KERETA CEPAT JAKARTA - BANDUNG TERINDIKASI KODUPSI! HARUSNYA SEGERA DIPERIKSA BUKAN MALAH MENAMBAH ANGGARANNYA!


Oleh: Nasrudin Joha
Aktivis Politik dan Perubahan

Ketika penulis mendengar kabar bahwa Presiden mengeluarkan Perpres No. 10, saya awalnya sangat terkejut. Perubahan Nomor 93 Tahun 2021 menjadi Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 untuk mempercepat pelaksanaan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. Pasalnya, dalam Perpres ini, khususnya pada Pasal 4, disebutkan bahwa dana proyek kereta cepat dapat dibiayai dari APBN dengan dalih menjaga kesinambungan pelaksanaan proyek strategis nasional. Kapasitas fiskal dan keberlanjutan.

Padahal, jika alasan dikeluarkannya keppres tersebut adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan proyek strategis nasional, maka hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi kinerja dan status keuangan proyek tersebut.

Tak heran jika Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut untuk memimpin panitia yang menangani kereta api cepat Jakarta-Bandung. Selama ini Luhut kerap mengambil jabatan tambahan dari Jokowi, selain tugas pokoknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Menurut laporan, megaproyek ambisius itu semula direncanakan menelan biaya US$6,07 miliar atau setara Rp86,5 triliun, namun kini berubah menjadi sekitar US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun. Angka ini tidak boleh dijadikan dasar legalitas untuk mengeluarkan keputusan presiden yang mengesahkan dana APBN untuk memenuhi kebutuhan dana proyek.

Menurut sumber tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri telah meminta konsorsium BUMN yang terlibat dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung untuk menghitung lebih detail overrun cost pekerjaan tersebut.

"Sri Mulyani minta perhitungan lebih detail kekurangan dana tidak hanya untuk capex tapi juga selama operasional atau cash shortfall," kata Sri Mulyani, Minggu (19 April 2021).

Kewajiban audit untuk menyelidiki tanda-tanda korupsi, bukan hanya audit rincian permintaan anggaran.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN) baik yang diakumulasikan ke PT Kereta Api Indonesia maupun disalurkan melalui beberapa BUMN lain yang terkait.

Tujuannya agar tidak terjadi overruns (pemborosan biaya) seperti pada awal program. Detail penghitungan kebutuhan ini juga untuk menghindari potensi kerugian dari efek korupsi terhadap kas negara.

BPKP sendiri mempunyai beberapa fungsi, antara lain: perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban, pertanggungjawaban pendapatan negara/daerah dan pertanggungjawaban pengeluaran fiskal negara/daerah, dan/atau kegiatan lain yang dibiayai seluruhnya atau sebagian oleh APBN dan/atau subsidi, termasuk entitas komersial. dan badan lain, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah yang mempunyai kepentingan keuangan atau kepentingan lainnya, dan pertanggungjawaban pembiayaan keuangan negara.

Fitur ini dapat digunakan untuk mengaudit pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, salah satunya untuk menentukan rincian jumlah kebutuhan dan alokasi anggaran yang akan dibayarkan pemerintah melalui APBN.

Sayangnya, Presiden telah mengeluarkan Executive Order. Perubahan Nomor 93 Tahun 2021 menjadi Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 untuk mempercepat pelaksanaan prasarana dan sarana kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal, Perpres seharusnya keluar setelah diaudit secara menyeluruh oleh BPKP.

Oleh karena itu, menurut analisa penulis, yang dibutuhkan saat ini adalah pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Perlu diingat bahwa permintaan anggaran pada awalnya hanya menelan biaya US$6,07 miliar atau setara dengan Rp86,5 triliun, namun kini telah meningkat menjadi sekitar US$8 miliar atau setara dengan Rp114,24 triliun yang mengindikasikan kuat bahwa perencanaan dan implementasi terjadi keanehan yang mengarah pada tindak pidana korupsi Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Oleh karena itu, audit harus dilakukan oleh BPK dan bukan oleh BPKP. Karena tujuan audit adalah untuk menentukan jumlah kerugian keuangan proyek tersebut terhadap negara.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban fisik dengan skala nasional oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, badan layanan umum, perusahaan daerah, dan badan atau lembaga lain yang mengelola keuangan negara. Peran BPK sebagai lembaga negara yang diamanatkan konstitusi adalah untuk meninjau pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara untuk memberantas dan mencegah korupsi.

Sejak November 2016, BPK telah membentuk unit kerja Investigative Audit Institution (AUI) utama. AUI dibentuk untuk lebih mengoptimalkan pemberian pemeriksaan investigasi, perhitungan kerugian negara dan keterangan ahli, termasuk permintaan pemeriksaan dan perhitungan yang diajukan oleh lembaga penegak hukum.

Tim tersebut dapat segera diterjunkan untuk mengecek perencanaan dan pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dikabarkan mengalami kenaikan biaya dari US$6,07 miliar (setara Rp8,65 triliun) menjadi sekitar US$8 miliar atau setara dengan 1,1424 juta miliar.

Pemeriksaan BPK tidak berdiri sendiri dan harus dilakukan bersama KPK. Padahal, pemeriksaan BPK seharusnya atas permintaan KPK guna mengungkap unsur-unsur kerugian keuangan negara dalam penyidikan dan penyidikan kasus korupsi.

Dalam Pasal 6 Bab II Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai lima tugas pokok, yaitu melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang, pemberantasan korupsi, mengawasi instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan korupsi, melakukan penyidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, lalu Mengambil langkah-langkah pencegahan tindak pidana korupsi.

Ada dua ketentuan utama yang harus dilakukan KPK dengan BPK dalam penyidikan, yakni:

Pertama, Pasal 2 UU Tipikor mengatur bahwa barang siapa secara melawan hukum melakukan perbuatan untuk dirinya sendiri atau orang lain atau perusahaan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun dan denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Kedua, Pasal 3 UU Tipikor mengatur bahwa setiap orang yang mencari kepentingan dirinya sendiri, orang lain, atau perusahaan, menyalahgunakan kekuasaan yang dapat merugikan kepentingan orang lain. Keuangan negara atau perekonomian nasional, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun sampai dengan paling lama 20 tahun, atau pidana denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Dua pasal inilah yang harus menjadi dasar penyelidikan KPK dan BPK. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui jumlah kerugian keuangan negara dan siapa yang bertanggung jawab atas korupsi tersebut.

Prioritas negara adalah menghitung kerugian keuangan negara dan menghukum para pencuri yang mencuri uang negara dari proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, karena sebelumnya mereka berkomitmen tidak menggunakan dana dari APBN. BUMN penyertaan modal negara (PMN) menjadi incaran otoritas BPK. Negara melalui KPK harus mengusut tuntas korupsi dalam proyek kereta cepat ini daripada menyuntikkan dana dengan meningkatkan penyertaan modal negara (PMN) dalam APBN.

Posting Komentar

0 Komentar