
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Indonesia di tahun 1930 adalah eksportir nomor dua terbesar di dunia, setelah itu Kuba, demikian dikatakan oleh Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III Mohammad Abdul Ghani, pernyataan itu beliau ungkapkan dalam rapat dengar pedapat (RDP) dengan Komisi VI (finance.detik.com, 20/9/2021).
Produktivitas tanaman tebu rata-rata nasional saat itu mencapai 15 ton. Namun, kini hanya sepertiganya yakni sekitar 5 ton. Masa jaya Indonesia di bidang gula itu telah usai. Saat ini, Indonesia merupakan importir gula terbesar di dunia. Abdul Ghani mengatakan, berdasarkan proyeksi PwC (PricewaterhouseCoopers) kebutuhan gula nasional akan terus mengalami peningkatan. Sungguh memprihatinkan. Peningkatan impor menurut PwC dari tahun ke tahun peningkatan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk, terus meningkatnya kesejahteraan sehingga konsumsi per kapita juga naik.
Maka menurut Abdul Ghani lagi solusinya adalah transformasi gula PTPN, salah satu tujuannya ialah untuk mewujudkan kemandirian di gula konsumsi. Komisi VI DPR memanggil sejumlah direktur utama dalam holding PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN Group siang ini, untuk rapat dengar pendapat (RDP) membahas progres pembentukan holding pabrik gula (SugarCo).
Rapat dengar pendapat kali ini dibuka dan dipimpin Wakil Ketua Komisi VI Mohamad Hekal. Dia mengatakan, rapat ini telah memenuhi kuorum karena dihadiri oleh 20 anggota dari 8 fraksi. Menurut Mohamad Hekal tidak mungkin Indonesia memaksakan swasembada seluruh gula, melihat kemampuan lahan, terutama untuk padi dan sebagainya. Tapi minimal gula konsumsi PTPN bisa berkontribusi dengan mengkonversi lahan kita, memperluas lahan tebu, kemudian bekerjasama dengan petani.
Untuk ini Holding PTPN III atau PTPN Group berencana untuk membentuk sugar company, yang merupakan entitas tunggal dari 35 pabrik gula milik PTPN Group. SugarCo ini diharapkan dapat menjalin kerja sama dan mampu menggalang pendanaan dari investor. Dana tersebut diharapkan dapat digunakan untuk membangun dan mengembangkan pabrik gula. "SugarCo ini nantinya diharapkan menjalin kerja sama dengan lembaga pengelola investasi dan investor, dalam maupun luar negeri untuk mendapatkan pendanaan, dan pembangunan PG baru maupun revitalisasi PG yang telah ada," kata Mohamad Hekal lagi.
Menteri BUMN Erick Thohir meminta perluasan lahan tanam tebu untuk menggenjot produksi gula dalam negeri. Perluasan lahan bakal dilakukan dengan melibatkan tebu rakyat dan menambah luasan tanaman tebu milik Perhutani. Targetnya pada tahun 2024-2025 mencapai 250 ribu hektar. Erick Thohir mencontohkan pengelolaan PT Industri Gula Glenmore oleh PT Perkebunan Nusantara XI, sudah bertransformasi menjadi pabrik gula modern dengan teknologi canggih. Ini diharapkan ikut mendorong terwujudnya swasembada gula konsumsi bagi Indonesia. Dengan luas seluruh lahan yang dikelola holding perkebunan, Indonesia harus menjadi negara dengan kekuatan industri gula yang solid.
Meski tetap memerlukan peran swasta, namun sudah saatnya perusahaan BUMN yang bergerak dalam bisnis perkebunan tebu dan gula bergabung dalam satu holding untuk mewujudkan mimpi lama yaitu meningkatkan ekspor dan mengurangi impor, terutama untuk komoditas yang dimiliki dan menjadi kekayaan Indonesia, terus diupayakan oleh Kementerian BUMN kepada perusahaan BUMN. "Sudah saatnya kita jangan hanya menjadi market saja yang akan menyulitkan negara kita sulit. Dengan potensi yang kita miliki, bagaimana pula gula harus menjadi tulang punggung ekonomi yang penting ke depannya," pungkas Erick.
Swasemba Tebu Dengan Intervensi Asing, Ilusi!
Ketua Umum APTRI mengeluhkan harga pokok petani (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET) gula tani yang masih berpijak pada regulasi tahun 2016 lalu. Padahal, biaya produksi gula dari petani sudah melambung tinggi pada tahun ini.
Ketua Umum APTRI (Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia), Soemitro Samadikun, mengeluhkan harga pokok petani mengatakan(HPP) dan harga eceran tertinggi (HET) gula tani yang masih berpijak pada regulasi tahun 2016 tidak menguntungkan petani tebu di sejumlah daerah. Padahal biaya produksi gula dari petani sudah tinggi tahun ini. Konsekwensinya, produksi tebu dari petani lokal relatif menyusut yang diimbangi dengan kebijakan impor dari pemerintah setiap tahunnya.
“Dari 2019 kami rugi, keputusan Rp. 12.500 itu adalah HET yang ditetapkan pada 2016, sampai tahun ini tidak berubah. Apakah benar bahwa kebutuhan kita untuk memproduksi tanaman tebu itu semakin murah,” kata Soemitro saat Webinar Modernisasi Gula Negara. Sempat disetujui untuk dibeli sejumlah importir senilai Rp. 11.500 pada tahun lalu tapi tak kunjung terealisasi (Bisnis.com,28/9/2021).
Sungguh, manisnya tebu justru berbuah tangis bagi petani tebu hari ini. Keinginan swasembada memang patut diapresiasi terlebih dalam sejarahnya, negara kita pernah menjadi eksportir terbesar kedua dunia, ini menandakan kebutuhan dalam negeri sudah stabil sehingga bisa diambil kebijakan ekspor. Jika kini berbeda keadaan, tentu ada akar persoalannya. Namun bukan karena bonus demografi sebagaimana pendapat Pwc, pendapat itu cenderung mengambil pendapat sistem sosialis yang menghitung jumlah penduduk dan ketersediaan pangan dengan deret ukur.
Nyatanya, hingga hari ini ketersediaan lahan dan bahan pangan masih melimpah di beberapa wilayah meskipun jumlah penduduk dunia sudah semakin bertambah banyak. Masalahnya adalah di sistem distribusi yang tak merata. Semua karena kebijakan yang diambil hanya berlandaskan manfaat semata. Akar persoalannya pertama, kurangnya lahan yang dikeluhkan sungguh berbanding terbalik dengan kebijakan penguasa yang disahkan terkait tukar guling lahan, seringkali pembangunan area industri atau pemukiman di lahan hijau atau serapan yang seharusnya tetap ada, namun karena menaati keinginan investor dirubah.
Kedua, pabrik yang berubah holding atau PT yang kemudian mengundang investor adalah bentuk bunuh diri nyata. Tak pernah ada dalam catatan sejarah datangnya investor benar-benar memberikan dampak terciptanya sejahtera bagi rakyat. Bahkan hampir-hampir tak menyentuh, hal ini bisa kita lihat di beberapa wilayah dimana BUMN yang mengelola semata-mata hanya mencari untung, semua dihitung untung rugi. Ekslusif dan rakyat sekitar bukanlah pihak yang paling berhak dilayani.
Semestinya mindset kita butuh kerjasama dengan swasta dalam hal pendanaan harus dihapuskan. Sekali lagi, sistem kapitalis yang hari ini berjalan tak benar-benar memberikan modal tanpa embel-embel yang lain. Tak ada makan siang gratis, sudahlah mashyur menjadi motto para kapitalis tersebut. Jika bukan imbalan proyek eksploitasi pastilah berupa kebijakan. Dan sudah bukan rahasia jika penguasa di negeri ini hanyalah sebagai regulator kebijakan. Tak benar-benar ada untuk melayani rakyat.
Ketiga adalah campur tangan pemerintah terkait penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang malah mematikan harga jual petani sebab biaya perawatan dan produksi sebelumnya sudah tinggi. Terutama kurangnya perhatian pemerintah terhadap sistem pertanian, peningkatan kualitas tebu dan pendampingan pasar (bukan menetapkan harga) menambah berat beban yang ditanggung petani. Jika kemudian pemerintah memutuskan impor karena menyusutnya produksi tebu petani sesungguhnya bentuk kezaliman yang nyata.
Jika ingin ketahanan pangan terbentuk, swasembada gula kembali merajai dunia, cabut kebijakan kapitalis. Sebab watak kapitalis yang rakus dan menghalalkan segala cara tak akan pernah mengantar pada keinginan di atas.
Hanya Islam Solusi Tuntas
Perhatian penguasa terhadap pertanian memang tak sebesar janjinya yang menginginkan ketahanan pangan. Sebab tak ada rangsangan yang menjanjikan jika hari ini bergelut di bidang pertanian. Bukan pekerjaan bergensi dan jelas tidak jadi incaran anak muda sebab tak ada yang "menarik". Fakultas pertanian semakin tahun semakin sedikit peminatnya, tak ada lowongan pekerjaan yang menjanjikan begitu katanya. DiUniversitas Gajah Mada saja 4 fakultas pertanian dengan 3 jurusannya tak sampai 300 peminat.
Padahal tanpa ilmu yang memadai bagaimana bisa muncul ahli-ahli pertanian yang mampu mengokohkan ketahanan pangan bangsa? Jelas tak mungkin selamanya kita mengandalkan impor, maka tak ada pilihan lain, kita harus beralih pada sistem yang mendukung. Bukan kapitalisme atau sosialisme, namun sistem Islam. Sebab sejatinya Islam bukan saja agama pengatur akidah dan ibadah namun juga memuat aturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Wallahu a'lam bish showab.
0 Komentar