BENCANA NASIONAL YANG SESUNGGUHNYA


Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Sudah hampir sebulan bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera. Melansir dari Detik, korban yang meninggal dunia tercatat sebanyak 1.071 jiwa per 19 Desember 2025. Bahkan ratusan lainnya masih hilang dan belum ditemukan. Sementara eskalasinya meluas ke tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kerugian materiil dikalkulasi mencapai Rp 68,67 triliun.

Menilik eskalasi bencana di Sumatera yang sedemikian besar, banyak pihak menuntut agar status bencana Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional. Apalagi, hal ini berkesesuaian dengan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada pasal 7 ayat 2 yang mengatur kriteria penetapan bencana nasional. Di antara kriterianya meliputi jumlah korban yang besar, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Maka, dengan melihat kriteria tersebut, bencana Sumatera sudah selayaknya menjadi bencana nasional. Bahkan, pemerintah daerah (Pemda) juga sudah tidak mampu menanggulanginya. Buktinya terlihat dari lambatnya penanganan korban yang berada di pengungsian. Bahkan, di beberapa titik di Aceh, masyarakat sudah mengibarkan bendera putih sebagai tanda ketidakmampuan mereka dan untuk meminta pertolongan. Artinya, bencana banjir dan longsor kini berubah menjadi bencana kelaparan.

Anehnya, tanggapan Presiden terhadap desakan penetapan bencana nasional terkait bencana di Sumatera tidak seperti yang diharapkan, bahkan kontraproduktif. Dalam Sidang Kabinet Paripurna pada Senin, 15 Desember 2025, Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia mampu menangani bencana di Sumatera. Meskipun menurutnya banyak negara yang menawarkan bantuan kemanusiaan, namun tawaran tersebut ditolak. Di antara negara-negara yang menawarkan bantuan tersebut adalah negeri-negeri Islam seperti Malaysia, Iran, dan Uni Emirat Arab.

Presiden Prabowo juga menegaskan bahwa ada pihak-pihak di luar sana yang tidak suka Indonesia menjadi kuat. Ia menduga dan mengira ada motif-motif politik yang terselubung guna mendowngrade kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Meskipun pada ujung-ujungnya, beliau hanya melemparkan bola panas nan liar di tengah bencana yang seharusnya segera mendapat penanganan negara dengan sebaik-baiknya.

Mencermati tanggapan Presiden yang sedemikian rupa, kami justru melihat bahwa yang menjadi bencana nasional sesungguhnya adalah nasionalisme dan demokrasi. Betapa tidak! Jika menolak bantuan kemanusiaan dari negara seperti AS maupun lembaga seperti PBB masih bisa dimaklumi, akan tetapi menolak bantuan dari negeri-negeri Islam adalah ironis dan menyedihkan.

Begitu kuatnya cengkeraman sekat nasionalisme sehingga menghalangi untuk terbuka terhadap bantuan dari sesama kaum Muslimin. Bukankah Rasulullah ï·º menegaskan bahwa persaudaraan di antara sesama Muslim itu laksana satu tubuh? Bila satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan ikut merasakan sakit. Demikianlah seharusnya persaudaraan sesama Muslim.

Sekat-sekat nasionalisme sejatinya telah melemahkan kaum Muslimin. Akibatnya, kondisi kaum Muslimin terpuruk dan terjajah. Untuk menolong Muslim Gaza dari pembantaian yang dilakukan oleh Zionis, kaum Muslimin di dunia tidak berdaya. Konflik bersaudara di Sudan yang berlarut-larut dan memakan banyak korban di al-Fasher, kaum Muslimin lemah untuk bisa menyelesaikannya. Pengusiran Muslim Rohingya, pembantaian Muslim Uighur, dan lainnya, termasuk menangani bencana Sumatera, kaum Muslimin lemah.

Dengan nasionalisme, para penguasa negeri-negeri Islam didesain hanya memikirkan kepentingan nasionalnya sehingga sangat sulit untuk bersatu. Guna menjamin keterpecahan kaum Muslimin, diterapkanlah sistem demokrasi. Padahal sistem demokrasi itu merupakan alat penjajahan. Dengan demokrasi, kaum Muslimin dikontrol dan dikendalikan. Penguasanya hanya memikirkan kursi dan kelanggengan kekuasaannya, bahkan di tengah bencana.

Narasi adanya pihak-pihak yang tidak suka Indonesia menjadi kuat maupun adanya upaya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah pernyataan yang tidak empati, bukan sikap negarawan. Pertanyaannya, siapakah yang disebut sebagai pihak yang tidak suka Indonesia jadi kuat? Begitu pula, siapa yang dimaksud dengan berupaya menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya?

Bukankah mereka sendiri yang menjadikan Indonesia lemah, tidak kuat, dan terjajah? Lihatlah kesepakatan tarif antara Indonesia dengan AS. Barang impor dari AS dikenakan tarif 0 persen, sementara barang Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif 19 persen. Ini yang namanya Indonesia buntung. Termasuk pemberian kewenangan kepada AS untuk mengelola data pribadi penduduk Indonesia.

Tentunya, ini adalah bunuh diri politik. Belum lagi, kekayaan alam di Indonesia telah diberikan izin untuk dikuasai asing, Aseng, dan oligarki. Dampaknya adalah kemiskinan rakyat dan bencana ekologis yang mengerikan. Contoh terbaik adalah bencana banjir dan longsor di Sumatera.

Demikian juga terkait tindak tanduk penguasa dan pejabatnya yang menjadikan kepercayaan rakyat menurun. Ngototnya pemerintah untuk tidak menetapkan status bencana nasional terhadap bencana Sumatera telah berdampak signifikan kepada korban. Keadaan korban yang mengungsi sangat mengenaskan.

Kurangnya bahan makanan, obat-obatan, listrik, rumah tempat tinggal, sarana kesehatan, dan akses jalan yang terputus ikut memperparah keadaan. Akhirnya, penduduk terdampak mengibarkan bendera putih minta bantuan internasional. Termasuk Gubernur Aceh yang meminta bantuan lembaga internasional seperti UNICEF. Bahkan ada suara-suara untuk memisahkan diri dari Republik ini. Apakah keadaan seperti ini yang diharapkan oleh pemerintah pusat?


Penanggulangan Bencana dalam Islam

Penanggulangan bencana terkait dengan kebijakan politik dan moneter. Nasionalisme dan demokrasi telah menghasilkan kebijakan politik dan moneter yang tidak memihak rakyat. Indonesia, sebagai negeri rawan bencana, ironisnya anggaran kebencanaan hanya sekitar Rp 2 triliun untuk tahun 2025. Padahal, untuk memulihkan keadaan pasca-bencana Sumatera ini dibutuhkan dana sekitar Rp 51 triliun. Walhasil, sekat nasionalisme dan sistem demokrasi harus dibuang dari kehidupan kaum Muslimin.

Berbeda dengan sistem Islam. Kebijakan politik dan moneter Islam berpihak kepada kesejahteraan rakyatnya. Kas negara diperoleh dari berbagai sumber seperti kekayaan alam, fai, kharaj, usyur, khumus, dan sumber lainnya. Dengan begitu, negara memiliki keuangan yang sangat mencukupi untuk menanggulangi bencana yang terjadi. Pajak bukanlah sumber utama keuangan negara. Pajak hanya ditarik saat kas negara kosong, dikenakan hanya dari kaum Muslimin yang kaya serta hanya untuk menutup kebutuhan yang diperlukan.

Ditambah lagi, sistem Islam telah menyatukan seluruh kaum Muslimin di negeri-negeri Islam lainnya. Dengan demikian, saat terjadi bencana, negara segera memobilisasi semua potensi dengan cepat, baik berupa dana, personil tentara, tenaga, serta seluruh relawan masyarakat Muslim untuk ikut membantu memulihkan keadaan pasca terjadinya bencana. Dengan begitu, korban terdampak bencana bisa segera tertangani, dan trauma akibat bencana bisa ditanggulangi segera.

Demikianlah penanggulangan bencana dalam sistem Islam. Hanya dengan sistem Islam, yakni syariah dan khilafah, kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin bisa segera diwujudkan dengan sebaik-baiknya.

Posting Komentar

0 Komentar