TAKAR ULANG NASIONALISME DI MASA PANDEMI


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Gegap gempita kemenangan dari arena bulutangkis Olimpiade 2020 Tokyo. Pasangan ganda putri Indonesia Greysia Polii/Apriyani Rahayu sukses meraih medali emas dalam partai puncak yang digelar di Musashino Forest Sport Plaza, Senin (2/8/2021) siang.

Greysia/Apriyani sukses menaklukkan pasangan asal China Chen Qing Chen/Jia Yi Fan dua set langsung 21-19 dan 21-15 (CNBCindonesia.com, 3/8/2021).

Diklaim, keberhasilan ini, sementara membuat RI menjadi negara ASEAN terbaik dalam rangking Olimpiade 2020 Selasa (3/8/2021) pagi.

RI kini berada di posisi 35 dengan lima medali, masing-masing satu emas, satu perak dan tiga perunggu. Entahlah, apakah ini tidak terlalu dini, sebab sepanjang sejarah Indonesia tidak pernah menduduki peringkat satu lebih lama selain China atau Malaysia.

Menariknya, moment yang "membanggakan" ini mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Salah satunya dari pemilik akun twitter @abdurraysad, "dua medali emas didapat dengan keringat dan air mata. Gunung-gunung emas dilepas dengan tertawa". Sungguh menohok, ini fakta! Bagaimana bangsa ini dilenakan dengan membela negara atas nama nasionalisme.

Benarkah ini bukti cinta negara? Mari kita takar ulang nasionalisme di masa pandemi ini. Ribuan nyawa berakhir saat isolasi mandiri karena ketersediaan ruang di rumah sakit kian berkurang, oksigen langka, begitupun obat-obatan. Rakyat tetap harus menghidupi diri dan keluarganya di luar rumah meskipun ancaman terpapar virus bisa kapan saja. Alasannya simple, daripada kami mati kelaparan di rumah, sebab tak ada yang bisa kami andalkan.

Pekerjaan harian, itupun sudah terdampak work from home. Tinggal menunggu waktu saja untuk di PHK, kemana mesti bersandar? Penguasa kita sepertinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, perpanjangan PPKM telah ditetapkan. "Kami mengkonsentrasikan pada kabupaten yang naik di luar Jawa-Bali di 21 provinsi dan 45 kabupaten/kota yang (PPKM) level 4 dan ini dilanjutkan," kata Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian , dalam konferensi pers, Senin (kompas.com, 2/8/2021).

PPKM Level 4 diperpanjang hingga 9 Agustus 2021. Adanya penurunan angka pasien positif di beberapa daerah tidak lantas melonggarkan sebagian dan mengetatkan sebagian yang lain, sebab mobilitas manusia tidak pernah bisa dihindari, maka alangkah bijaksananya, jika perpanjangan ini sekaligus membawa solusi yang lebih baik dari sebelumya dan bukan sekadar berganti istilah.

Semestinya, saat inilah penguasa memberi teladan cinta tanah air yang sesungguhnya, Jika makna patriotisme adalah jiwa rela berkorban demi negaranya, maka nasionalisme adalah paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa.

Nyatanya, dalam rangka mengatasi pandemi dimana nyawa rakyat taruhannya, terdapat kerancuan kebijakan antara penyelamatan nyawa dan ekonomi. Banyak pihak menyarankan pemerintah menerapkan penguncian wilayah atau lockdown. Cara itu dinilai paling ampuh. Sebab aktivitas masyarakat benar-benar dibatasi dengan ketat. Namun pemerintah tetap keukeuh berganti istilah nir solusi. Seolah bersembunyi di balik pergantian istilah.

Epidemiolog Windhu Purnomo mengatakan "Jadi jangan suka bermain-main istilah, tapi enggak ada isinya, implementasinya enggak ada. PPKM mikro tinggalkan saja. Itu mana kita sebut efektif? Kalau efektif tidak terjadi seperti ini kan," (merdeka.com,1/7/2021).

Belum lagi polemik kelangkaan vaksin, disinyalir banyak faktor yang menjadi penyebabnya, pertama dari buruknya sistem kelola database dengan banyak peristiwa rakyat yang tidak memiliki KK atau KTP tidak bisa menerima vaksin.

Kedua, dari buruknya pendanaan. Menteri Erick Thohir jelas-jelas mengatakan jika pemerintah sudah cukup banyak membantu masyarakat menanggulangi pandemi. Sehingga saatnya kini setiap orang memikirkan upaya gotong royong dan memiliki keterbukaan yang menyatakan ia mampu atau tidak beli vaksin secara mandiri.

Kejinya, rakyat tetap didorong untuk berekonomi, secara fakta berekonomi dan fokus kepada kesehatan adalah dua hal yang berbeda. Banyak pakar menganggap PPKM Darurat bukan kebijakan yang efektif untuk antisipasi kegentingan dan ledakan covid. Sebab, ekonomi tak akan lebih baik karena rakyat mengalami pembatasan. Sebaliknya kesehatan tak akan bisa diraih jika rakyat sakit yang bergerak. Perubahan istilah hanya membingungkan bahkan menumbuhkan rasa tak percaya kepada kinerja pemerintah.

Rakyat di masa pandemi ini butuh disokong penuh, baik kebutuhan pokoknya maupun sekunder dan tersiernya. Memang vaksin bukan solusi satu-satunya untuk menghalau pandemi, namun tetap harus dilakukan untuk mencapai herd immunity, namun di sisi lain pemeriksaan si-sakit dan si-sehat harus tetap diadakan kemudian dipisahkan. Sehingga mereka yang sehat tetap bisa melaksanakan aktifitas hariannya.

Namun hal ini sangat khayali jika berharap hadirnya pemimpin yang berpikir dan berani mengambil resiko sebagaimana saran di atas.

Sebab mindset penguasa hari ini hanya berputar pada keuntungan materi atas nama penyelamatan ekonomi, inilah yang kemudian disebut kapitalisme. Pengaturan urusan rakyat melulu berdasar siapa yang bermodal besar, sementara rakyat yang bahkan ada yang tidak memiliki sepeserpun uang dianggap beban.

Negeri yang kaya sumber daya alam, yang semestinya secara syariat bisa dikelola negara untuk kemaslahatan umat, kini berganti kepemilikan menjadi milik asing.

Penduduk Indonesia mayoritas Muslim, ironi, sebab kemayoritasannya tidak menjadikan Islam sebagai agama paripurna, ya ibadah ya aturan hidup. Padahal Rasulullah Saw sepanjang hayat beliau telah menerapkan Islam sebagai keduanya.

Bagaimana Rasulullah menyediakan dokter hadiah pribadi beliau untuk masyarakat, membagikan emas lantakan di Baitul mal (rumah beliau) dan yang lain tidak lain kedudukan beliau adalah kepala negara yang wajib menjamin kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

Itulah bukti cinta tanah air sebenarnya, tidak sekedar berlaga di bidang olahraga yang sarat nilai ekonomis dan pariwisata, namun menyeluruh, dari semua aspek kehidupan wajib berdasar syariat Islam. Wallahu a' lam bish showab.

Posting Komentar

0 Komentar