GAZA TETAP MEMBARA MESKI DUNIA BERALIH FOKUS KE IRAN


Oleh: Yusuf Abu Zar
Penulis Alraiah

Gaza, sejak dulu hingga sekarang, terus hidup dalam kobaran api. Kota itu diserang, diblokade, dibuat kelaparan, bahkan dijebak dengan “bantuan kemanusiaan” palsu yang ternyata hanya alat untuk mengumpulkan orang-orang yang kelaparan lalu dibunuh. Di saat yang sama, entitas penjajah Yahudi (Israel) melancarkan serangan terhadap Iran, dimulai dengan serangan udara dan non-udara. Dunia pun mulai mengalihkan fokus dari Gaza ke konflik baru ini. Media dan dunia politik ramai membahas Iran, sementara penderitaan di Gaza seolah ditutupi dan diabaikan, padahal pembunuhan dan pembantaian di sana terus berlanjut, bahkan lebih brutal dari sebelumnya. Korban terus bertambah setiap harinya.

Jika kita melihat perang yang dilancarkan Israel terhadap Gaza, beserta rangkaian peristiwa lain yang terjadi di kawasan sejak saat itu, tampak jelas bahwa semua itu bertujuan untuk menghancurkan apa yang dikenal sebagai “poros perlawanan” (axis of resistance). Didukung penuh oleh Amerika, Netanyahu menjalankan strategi “all‑or‑nothing”. Ia mengejar apa yang ia sebut sebagai “kemenangan mutlak”, dengan arogansi dan kesombongan yang sejalan dengan sikap Trump. Mereka ingin menciptakan Timur Tengah baru yang tunduk dan patuh, di mana Israel menjadi pusat kekuasaan dan pemegang kendali penuh.

Namun, Gaza justru menjadi penghalang terbesar bagi Netanyahu untuk mencapai apa yang ia sebut sebagai kemenangan total. Masalah tawanan perang, perang yang tak kunjung selesai, serta tekanan dari opini publik dunia yang semakin mengucilkan dan mempermalukan Israel karena kebiadabannya (seperti membunuh warga di tempat distribusi bantuan makanan), semuanya menjadi beban besar bagi pemerintahannya. Bahkan, krisis politik dalam negerinya sempat memicu pemungutan suara untuk membubarkan pemerintah dan menggelar pemilu baru. Di tengah semua ini, Netanyahu malah mengalihkan perhatiannya ke Iran dan menyeret perang ke sana.

Meskipun kini fokus dunia tertuju pada perang melawan Iran, perang tersebut tetap memiliki dampak terhadap Gaza. Serangan balik Iran yang belum pernah dialami oleh masyarakat Israel sebelumnya menyebabkan kerusakan serius. Ketika dampak serangan ini digabungkan dengan dampak perang yang berkepanjangan di Gaza (seperti kelelahan tentara, hancurnya ekonomi, serta ketakutan masyarakat yang sangat cinta dunia) semua itu menjadikan Gaza medan yang sangat berat. Apalagi, tentara Israel terus mengalami korban luka dan tewas hampir setiap hari.

Perang jangka panjang dengan Iran akan semakin memberatkan Israel, terlebih jika Netanyahu terus memaksa bertahan demi mewujudkan ambisi semunya. Faktanya, satu-satunya hal yang membuat Israel masih bisa bertahan adalah dukungan penuh dari Amerika. Itulah sebabnya Netanyahu berusaha keras melibatkan Trump dalam perang dengan Iran, berharap perang itu cepat selesai, dan itu memang sudah terjadi.

Padahal, jika saja Iran melancarkan serangan lebih awal ketika Israel masih sibuk menggempur Gaza, bukan hanya sebagai respons tapi sebagai langkah serangan langsung, dampaknya bisa jauh lebih besar. Saat itu, Israel telah sangat terbuka dan lemah karena terjun penuh dalam perang di Gaza dan Tepi Barat. Bahkan para pemimpinnya dengan pongah menyatakan akan mengubah wajah Timur Tengah.

Sayangnya, peluang besar itu terlewat begitu saja. Sampai saat ini, perang dengan Iran hanya terjadi di udara, belum sampai pada pertempuran darat. Andai para pemimpin negeri-negeri Muslim benar-benar berani dan bukan sekadar boneka atau pengecut, mereka seharusnya sudah memanfaatkan momentum ini untuk mengakhiri eksistensi Israel dan membebaskan umat dari kejahatannya.

Memang, secara teori hal itu mungkin saja terjadi. Tapi faktanya, tidak demikian. Sejak awal, tujuan Iran bukanlah membebaskan Palestina. Keterlibatannya lebih didorong oleh kepentingan politik dan strategi, bukan karena murni membela rakyat Palestina. Iran bahkan menjalankan proyeknya dengan cara yang justru menghancurkan negeri-negeri Muslim lain, seperti yang terjadi di Suriah.

Selain itu, perjuangan membebaskan Palestina tidak bisa dilakukan dengan cara bersekutu dengan musuh umat (seperti Amerika) yang dulu didukung Iran dalam pendudukan Irak dan Afghanistan. Kini, Iran sendiri dalam kondisi lemah dan terisolasi. Pendekatan sektarian yang dibawa Iran justru memperlemah kesatuan umat Islam, sementara yang paling diuntungkan dari konflik ini tak lain adalah Amerika dan Israel.

Hal yang sama juga terjadi pada rezim-rezim lain di dunia Islam. Mereka secara terbuka menunjukkan kesetiaan mereka kepada Amerika dan Israel. Tujuan mereka bukan untuk membela umat, melainkan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dan kursi jabatan mereka. Demi ambisi itu, mereka rela mengorbankan darah rakyatnya sendiri, kehormatan negaranya, bahkan masa depan bangsanya.

Kepada rakyat, para penguasa itu menawarkan janji-janji “keamanan” dan “stabilitas”, seolah mereka adalah pelindung dan penjaga kepentingan bangsa. Mereka meninabobokan umat dengan narasi damai palsu, menutupi fakta bahwa ancaman nyata justru datang dari kolaborasi mereka dengan musuh-musuh Islam. Janji keamanan itu tak lebih dari ilusi, sebuah fatamorgana yang tampak menyelamatkan, padahal menyesatkan.

Ketika waktunya tiba (saat krisis benar-benar datang dan musuh menyerang) semua janji itu akan runtuh. Rakyat yang selama ini dibuai akan tersadar, namun sudah terlambat. Mereka akan dibiarkan terhina, tanpa perlindungan, tanpa pembelaan. Seperti domba yang tenang digiring menuju tempat penyembelihan, rakyat akan menjadi korban dari pengkhianatan dan kebohongan yang selama ini mereka percayai.

Saat ini, umat Islam sedang menghadapi masa yang sangat sulit. Pertumpahan darah terjadi di berbagai tempat, musuh-musuh Islam semakin berani dan angkuh, sementara para pemimpin negeri-negeri Muslim justru makin terang-terangan mengkhianati umat tanpa rasa malu. Kondisi ini telah membuka topeng banyak pihak dan menunjukkan siapa sebenarnya yang berpihak pada umat, dan siapa yang justru menjadi bagian dari pengkhianatan. Meski menyakitkan, semoga di balik semua ini ada kebaikan yang Allah ﷻ siapkan bagi umat.

Setidaknya, kebohongan-kebohongan dan proyek-proyek menyesatkan yang selama ini membutakan umat mulai terbongkar. Kini umat bisa melihat kenyataan dengan lebih jernih, bahwa perpecahan, nasionalisme sempit, dan patriotisme palsu justru menjadi penyebab kelemahan dan keberanian musuh-musuh Islam.

Umat Islam hari ini berada di persimpangan jalan yang sangat menentukan arah masa depan mereka. Di satu sisi, ada jalan mulia: bersatu kembali dalam proyek besar peradaban Islam, yakni dengan menegakkan Daulah Islamiyah (Khilafah) yang menyatukan seluruh kaum Muslimin di bawah satu kepemimpinan yang adil dan berpihak pada syariat Allah. Inilah jalan yang pernah ditempuh Rasulullah ﷺ dan para khalifah sesudahnya, jalan yang menjanjikan kemuliaan, perlindungan, dan kejayaan umat.

Di sisi lain, terbentang jalan gelap: jalan tunduk dan menyerah pada tatanan dunia yang dibangun atas dasar penjajahan, di mana Amerika dan Israel menjadi penguasa, dan negeri-negeri Muslim hanya menjadi pion dalam permainan mereka. Jika umat tidak segera bangkit dan memilih jalan Islam, maka (na'udzubillah) mereka akan dijerumuskan ke dalam babak baru penjajahan yang jauh lebih ganas, lebih sistematis, dan lebih menghancurkan dari sebelumnya.

Tidak ada pilihan lain yang benar kecuali kembali kepada Islam dan berjuang sungguh-sungguh untuk menegakkannya. Jika itu dilakukan, Allah pasti akan menolong umat ini, menjaga mereka dari kejahatan musuh, dan memadamkan api peperangan yang dinyalakan oleh musuh-musuh Islam, sebagaimana firman-Nya:

كُلَّمَآ اَوْقَدُوْا نَارًا لِّلْحَرْبِ اَطْفَاَهَا اللّٰهُ ۙوَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًاۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
"Setiap kali mereka menyalakan api perang, Allah memadamkannya. Mereka berusaha membuat kerusakan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan." (QS. Al-Ma'idah: 64)

Posting Komentar

0 Komentar