Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Tak bosannya pemerintah menetapkan kebijakan yang satu ini, ya, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Kali ini level 3. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengatakan kemungkinan besar akan mengumumkan ketentuan PPKM level 3, 22 November (cnbcindonesia.com, 21/11/2021).
Kebijakan ini akan dituangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri). Selama ini, ketentuan pelaksanaan PPKM Jawa Bali maupun non Jawa Bali memang dituangkan dalam Inmendagri. Baik yang sudah berstatus PPKM level 1 maupun level 2 akan dipukul rata menerapkan aturan PPKM level 3. Alasannya supaya ada keseragaman secara nasional.
Perbedaannya dengan level sebelumnya adalah tidak ada penyekatan untuk semua jenis akomodasi umum dan pribadi. Sedangkan untuk kegiatan merayakan Natal dan tahun baru, hanya di batasi dalam ranah privat, tidak lebih dari 15 orang. Dan bukan di hotel atau tempat umum lainnya, disarankan dalam rumah-rumah pribadi.
Mengapa pilihan pemerintah jatuh pada PPKM lagi? Padahal sudah terbukti sekian kali ditetapkan tidak juga menghilangkan pandemi secara menyeluruh, malah varian baru virus Corona-19 sempat bertandang di Indonesia dan membuat gelombang penularan yang tidak kalah dahsyat dengan varian sebelumnya.
Banyak alternatif solusi yang disodorkan para ahli, di antaranya adalah Lockdown. Namun pemerintah tidak bergeming, dengan alasan kasihan nasib pengusaha dan pelaku UMKM. Sangat menggelikan, padahal secara fakta, jumlah masyarakat dengan profesi bukan pengusaha atau pelaku UMKM lebih banyak, apakah mereka tidak layak untuk dipikirkan juga?
Sikap tidak mau rugi ini sungguh menjadi simalakama, program vaksin di genjot namun tempat wisata di buka lebar. Beberapa wilayah di berlakukan new normal namun tes PCR sebagai syarat bepergian justru di bisniskan sehingga harganya melonjak. Kurva penularan dikatakan melandai, namun laporan satgas Covid tidak lagi sekencang sebagaimana awal virus ini memakan banyak korban jiwa.
Padahal rakyat tetap butuh informasi yang up to date. Sementara, rakyat berjuang sendiri dalam mempertahankan hidup, pemerintah disibukkan dengan utang luar negri. Alasan klasiknya untuk perbaikan ekonomi dan pengamanan pandemi. Hingga isu perubahan iklim, sukses menggeser fokus pemerintah kepada bagaimana Indonesia mengatasi perubahan iklim tersebut. Yang menurut menteri keuangan, Sri Mulyani, dampaknya lebih menakutkan di banding covis-19.
Nalar yang tidak logis, keberpihakan pada pengusaha atau pemegang modal, abainya terhadap nasib rakyat adalah bukti nyata bahwa sistem hari ini yang diadopsi negeri ini bukan berasal dari Islam meskipun mayoritas beragama Islam. Sebab, ketika penyekatan ditiadakan, bukan tidak mungkin akan muncul kluster baru penyebaran Covid-19.
Hal ini berpijak pada ketetapan presiden untuk tidak ada penyekatan selama liburan Natal dan Tahun Baru, banyak kemudian masyarakat yang memberi saran ketiadaan penyekatan ini karena hari liburnya Kaum Nasrani, belum tentu berlaku hal yang sama ketika nanti jadwal hari libur kaum Muslimin.
Rakyat kembali harus menelan pil pahit, bahwa sesungguhnya pemerintah tidak punya solusi mengatasi pandemi ini. Bahkan sejak awal, selain hanya mengikuti agenda asing sekalipun tidak cocok dengan kondisi riil di negeri ini. Tentu saja ini menjadi bahan muhasabah bagi kita semua, ketika untuk urusan dalam negeri sendiri tidak memiliki tujuan pasti, penyelesaian setiap persoalan juga bergantung pada negara asing sama halnya kita dipaksa mengakui bahwa kedaulatan Indonesia hanya isapan jempol belaka.
Segala puja puji atas posisi Indonesia di kancah internasional, bahkan kita punya menteri keuangan terbaik di dunia tidak lebih dari racun yang melenakan. Berdiri di kaki sendiri saja tidak mampu. Maka kita harus kembalikan posisi Islam sebagai akidah dan peraturan. Hanya Islam yang mampu mengidentifikasi akar persoalan sekaligus menyajikan solusinya.
Dalam pandangan Islam, kesehatan mutlak menjadi jaminan negara. Bukan separuh atau malah sebatas bansos. Namun dengan dana yang bersumber dari Baitul mal, negara akan membiayai seluruh pembangunan rumah sakit, klinik kesehatan, pusat-pusat pendidikan, laboratorium hingga industri obat dan farmasi. Jika BPJS sebagai badan penjamin kesehatan hari ini masih memilah dan memilih jenis sakit dan kelasnya untuk pengobatan, dalam Islam sama sekali tidak ada nilainya. Bahkan akan terhapuskan.
Sebab, kebutuhan pokok rakyat salah satunya adalah kesehatan. Negara dilarang berbisnis dengan rakyat sebab ia adalah pengurus urusan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari).
Umar bin Khatab tidak pernah mengambil langkah surut ketika ada wabah yang menyerang sebagian wilayah kekuasaannya. Dengan serta Merta beliau memerintahkan para walinya untuk memisahkan rakyat yang sakit di suatu tempat dari rakyat yang sehat. Yang sakit dilayani seluruh kebutuhan pokoknya, bahkan untuk keluarga yang ditinggalkan. Sementara yang sehat tetap bisa melakukan aktifitas dengan normal tanpa harus PPKM.
Kita butuh pemimpin yang bertakwa, takut kepada Allah yang dimana ia khawatir ketika amanah kekuasaan yang ada padanya tidak berguna untuk rakyatnya sedikitpun. Apa lagi jika tujuannya membangun hubungan dengan rakyatnya sekadar untung rugi. Rasulullah pernah mendoakan pemimpin yang memiliki tabiat ini. "Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia". (HR. Muslim No 1828).
Wallahu a' lam bish showab.

0 Komentar