TERKAIT IDE AMANDEMEN KONSTITUSI BAMSOET MENCOBA MEREDAKAN KEMARAHAN RAKYAT


Oleh: Nasrudin Joha
Pengamat Politik

"Kenapa tidak terpikirkan amandemen ke-5 untuk kita bisa kembali ke UUD 1945 aslinya dan seluruh perubahannya masuk dalam adendum? Kenapa kita selalu curiga dan syaksangka saja?" Ucap Bambang Soesatyo pada Jum'at 3 September 2021.

Pagi ini (9 Maret), penulis di GWA MKGR milik rakyat menerima komentar Bambang Soesatyo (Bamsoet), Ketua MPR RI, yang mencoba mengusulkan amandemen ke-5 untuk kembali ke UUD 1945 yang asli dan mempertahankan beberapa amandemen yang ada sebagai tambahan.

Jelas, wacana semacam ini tidak bisa diartikan sebagai upaya mencari solusi untuk masa depan negara, melainkan sebagai bentuk permintaan maaf, dan cara untuk melepaskan diri dari kemarahan publik akibat desakan Bamsut untuk mengubah konstitusi. Menyuntikkan PPHN dan memberdayakan MPR sebagai pemegang kewenangan memutus PPHN.

Bamsoet berusaha mencari simpati bagi beberapa tokoh yang berbicara tentang kembalinya UUD 1945, sekaligus membawa racun amandemen ke dalam lampiran peluru. Padahal, tujuan kelompoknya Mengembalikan UUD 1945 Asli adalah mengembalikan UUD ke bentuk aslinya dengan membersihkan unsur-unsur amandemen yang dianggap ilegal.

Gagasan untuk kembali ke UUD 1945 tetapi menempatkan amandemen di dalam atau sebagai bagian dari lampiran UUD adalah tindakan melegitimasi amandemen yang dilakukan antara tahun 1999 dan 2002. Artinya, Bamsoet mencangkokkan racun konstitusi pada narasi amandemen UUD 1945.

Sekaligus, jika itu berarti kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen, berarti memberikan legitimasi kepada Jokowi untuk mencalonkan diri kembali sebagai presiden. Karena salah satu alasan amandemen UUD adalah membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode.

Dengan UUD 1945 yang asli, Soeharto melegitimasi kekuasaannya selama 32 tahun dengan dalih menafsirkan Pasal 7 UUD 1945. Apakah Bamsoet memunculkan 'ide kembali ke UUD 1945' untuk menjadikan Jokowi sebagai Soeharto baru? Wallahu a'lam.

Jelas Bamsoet gagal meyakinkan publik bahwa pembahasan amandemen hanya sebatas pembahasan PPHN. Bahkan, masyarakat membaca bahwa PPHN dan implementasinya melalui TAP MPR akan digunakan untuk memperkuat kekuasaan Jokowi, baik melalui narasi tiga periode maupun penambahan periode kedua hingga 2027.

Posisi Bamsoet saat ini sulit karena tidak semua rekannya di MPR setuju dengan amandemen tersebut. Hidayat Nur Wahid (HNW), misalnya, termasuk yang mengkritik keras amandemen tersebut, karena diduga digunakan untuk memperkuat kekuasaan Jokowi.

Bamsoet dipaksa berjuang sendiri, antara terus “bertahan” hingga melanjutkan pembahasan amandemen dan konsekuensinya dengan berbagai dalih (penyangga) termasuk menghindarinya atau menghentikannya hanya untuk menutupi rasa malu. Namun, syaratnya juga bisa dimajukan kembali jika itu merupakan perintah para oligarki. Kita tahu bahwa yang benar-benar berkuasa bukanlah mereka yang saat ini menduduki jabatan di republik ini.

Dengan kesadaran publik yang peka terhadap manuver politik para politisi, sepertinya akan agak sulit untuk melanjutkan diskusi ini. Muhammadiyah sudah angkat bicara dan biasanya kalau sudah jadi opini publik, NU juga angkat bicara menentang amandemen.

Legitimasi partai politik saat ini tidak cukup kuat karena partai lebih dilihat sebagai wakil oligarki daripada suara rakyat. Bamsoet duduk cukup berat dan hanya akan bertambah berat.

Meski begitu, saya meminta Saudara Bamsoet untuk tersenyum. Seperti jargon politik yang diusungnya, tak perlu marah apalagi kebakaran jenggot.

Posting Komentar

0 Komentar