
Oleh: Fira Nur Anindya
Penulis Lepas
Pada Juni 2025, publik dikejutkan dengan kabar tragis dari Kuantan Singingi, Riau. Seorang balita berusia 2 tahun meninggal dunia setelah mengalami penyiksaan dari pasangan yang dititipkan untuk mengasuhnya. Tak hanya dianiaya secara fisik, aksi sadis ini juga direkam dan dijadikan tontonan bagi pelaku, yang justru malah tertawa selama kejadian (Kompas, 15-06-2025).
Tak berselang lama, muncul kasus di Jakarta Selatan. Seorang anak ditemukan dalam keadaan lemas di lorong pasar dengan kondisi memprihatinkan. Diduga ia menjadi korban penelantaran dan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Saat ini, anak tersebut menjalani pemulihan di bawah pendampingan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (Tirto, 12-06-2025).
Ada pula kasus di Jepara, Jawa Tengah, seorang predator seksual berinisial S telah memperkosa sedikitnya 31 anak perempuan berusia 12–17 tahun dalam kurun waktu enam bulan. Ironisnya, sebagian besar korban berasal dari luar kota, dan aksi bejat tersebut bahkan direkam pelaku sebagai dokumentasi pribadi (Detik, 30-04-2025).
Sementara di Cirebon, seorang ayah melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandungnya yang baru berusia dua tahun delapan bulan. Bayi perempuan itu mengalami trauma dan luka, baik fisik maupun mental (Muslimahnews, 08-05-2025).
Menurut data resmi KemenPPPA melalui sistem pelaporan Simfoni PPA, hingga Juni 2024 tercatat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak. Banyak kasus di antaranya tergolong sebagai kekerasan seksual. Kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan tertinggi terhadap anak dalam lima tahun terakhir (Kemenpppa, 03-07-2024).
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menetapkan sejumlah regulasi, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) No. 12 Tahun 2022, Perppu Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Perpres No. 9 Tahun 2024, serta aturan mengenai hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Namun realitas di lapangan berkata lain. Kasus kekerasan terhadap anak tidak menunjukkan penurunan, bahkan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Beberapa wakil rakyat menyuarakan rasa frustrasi mereka terhadap ketidakefektifan hukum. Dalam kasus Jepara, DPR bahkan mendorong hukuman seumur hidup dan penolakan bantuan hukum bagi pelaku.
Kesalahan Sistemik
Akar utama dari kegagalan ini berasal dari sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik, sehingga agama dipandang semata sebagai urusan individu dan bukan sebagai landasan dalam mengatur kehidupan secara menyeluruh. Akibatnya pendidikan agama di sekolah hanya bersifat formalitas dan tidak membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah). Budaya populer yang cepat menyebar telah mengabaikan nilai-nilai kesucian anak dan keluarga. Media dan ruang digital berkembang tanpa nilai juga tanpa kontrol bermakna.
Realita sistem hukum yang sekarang berjalan di negeri ini dapat dikatakan masih banyak yang reaktif. Hukum yang ada hanya bekerja setelah terjadi kejahatan. Padahal, anak-anak butuh perlindungan sebelum mereka menjadi korban. Sistem hukum hari ini gagal menciptakan atmosfer preventif. Salah satu contohnya adalah kebiri kimia, hanyalah efek jera pasca terjadinya tindakan kejerasan. Tidak ada sinergi menyeluruh antara pendidikan, keluarga, media, dan negara. Hukum positif yang ambigu pun sering kali menyulitkan aparat dalam menegakkan hukuman bagi pekaku dan ketika memberi keadilan untuk korban, maupun masyarakat.
Krisis sosial dan ketahan keluarga pun harus menjadi hal yang diperhitungkan. Kemiskinan, broken home, individualisme, dan lemahnya iman menciptakan ekosistem yang subur bagi kekerasan dalam keluarga. Dalam banyak kasus, pelaku adalah ayah, paman, tetangga, atau bahkan guru. Tokoh yang seharusnya menjadi pelindung anak.
Pendekatan Islam
Islam tidak hanya memerintahkan perlindungan terhadap anak, tetapi juga membangun sistem yang mencegah kezaliman sejak dari akar. Keluarga dalam Islam menempati posisi sebagai madrasah pertama bagi anak. Dalam Islam, orang tua berkewajiban menanamkan akidah dan akhlak sejak dini. Anak-anak tidak hanya diberi makanan, tetapi juga bekal keimanan. Pendidikan bukan hanya akademik, tetapi juga ruhiyah dan akhlak.
Masyarakat dalam Islam menempati posisi sebagai pelindung sosial. Islam memerintahkan amar makruf nahi munkar sebagai fungsi sosial utama. Masyarakat Islami tidak akan membiarkan anak-anak berkeliaran tanpa pengawasan. Intervensi sosial terjadi jauh sebelum kejahatan terjadi.
Negara memiliki posisi dan peran sebagai junnah (perisai) yang menjamin seluruh kebutuhan rakyat dan menegakkan hukum berdasarkan wahyu. Pendidikan Islam diberikan gratis, berbasis akidah, dan berjenjang. Sistem sensor media dan digital terintegrasi dengan nilai Islam. Hukuman untuk predator anak tegas namun adil, mencegah kejahatan berulang. Negara membentuk struktur sosial yang menjamin keamanan lingkungan. Data dan pemetaan keluarga rentan dipantau oleh Qadhi Hisbah (pengawas publik syariah) dan lembaga sosial resmi.
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا اْلإِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Hanya sistem Islam yang menjadikan perlindungan anak sebagai perintah Allah, bukan sekadar tanggung jawab birokrasi. Sistem Islam mampu mengintegrasikan peran keluarga, masyarakat, dan negara secara menyeluruh. Keadilan tercipta dan keamanan ada bukan karena ketakutan, tetapi karena ketakwaan.
Wujud nyata yang bisa kita lakukan untuk menegakkan kembali sistem Islam di muka bumi adalah dengan meningkatkan pemahaman umat terhadap Islam secara kaffah, melalui kajian dan komunitas. Kita juga perlu menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap penerapan syariat Islam secara menyeluruh, bukan secara parsial. Selain itu, penting mendorong perubahan politik yang bersifat ideologis, bukan sekadar reformasi hukum administratif. Dan yang tak kalah penting, kita harus menyiapkan generasi muda dengan bekal tsaqafah Islam serta visi peradaban yang kuat dan terarah.
Khatimah
Masa depan anak merupakan masa depan peradaban. Anak-anak adalah amanah. Dalam sistem sekular, mereka kerap menjadi korban tanpa perlindungan hakiki. Tapi Islam datang sebagai rahmat, menawarkan sistem kehidupan yang menjamin perlindungan anak secara integral dan preventif.
Kini saatnya kita membuka mata, perbaikan tidak cukup dengan merevisi UU atau menambah hukuman. Kita butuh sistem hidup baru dan bukan hanya menjamin keadilan, tetapi juga mencegah kezaliman sejak dalam pikiran. Hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah, kehidupan yang adil, aman, dan sejahtera bisa benar-benar terwujud. Sebab hanya syariat Allah yang paling memahami cara menjaga fitrah manusia sejak lahir hingga akhir hayatnya.
Wallahu a'lam bishshawab
0 Komentar