
Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik
Agak berat, bahkan ada dugaan posisi politik Bamsoet sebagai Ketua MPR RI saat ini sedang diperas. Karena usulannya telah memicu kontroversi atas amandemen UUD 1945 (baca: konstitusi), yang secara luas dilihat oleh publik sebagai cara untuk memperkuat kekuasaan Jokowi.
Bamsoet dianggap sebagai puncak dari 'pelakunya' yang membuat narasi tiga periode Jokowi, atau setidaknya mempertahankan kekuasaan Jokowi hingga 2027 dengan menambah kekuasaan pada periode kedua. Hal ini menandai kunjungan resmi pimpinan MPR RI ke Kepresidenan RI untuk membahas wacana amandemen konstitusi, padahal tidak ada relevansi dan urgensinya MPR RI untuk “melaporkan” kepada Presiden Joko Widodo secara prosedur dan substansi.
TPUA yang diketuai Eggi Sudjana memprotes keras gimmick Bamsoet dalam wacana amandemen konstitusi yang memperluas cakupan wacana amandemen konstitusi. Selain itu, kecaman TPUA juga mempersoalkan pertemuan yang digelar pimpinan MPR RI di istana tempat Jokowi bertemu.
Bamsoet semakin terpojok, dan untuk meredam tekanan publik dan menghindari kesan 'tertarik' secara pribadi terhadap amandemen, Bamsoet menggunakan beberapa taktik politik, antara lain:
Pertama, Bamsoet menyerahkan kewenangan mengubah konstitusi kepada partai politik. Tujuan yang ingin dicapai adalah wacana yang dikeluarkan MPR RI tidak dapat ditegakkan tanpa dukungan partai politik.
Bamsoet berharap bisa mengalihkan kemarahan publik atas amandemen dari dirinya sendiri ke partai. Karena itu, publik harus fokus pada kritik mereka terhadap partai, bukan diri mereka sendiri.
Bamsoet juga terobsesi dengan argumentasi bahwa tidak perlu marah dan kebakaran jenggot, terkait dengan pembahasan amandemen konstitusi karena masih jauh. Pada tahap revisi konstitusi, dinamika politik dan partai politik memiliki pengaruh penting terhadap kelanjutan wacana ini.
Kedua, Bamsoet juga sibuk berteori tentang pentingnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai arah di mana kapal negara beroperasi, agar tidak membuat masyarakat bingung dan menduga ada “kepentingan pribadi” dalam Amandemen Konstitusi. Bamsoet secara tidak sengaja membuka “kotak pandora” amandemen konstitusi yang bertujuan untuk memperkuat kekuasaan Jokowi, menekankan pentingnya PPHN yang akan diadopsi dalam produk hukum TAP MPR.
Pernyataan Bamsot bukan saja tidak membuat publik kehilangan akal, menganggap urgensi amandemen konstitusi adalah untuk masa depan negara, tetapi menegaskan keaslian keinginan Jokowi untuk memperkuat kekuasaan melalui amandemen konstitusi.
Ketiga, Bamsot ingin menggunakan berbagai perdebatan akademis dan intelektual tentang urgensi revisi konstitusi untuk menutupi “motivasi politik” di balik revisi konstitusi. Misalnya, Bamsoet meluncurkan buku pentingnya PPHN pada buku ke 19 nya, bertujuan mencegah negara tanpa arah.
Bamsoet tidak ingin publik membaca bahwa ada kepentingan pribadi atau partainya (Golkar) di balik semangat MPR RI untuk memperkenalkan wacana amandemen. Bamsoet berharap dapat membangun kepercayaan publik bahwa pembahasan amandemen yang dia luncurkan semata-mata untuk kebaikan bangsa dan negara.
Keempat, Bamsoet berusaha menghindari tekanan opini publik dengan cara kuno, yakni mencari kambing hitam. Dalam buku ke-20 Bamsoet yang akan terbit pada 10 September 2021 berjudul 'Hadapi dengan Senyuman', Bamsoet mencoba menciptakan 'musuh bersama' dengan sekali lagi menjual isu Radikalisme.
Melalui buku tersebut, Bamsoet mengatakan bahwa ada ancaman lain selain kemerosotan ekonomi umat yaitu radikalisme, anarkisme, rasisme, separatisme, intoleransi dan saling bersaing. Oleh karena itu, menurutnya perlu penguatan nasionalisme untuk menjaga kebinekaan dan kenegarawanan yang sejati.
Amandemen konstitusi, dan mungkin legitimasi ke depan, untuk melindungi Pancasila dan UUD 1945 dari ancaman radikalisme. Bahkan, Bamsoet mulai berbicara tentang perlunya vaksinasi ideologis, bukan sekadar vaksinasi Covid-19.
Pengadopsian norma PPHN dalam amandemen konstitusi akan disebut “vaksinasi konstitusional” untuk melindungi ideologi bangsa dari ancaman virus radikalisme. Entah Bamsoet nantinya akan berbicara seperti Hasto Kristiyanto yang berani menyebut Khilafah sebagai ideologi yang mengancam negara sebagai bentuk protes kritik publik terhadap rencana pengesahan RUU HIP beberapa waktu lalu.
Alhasil, batin Bamsoet saat ini frustasi karena tanggung jawab atas kemarahan publik atas rencana amandemen konstitusi seolah tersalurkan dan ditumpahkan kepadanya. Padahal, 'pesta kekuasaan' jika amandemen konstitusi itu sah yang menikmatinya bukan hanya elite politik saja termasuk partai juga akan berpesta.
Awalnya, Bamsot ingin tampil paling depan karena merasa paling berpengaruh, sehingga dirinya dan Golkar bisa mendapat dividen besar sebagai kompensasi amandemen konstitusi berturut-turut. Padahal, fakta yang harus dihadapi Bamsoet saat ini adalah dirinya berada di bawah tekanan terbesar opini publik, dan kompensasi kekuasaan yang dijanjikan atas usahanya dalam amandemen belum dijamin.
0 Komentar