sebab musababnya.
Pertama, sejauh mana edukasi vaksin sampai ke masyarakat. Edukasi yang tidak utuh dan samar akan membuat masyarakat takut bahkan menolak vaksinasi. Lebih-lebih jika dibumbui dengan sebaran berita hoax mengenai pandemi. Dengan edukasi yang menyeluruh, masyarakat akan mendapat informasi benar dan akurat.
Kedua, komunikasi pemerintah harusnya diperbaiki. Jangan main ancam andai ada rakyat yang tidak mau divaksin. Cara-cara represi dan otoriter tidak akan membuat rakyat patuh. Gunakanlah cara yang lebih bersahabat dan menyentuh nurani publik.
Ketiga, petugas dan tenaga kesehatan yang kompeten dan amanah. Kasus-kasus pasca vaksinasi hingga ada yang meninggal mestinya diusut tuntas. Mengapa banyak kasus demikian? Apa sebabnya? Hal-hal seperti ini harusnya dikaji dan dievaluasi secara mendalam.
Sebab, tak jarang juga ada oknum nakes atau petugas vaksin yang tidak memperhatikan kesehatan pasien sehingga muncul banyak kasus pasca vaksin meninggal. Jika semua pihak saling percaya, seperti pemerintah dengan rakyat, rakyat dengan nakes, dan nakes dengan pemerintah, pastilah kasus KIPI yang terjadi bisa diminimalisir. Inilah pentingnya pengontrolan dan pengawasan program vaksinasi.
Khatimah
Pemimpin itu ibarat penggembala. Seorang penggembala akan merasa senang jika hewan gembalaannya terpenuhi kebutuhannya. Tidak kelaparan, sehat, dan terjaga dari binatang buas. Namun, saat ini pemimpin tidak memposisikan diri sebagai penggembala. Mereka ibarat pengusaha. Berbisnis dengan rakyat tanpa mempertimbangkan beban dan derita yang dirasakan rakyat.
Rasulullah Saw. bersabda, "Imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab ra. berkata, "Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’."
Pemimpin seperti inilah yang kita harapkan. Namun, di bawah kapitalisme, pemimpin amanah hampir mustahil ada. Karena sistemnya sendiri tidak melahirkan pemimpin yang diharapkan rakyat. Sistem yang bisa disebut dengan ungoverned government atau pemerintahan yang tidak amanah.[]
0 Komentar