
Oleh: Diaz
Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API) III
Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API) III
Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan fiskal yang menyasar langsung pada pelaku usaha kecil menengah. Kali ini, aturan baru sedang dipersiapkan untuk mewajibkan platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan TikTok Shop agar memungut serta menyetorkan pajak dari para penjual di platform mereka. Target utamanya adalah individu yang memiliki omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Meskipun regulasi resminya belum diterbitkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah aktif mensosialisasikan kebijakan ini kepada marketplace besar. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, membenarkan rencana tersebut dan menekankan bahwa asosiasi akan mematuhinya, asalkan penerapannya dilakukan secara bertahap, memperhatikan kesiapan teknis dan infrastruktur.
Sayangnya, rencana ini mengulang wacana serupa pada 2018 lalu yang akhirnya dibatalkan hanya dalam waktu tiga bulan karena penolakan keras dari industri. Kini, saat pemulihan ekonomi masih rapuh pasca pandemi, pemerintah justru kembali menghidupkan kebijakan yang berpotensi menekan pelaku UMKM digital. (Detik, 26-06-2025)
Rakyat Kecil Diburu, Korporat Asing Dimanjakan
Jika dicermati, arah kebijakan fiskal Indonesia tampaknya lebih condong menekan sektor yang rentan dan mudah dijangkau (rakyat kecil dan pelaku usaha mikro) daripada mengoptimalkan kekayaan negara yang justru berlimpah ruah. Negara ini seolah memiliki "tangan besi" untuk pedagang kecil, tapi "tangan lembut" untuk perusahaan besar, terutama asing yang menguasai sumber daya strategis.
Bayangkan, pelaku UMKM digital yang hanya menjual pakaian, makanan rumahan, atau kerajinan tangan justru dibebani kewajiban pajak dan pelaporan administrasi yang rumit. Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar di sektor tambang seperti nikel, emas, batubara, dan migas tetap bebas menikmati keuntungan besar dari kekayaan alam negeri ini, tanpa beban yang sebanding. Ini adalah potret nyata ketimpangan kebijakan ekonomi yang menekan pelaku usaha kecil, tetapi longgar terhadap korporasi besar yang justru mengeruk sumber daya nasional.
Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat kaya akan sumber daya alam. Presiden RI, Prabowo Subianto, bahkan menyatakan bahwa rakyat Indonesia patut berbangga karena memiliki cadangan emas terbesar ke-6 di dunia. Lebih dari itu, Indonesia kini telah mampu mengolah emas secara mandiri hingga menjadi emas batangan.
Kemajuan ini ditandai dengan beroperasinya pabrik logam mulia (Precious Metal Refinery/PMR) milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, yang dirancang untuk memproduksi 50–60 ton emas per tahun. Konsentrat emas yang sebelumnya diekspor kini dapat dimurnikan di dalam negeri menjadi logam mulia emas dan perak. (CNBC Indonesia, 18-03-2025)
Di samping emas, Indonesia juga dikenal sebagai salah satu pengekspor batu bara dengan jumlah yang besar, memiliki cadangan nikel terbesar kedua di dunia, dan menyimpan potensi energi panas bumi terbesar kedua secara global. Semua ini menunjukkan betapa melimpahnya kekayaan alam Indonesia yang seharusnya mampu mendorong kemandirian dan kemakmuran nasional. (Tempo, 07-10-2023 | MNI, 04-11-2024 | Kompas, 22-05-2025)
Namun, ironisnya, pendapatan negara dari sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) ternyata sangat kecil, hanya berkisar antara 1 persen hingga 1,5 persen dari total penerimaan negara. Padahal, sektor ini mengelola kekayaan alam yang sangat melimpah dan bernilai tinggi. Angka ini menunjukkan betapa minimnya kontribusi sektor strategis tersebut terhadap kas negara, terutama jika dibandingkan dengan besarnya potensi yang dimiliki. (Pajakonline, 19-08-2020)
Paradigma Pajak, Keadilan atau Ketimpangan?
Pemerintah berdalih bahwa kebijakan pemungutan pajak terhadap pelaku usaha digital (termasuk usaha mikro di platform daring) ditujukan untuk menciptakan level playing field, alias persaingan yang adil antara toko fisik dan toko daring. Namun, jika dicermati lebih dalam, argumen ini tidak berdiri di atas logika keadilan, melainkan sekadar tameng untuk menutupi kebijakan yang sejatinya diskriminatif. Sebab, yang menjadi objek utama dari kebijakan ini bukanlah pelaku usaha besar yang menguasai pasar digital dan meraup miliaran rupiah setiap bulan, melainkan justru para pedagang kecil yang berjualan dari rumah dengan omzet pas-pasan, bahkan masih di bawah ambang batas penghasilan layak.
Di tengah himpitan ekonomi yang semakin berat, dengan harga kebutuhan pokok yang terus naik dan daya beli masyarakat yang kian melemah, beban pajak terhadap UMKM digital justru semakin menekan. Banyak dari mereka sejatinya tidak memiliki pilihan lain selain berdagang secara daring (melalui media sosial, marketplace, atau live streaming) demi sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mereka bukan pemodal besar, bukan pengusaha mapan. Mereka adalah rakyat biasa yang berjuang melawan kerasnya hidup, yang mencoba mencari nafkah di tengah sistem ekonomi yang tak memberi ruang bagi mereka untuk berkembang tanpa beban.
Namun ironisnya, di saat rakyat kecil diminta untuk “taat pajak” dan dipantau transaksinya secara digital, perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kekuatan modal dan jaringan justru mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka diberikan insentif, kemudahan izin, konsesi lahan, bahkan pembebasan bea ekspor atas nama “investasi” dan pertumbuhan ekonomi nasional. Alih-alih dikenakan tanggung jawab sosial yang setimpal, korporasi raksasa justru dihamparkan karpet merah oleh negara.
Inilah wajah buram ketimpangan struktural yang menjadi ciri khas sistem ekonomi kapitalistik: beban selalu diarahkan kepada mereka yang paling lemah, sementara keuntungan terus dikumpulkan oleh mereka yang paling kuat. Ketika keadilan fiskal hanya menjadi jargon, dan sistem perpajakan lebih berfungsi sebagai alat untuk mengeksploitasi rakyat kecil daripada mendistribusikan kekayaan secara merata, maka wajar jika publik mempertanyakan ke mana arah kebijakan ini sebenarnya berpihak.
Sudah saatnya publik membuka mata terhadap realitas ini. Bahwa masalah utama bukan pada apakah pajak itu dibayar atau tidak, tetapi pada siapa yang dibebani dan untuk siapa hasilnya digunakan. Pajak seharusnya menjadi alat pemerataan dan keadilan sosial, bukan menjadi senjata untuk menekan mereka yang paling rentan. Sampai kapan rakyat kecil harus terus memikul beban, sementara segelintir elite ekonomi terus menumpuk keuntungan tanpa hambatan?
Islam adalah Solusi Ekonomi Tanpa Menindas Rakyat
Sudah saatnya kita mencari solusi yang adil dan manusiawi. Islam menghadirkan sistem ekonomi yang tidak memberatkan rakyat melalui pungutan pajak seperti yang diterapkan saat ini. Dalam sistem Islam, pembiayaan negara tidak bersumber dari pemajakan atas rakyat miskin, melainkan dari pengelolaan kekayaan milik umum, kharaj, jizyah, fai’, dan zakat.
Islam menekankan, kekayaan alam seperti tambang, hutan, dan laut ditetapkan sebagai milik umum yang harus dikelola negara demi kemaslahatan rakyat. Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika kekayaan tersebut dikuasai oleh pihak swasta apalagi diserahkan kepada asing, karena akan merampas hak umat dan mengkhianati amanah pengelolaan sumber daya yang seharusnya menjamin kesejahteraan bersama.
Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Negara Islam juga tidak bertindak sebagai pemilik kekayaan alam, melainkan hanya sebagai pengelola amanah yang bertanggung jawab memastikan kekayaan tersebut dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Seluruh hasil dari pengelolaan sumber daya alam harus dikembalikan kepada umat dalam bentuk pelayanan publik, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pembangunan yang adil. Bukan justru dijadikan sumber pemasukan untuk menambal defisit atau membiayai anggaran negara yang boros, tidak efisien, dan sering kali tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Rasulullah ﷺ berpesan:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لاَ يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلاَّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR. Muslim)
Hadist ini mengandung peringatan keras bagi para penguasa. Ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh kesungguhan dan kejujuran. Dalam konteks pengelolaan harta milik publik, hadis ini menunjukkan bahwa penguasa tidak boleh bersikap lalai, apalagi menyerahkan pengelolaan kekayaan umat kepada pihak-pihak yang tidak amanah atau hanya mementingkan keuntungan pribadi. Kekayaan publik harus dikelola secara bertanggung jawab, adil, dan transparan demi kemaslahatan seluruh umat.
Menegakkan Sistem yang Adil
Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sistem ekonomi yang adil, kuat, dan berpihak pada rakyat, maka langkah awal yang harus diambil adalah mengubah paradigma fiskal secara mendasar. Indonesia sesungguhnya telah dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah, lebih dari cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan dasar rakyat tanpa harus membebani para pelaku usaha kecil seperti penjual makanan rumahan di platform e-commerce dengan pajak dan administrasi yang memberatkan.
Namun kenyataannya, selama pengelolaan sumber daya strategis masih berada di tangan segelintir elit dan pihak asing, keadilan ekonomi hanyalah ilusi. Rakyat kecil terus diperas, sementara korporasi besar justru mendapat perlindungan dan berbagai kemudahan. Ini adalah bentuk nyata ketimpangan struktural yang dibiarkan berlangsung bertahun-tahun.
Jalan keluar dari ketimpangan fiskal ini bukan sekadar reformasi teknis, melainkan perubahan sistemik. Hanya dengan kembali pada syariat Islam (yang menjadikan negara sebagai pengelola amanah, mengatur distribusi kekayaan secara adil, melindungi hak rakyat kecil, dan melarang privatisasi harta milik umum) barulah keadilan ekonomi bisa benar-benar diwujudkan.
Penutup
Pengenaan pajak terhadap UMKM digital bukan semata persoalan administratif. Ini adalah refleksi dari sistem ekonomi yang timpang serta lebih rajin memungut dari rakyat kecil daripada mengelola kekayaan besar yang telah Allah anugerahkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Ketika penjual makanan rumahan, kerajinan tangan, atau pakaian secara daring harus berjibaku memenuhi kewajiban pajak dan pelaporan, di saat yang sama korporasi besar yang menguasai tambang, hutan, dan energi justru menikmati keuntungan tanpa kontribusi yang sebanding bagi negara.
Ketimpangan ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola amanah publik. Pajak terhadap pelaku usaha kecil bukanlah solusi atas defisit anggaran, melainkan cerminan dari ketidakadilan struktural yang terus dilanggengkan oleh sistem kapitalistik saat ini.
Sudah saatnya kita menolak ketidakadilan ini dan menyerukan solusi hakiki: kembalikan pengelolaan ekonomi pada syariat Islam yang adil dan mensejahterakan. Sebuah sistem yang menjamin distribusi kekayaan secara merata, menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, dan memastikan harta milik umum dikelola untuk kepentingan seluruh umat, bukan segelintir elite.
Wallāhu a‘lam.
0 Komentar