
Oleh: Nasrudin Joha
Sastrawan Politik
Menariknya, pagi ini saya membaca artikel Agustinus Edy Kristianto tentang keprihatinan Menteri BUMN Erick Thohir terhadap keberlanjutan transformasi SDM BUMN.
Kasus bangkitnya Arya Sinulingga dan istrinya di BUMN menegaskan ketakutan sang menteri. Juga, komentar-komentar satir Agus adalah upaya untuk 'Menelanjangi Jubah Revolusi Mental' yang dulu dibanggakan oleh petinggi partai PDIP.
Kalau mau emosi, kemungkinan Joman yang dipimpin oleh Emanuel Ebenezer sudah terlanjur marah pada Argus, atau Fayrol Rahman akan segera menjadi 'tukang cebok', untuk membersihkan noda pada penggemar manga Crayon Shinchan itu.
Jadi jelas saja saya marah jika ada yang nyanyi Jokpro 2024. Dua periode saja menghancurkan negara, apalagi tiga. Bisa jadi malah Indonesia dihapus dari peta dunia?
Saya juga tidak suka, beberapa penjilat menggunakan berbagai cara sebagai alasan untuk memperpanjang posisinya hingga 2027. Mengapa orang yang kepemimpinannya lemah malah diperpanjang, seharusnya segera diselesaikan dan diganti.
Belum lagi, ada petinggi lembaga negara yang pernah menyandang status lembaga tertinggi negara, sibuk jalan-jalan ke istana, pentas seni, hingga membicarakan PPHN. Bangun mobil agar pejabat partai bisa naik sekoci hingga tiga periode atau setidaknya hingga 2027.
Gus tidak usah repot membicarakan mereka, karena itu menjengkelkan. Semua kekayaan mereka meningkat di tengah orang-orang yang berteriak tentang pandemi. Bagi mereka, pandemi adalah investasi.
Penanganan pandemi tentu dipimpin oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, bukan Menteri Kesehatan. Mereka seolah tidak terlalu peduli dengan nyawa orang, mereka lebih sibuk dan lebih fokus pada proyek apa yang bisa dikerjakan dalam situasi pandemi.
Gus, petinggi partai saja jauh dari istilah intelektual. Alasannya karena mereka miskin gagasan, mengaku negara besar tapi konsumtif, mengaku kekayaan alam berlimpah tetapi itu membuat hutang menumpuk.
Dari mana datangnya logika kemerdekaan jika utang negara mencekik seperti sekarang ini?
Saya menduga, memuji pejabat partai seperti harus dilakukan karena mereka tidak ada prestasi yang “layak” dibanggakan.
Sayang sekali para penguasa sering memaksakan diri menyebarkan pujian tapi tidak mempunyai prestasi apa-apa. Di permukaan, dia hanya bisa membaca, tidak bisa menulis, apalagi menulis narasi. Kalau ada yang bilang itu pemimpin boneka, saya rasa tidak berlebihan, meski sebenarnya ada istilah yang lebih tepat: tumpukan batu.
Sudah dulu Gus, Salam Shinchan. Elu Gua Panggil Gus karena nama Elu Agus, bukan karena menjilat seperti satu Ormas di Jakarta yang memberikan gelar 'Gus' pada Gibran agar mau memimpin Jakarta.
0 Komentar