Oleh: Fani Ratu Rahmani
Ada bermacam-macam bentuk permen dan tidak hanya itu, rasanya pun beragam dari yang manis, asam, hingga pedas. Tidak ketinggalan, kemasan permen juga membuatnya tambah menarik. Jadilah sebuah produk yang akan selalu ada peminat bahkan pecintanya.
Ketika muncul permen rasa kopi, tentu ini bukan hasil spontanitas, kan? Pasti diawali dari sebuah ide yang menjadi "strong why" kenapa harus rasa kopi. Ide itu akan menjadi nafas, dan tentu ingin diwujudkan menjadi nyata. Kalau tidak diwujudkan ya percuma, hanya menjadi khayalan semata.
Prosespun dimulai. Siapkan segala bahan, alat-alat, eksekutor yang handal, dan sebagainya. Riset konsumen juga dilakukan, "seberapa berhasil jika produk ini diluncurkan". Tidak kalah penting marketing pastinya, harus menarik dan ciamik. Tujuannya agar produk ini harus berhasil!
Belakangan ini juga ramai soal permen. Tapi, ternyata bukan permen yang biasa kita konsumsi, hehe. Permen yang heboh ini merupakan singkatan dari Peraturan Menteri.
Apa itu Peraturan Menteri? For your information, Permen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan, dibentuk oleh menteri dan mengikat secara umum. Jadi, level kekuatan hukumnya pun lebih tinggi dari peraturan daerah (Perda). That's why Perda pun ada yang merujuk pada Permen.
Permendikbud No. 30 tahun 2021 inilah yang lagi dibincangkan oleh pejabat, influencer, akademisi, mahasiswa, sampai warganet +62. Permen ini akan mengatur soal kekerasan seksual, mulai dari jenisnya hingga standarnya. Dengan maksud, 'berpihak pada korban kekerasan seksual'. Sebab, kasus kekerasan seksual emang seperti fenomena gunung es, yang tidak tampak jauh lebih banyak.
Kontroversi muncul karena permen ini memang bermasalah, tampak dari pasal yang mengarah pada kebolehan sexual consent (seks dengan persetujuan). Simplenya, "Sex's not a big problem, when you approve it." Ketika tidak ada paksaan, tidak ada pihak yang merasa dirugikan ya boleh-boleh aja. But, Apa kalian setuju dengan ini?
Sebagian besar umat islam, yang berpikir dengan sudut pandang islam tentu akan menentang prihal ini. Ulama di majelis MUI juga sepakat agar mencabut permen ini. But, pahamilah ketika ada yang menolak permendikbud ini bukan berarti tidak "care" sama korban kekerasan seksual. Justru, islam memberi solusi jauh lebih komprehensif daripada sekadar "melindungi korban".
Tapi, gini... Peraturan menteri juga bukan hasil spontanitas, kan? Para pejabat yang menggawangi produk ini tentu punya dasar pemikiran. Ketika produknya ternyata mengarah pada liberalisasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan, bisa dipastikan ide dasarnya adalah sekuler-liberal. Ide yang memisahkan antara agama dari kehidupan dan menjunjung tinggi kebebasan individu, termasuk bertingkah laku. Bukan berdasarkan agama, kan?
So, sama seperti permen yang biasa kita makan, Peraturan Menteri itu hanya produk. Produk yang di desain begitu apik dengan kemasan menarik, yang katanya demi menghentikan kekerasan seksual. Tapi, di sisi yang lain justru membuka lebar terjadinya zina dimana-mana "asal sama-sama mau". Dan produk ini marketingnya juga oke, diendorse sama pejabat langsung termasuk Menag plus follower-follower setianya yang berkeliaran di sosmed. Ngeri!
Guys, kalau kita muslim maka konsekuensi dari syahadat kita adalah berpikir dan bertindak sesuai standar syariat islam. Standar syariat itu halal-haram, ini standar baku dari Allah. Ketika Allah katakan zina itu haram, ya berarti haram. Mau ada persetujuan pun, sama hukumnya haram. Jadi, gada dalam islam, istilah sexual consent.
Trus, gimana dong dengan permen ini? Ya, harus dicabut. Kita harus menyuarakan kebenaran bahwa permen tersebut bertentangan dengan syariat islam. Jangan diem-diem bae, ketika kemunkaran itu didiamkan maka kondisi rusak ini tidak akan berubah. Tapi, apa cukup dengan mendorong permen ini dicabut?
Yang berbahaya dari permen ini adalah ruh sekuler-liberalnya. Parahnya, ide ini bukan disebarkan oleh oknum atau sekelomok orang saja loh, tapi diterapkan oleh negara. Ketika ini telah menjadi asas sebuah negara, mendarah daging dalam sistem aturan maka kebijakan negara tersebut dipastikan sekuler, rusak dan merusak. Berharap kebijakannya sesuai islam? Tidak segampang itu marimar, karena secara asas saja sudah berbeda bahkan bertentangan dengan islam.
Mencabut permen kontroversi ini harus, tapi menyerukan itu saja tidak cukup. Karena kerusakan di tengah umat ini adalah buah dari akar sistem yang salah. Sehingga, solusi tuntasnya mesti cabut hingga akarnya. Ubah sistemnya dengan sistem yang shohih, maka produk kebijakan yang benar dan baik pun akan terwujud di tengah umat.
Perkara kekerasan seksual yang meresahkan adalah sebuah jarimah (kejahatan) yang harus dihentikan. Tapi, akan tuntas apabila dikembalikan pada syariat islam. Mengapa? Karena islam berasal dari Allah, sang Maha Benar. Dan aturan Allah tentu baik untuk seluruh manusia. Lantas, bagaimana islam menuntaskan kekerasan seksual? Wait for the next.
0 Komentar