
Oleh: Nasrudin Joha
Aktivis Politik dan Perubahan
Kata Pengantar:
“Kami santri sangat menghormati kyai kami, bahkan jika kami diizinkan masuk ke Mihrab Kiyai, kami tidak berani masuk. Lalu, tiba-tiba ada orang di luar kami, masuk ke Mihrab Kiyai kami dan mengacaukan isi di dalamnya. Dengan alasan ingin memperbaiki isinya"
Kalimat di atas merupakan tajuk pengantar yang disampaikan sebelum penulis ditunjuk oleh Abuya KH Machfud Syaubari, MA, mewakili para santri, untuk menginterpretasikan penelitian hukum berupa kritik terhadap UU Pesantren dan undang-undang turunannya. Hakikat sebenarnya dari hukum pesantren adalah ingin “mengacaukan” Mihrab Ulama, ruang eksklusif yang hanya bisa dimasuki dan diatur oleh Kyai menurut pandangan dan keyakinannya.
UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Jo Permenag No 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren Jo Pepres No 18 Tahun 2021 tentang Alokasi Pesantren dan UU No 18 tentang Pembinaan Pesantren DPRD Provinsi Jawa Timur, baik secara substansi maupun ruh UU ini mencampuri urusan keluarga pondok pesantren dan menetapkan peraturan pesantren yang terlalu banyak mengintervensi mulai dari urusan keuangan pondok pesantren, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kurikulum dan manajemen.
Konon, hubungan Umaro (Penguasa) dengan Ulama itu seperti antara anak dengan bapaknya. Umaro wajib menghormati Ulama seperti menghadap Ulama, meminta nasihat dan petunjuk Ulama, bahkan meminta teguran Ulama bila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan amanat kekuasaan.
Posisi ulama itu harus menjauhkan diri dari kekuasaan, menasihati ketika Umaro berkunjung, dan datang kepada Umaro untuk meluruskan tugas para pemimpin jika Umaro keluar dari koridor Islam. Inilah hakikat fungsi dan peran Ulama dalam menjalankan misi Amar Maruf Nahi Munkar kepada penguasa.
UU Pesantren mengubah pola hubungan dan interaksi antara Ulama dan Umaro. UU tersebut membuat kedudukan Ulama dan Pesantren sebagai sub ordinat Umaro.
Alih-alih menasehati penguasa, Kyai yang diubah harus pergi ke pihak berwenang untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Undang-Undang Pesantren. Para ulama ramai-ramai mendatangi pihak berwenang untuk mengurusi administrasi, kurikulum, meminta persetujuan pihak berwenang terhadap pesantren untuk mengimplementasikan kurikulum, melaporkan kepada pihak berwenang tentang aspek manajemen dan keuangan pesantren, bahkan “meremehkan” ulama dengan pergi ke pesantren untuk survei dan pihak berwenang akan menilai proposal pendanaan serta menyuruh pesantren "bersaing" demi mendapatkan alokasi dana wakaf ke pesantren.
Belum lagi, undang-undang pesantren dapat dengan mudah dijadikan sarana untuk persaingan dan memecah belah antara Kyai dan pesantren. Dengan dalih radikalisme dan Islam moderat, penyaluran dana tetap pesantren bisa dilakukan untuk mengontrol interaksi kiyai dan pesantren.
Undang-undang ini juga dapat dengan mudah digunakan untuk menyeret para ulama dan pesantren ke dalam Politik Praktis, baik pada pemilihan umum, presiden, maupun pemilihan kepala daerah. Mereka yang mendukung calon tertentu akan dihargai, dimudahkan urusannya dan mendapat bantuan. Sedangkan pesantren yang jadi lawan politik diasingkan, urusannya rumit, dan ada kemungkinan untuk dihukum.
Karena itu, sikap ulama dan pesantren se-Indonesia yang mengikuti rapat komisi kedelapan DPR RI dengan para imam dan pesantren di Pondok Pesantren Riyadhul Jannah, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, 30 September 2021 lalu, menolak. UU Pesantren dan segala aturannya.
Penulis berpendapat bahwa campur tangan hukum pondok pesantren terhadap urusan internal pondok pesantren bukan hanya persoalan substantif dan spiritual hukum pondok pesantren, tetapi juga memiliki motif menguasai dan mencampuri urusan pendidikan pondok pesantren, dari aspek pengaturan dan manajemen kurikulum. Banyak aturan UU tersebut yang berkaitan dengan urusan keuangan pesantren. Juga, UU ini tidak bisa mendikte sikap penguasa (Umaro') terhadap Kyai (Ulama) karena Umaro harus taat pada Kyai itulah adabnya.
Mendidik santri dan non-pesantren mengunakan metode yang berbeda. Ada hal yang unik bahkan sangat intuitif dalam menjelaskan bagaimana cara mengajar santri yang benar, itulah intuisi yang hanya dimiliki oleh Kyai.
Urusan mendidik santri tentu saja harus diserahkan kepada Kyai. Tentu saja, keberadaan pemerintah masih dimungkinkan untuk terlibat, asalkan dalam rangka mengabdi dan meminta nasehat kepada Kyai, bukan malah “mengurus” apalagi mencampuri secara berlebihan apa yang sudah menjadi kafa’ah (kemampuan) seorang Kyai.
0 Komentar