KEGAGALAN NEGARA DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN ANAK


Oleh: Ratu Rahmani
Aktivis dan Tenaga Pendidik

Masih hangat di ingatan kita kejadian pengusiran siswi SD 002 Samarinda yang sempat viral. Penyebab pengusiran siswi berinisial MF itu terjadi dikarenakan tidak memiliki seragam sekolah dan handphone (HP). Setelah kejadian tersebut ramai, pihak guru dan MF melakukan mediasi dan kedua belah pihak mengaku kejadian ini hanya salah faham saja.

Pengusiran yang dilakukan guru kepada MF disebabkan siswi tersebut tidak pernah mengikuti pelajaran daring dan pembelajaran tatap muka (PTM), disebabkan MF tidak memiliki HP dan seragam sekolah. Karena sebab itulah MF tidak mendapatkan informasi terkait proses pembelajaran sebagaimana mestinya.

Disamping itu Asli Nuryadin, Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda menyatakan telah memanggil guru serta kepala sekolah terkait. Dinas Pendidikan Samarinda juga telah berkomitmen memfasilitasi MF agar dapat mengikuti proses pembelajaran sebagaimana mestinya.

Pengusiran MF adalah satu dari banyaknya kasus serupa yang kebanyakan dari kasus tersebut tidak terekspos media, banyak pula yang sampai putus sekolah. Menurut laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, ada 75.303 orang anak putus sekolah pada 2021. Jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD) merupakan yang tertinggi sebanyak 38.716 orang.

Banyaknya data anak putus sekolah diatas tak lepas dari himpitan ekonomi yang dialami orang tua sehingga memaksa mereka menjadikan anaknya ikut bekerja. Indikasi tersebut bisa dilihat pula dari semakin banyaknya Anak Jalanan yang bekerja dari mulai mengamen hingga berjualan di sepanjang jalan.


Anak Putus Sekolah

Banyaknya kasus serupa MF tidak lepas dari peran negara dalam memberi akses pendidikan kepada segenap masyarakatnya sehingga anak mampu ikut dalam program pendidikan.

Sistem pendidikan haruslah adil dan tidak diskriminatif dalam setiap kebijakan, peraturan seta politiknya demi mencegah adanya pilih kasih dalam proses serta fasilitas pendidikan.

Kemudahan dalam akses pendidikan adalah kunci utama, negara seharusnya ikut ambil bagian dalam memberikan fasilitas dan kemudahan akses kepada para pendidik dan anak didiknya, juga biaya merupakan salah satu faktor yang wajib menjadi pertimbangan agar tidak membebani orang tua siswa. Lalu, apakah kemudahan akses itu telah terlaksana? Lantas apa penyebabnya jika belum?


Mencari Sumber Masalah

Gagalnya pemerataan pendidikan anak merupakan persoaalan yang harus dikaji lebih dalam terkait penyebabnya. Apakah sumber gagalnya pemerataan pendidikan anak adalah faktor teknis? atau justru faktor sistemik? Jawaban dari setiap pertanyaan haruslah akurat untuk memberikan solusi tuntas dari setiap masalah.

Sebetulnya pemerintah telah melakukan beragam upaya penanggulangan anak putus sekolah. Contohnya ketika pandemi Covid-19 menerpa dunia, kala itu pemerintah membagikan gadget untuk siswa yang tidak mampu agar dapat tetap laksanakan program pendidikan melalui daring.

Program pembagian gadget itu berhasil terlaksana dengan dukungan dari perusahaan gadget tertentu. Selain itu ada juga program pembagian kuota gratis, pembangunan infrastruktur serta jaringan internet.

Segala cara teknis yang telah dilakukan pemerintah ternyata tidak juga mampu menekan tingginya angka putus sekolah. Hal ini berarti bahwa kendala teknis bukanlah permasalahan utama dari tingginya angka putus sekolah yang terjadi.


Kapitalisme Sumber Masalah

Pada dasarnya, dalam pengelolaan pendidikan dipengaruhi sebuah sudut pandang. Sudut pandang ini pula yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara terkait pendidikan. Sudut pandang yang dipakai oleh banyak negara di dunia adalah sudut pandang barat dengan asas sekularisme dan berorientasi materialistik. Sehingga, kita bisa saksikan bahwa pendidikan yang ada di dunia ini tidak menjadikan agama sebagai panduan dan bukan berorientasi untuk menghantarkan pada generasi umat terbaik (khairu ummah).

Pendidikan dipandang sebagai sebuah komoditas. Artinya pendidikan adalah obyek untuk dikomersilkan atau ladang bisnis. Harapannya terbuka luas bagi para pemilik modal untuk meraup keuntungan dari bidang pendidikan. Pendidikan tak lagi dipandang sebagai kebutuhan yang setiap orang berhak mendapatkannya, tapi menjadi sebuah komoditas yang hanya kalangan tertentu yang bisa mengaksesnya. Sehingga tidak ada sekolah terbaik didapatkan secara gratis. Inilah masalah aksesibilitas yang mengakar pada sudut pandang khas barat itu sendiri.

Bukan hanya itu saja, dengan sudut pandang yang sekuler-materialistik pula, negara tidak lagi berperan penuh sebagai pengurus umat, melainkan hanya sekadar regulator dan fasilitator saja. Sehingga negara bertindak ala kadarnya, bukan sepenuh hati dan tanggung jawab, menjadikan setiap individu bisa mendapatkan pendidikan. Inilah model negara dalam sistem kapitalisme.

Anggaran dana untuk pendidikan pun juga minim. Sebagaimana kita lihat bahwa anggaran untuk pendidikan di negeri ini saja tidak begitu besar, sedangkan kebutuhan pendidikan begitu besar. Mulai dari infrastruktur yang memadai, sarana dan prasarana, gaji tenaga pendidikan, buku dan media pembelajaran, dan lainnya. Ini tidak bisa diserahkan pada individu, tapi kapitalisme membuat individu terbebani di tengah kondisi ekonomi yang kritis. Na'udzubillah.

Inilah sederet realitas dari sistem kapitalisme di dunia pendidikan. Kapitalisme yang juga merasuk dalam berbagai aspek tentu mempengaruhi kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Sehingga, pendidikan terkena imbasnya.

Apabila perbaikan dilakukan di sisi pendidikan saja tentu tidak mungkin, karena pendidikan adalah aspek yang saling berkaitan dengan aspek lain seperti mata rantai. Di sinilah butuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus penerapan sistem kapitalisme ala barat ini, jika ingin masalah pendidikan dan masalah lainnya bisa selesai secara tuntas.


Islam Menjawab Masalah

Jika kita tidak bergantung pada kapitalisme, maka beralihlah pada satu-satunya pilihan shahih yaitu syariat islam. Islam bukan hanya sekadar agama ritualitas tanpa aturan (nizham). Islam memiliki seperangkat konsep (fikrah) dan metode pelaksanaan (thariqah), sebagai tanda sebuah ideologi (mabda').

Dalam sebuah ayat Allah ﷻ menerangkan:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jatsiyah [54]: 18)

Islam juga memiliki sudut pandang khas mengenai pendidikan. Dalam islam, pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat. Ditambah ada sebuah kewajiban menuntut ilmu dalam islam. Baik menuntut ilmu agama yang hukumnya fardhu 'ain maupun ilmu umum yang hukumnya fardhu kifayah.

Hanya saja dalam islam, pemenuhan pendidikan bukan tanggung jawab individu semata, melainkan ada peran negara yang cukup besar. Dalam Islam negara wajib memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupannya per individu, baik laki-laki maupun perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Dengan pandangan pendidikan adalah kebutuhan maka tak lepas dari sistem ekonomi yang diterapkan. Di sinilah penting pula untuk menjadikan aspek lainnya berdasarkan syariat islam. Islam akan memerhatikan dari sisi anggaran, media, tenaga kerja, riset, industri sampai pada tataran politik luar negeri. Negara dalam Islam itu benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan.

Sehingga kita akan menemukan bahwa dengan syariat islam maka muncul pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya. Kualitas pendidikannya dilihat dari penerapan kurikulum yang berdasarkan islam juga menghasilkan generasi yang bertaqwa. Bebas biaya bisa didapatkan dengan pengelolaan sumber pemasukan negara dan pengelolaan harta yang termasuk kepemilikan umum seperti sumber daya alam yang Allah ciptakan. Itu semua bisa terealisasi secara menyeluruh.

Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat Muslim mengatakan seorang imam atau kepala negara adalah penggembala atau penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas penggembalaan atau kepemimpinannya.

Jelasnya, meskipun negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh warga negara, bukan berarti individu dilarang menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Setiap warga negara diperbolehkan mendirikan sekolah, madrasah, pesantren, atau lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan, boleh menarik kompensasi atas jasa yang telah mereka berikan itu. Namun, kebanyakan memang berbentuk lembaga wakaf karena kecintaan pada ilmu. Masyaa Allah.

Betapa sempurnanya pengaturan islam mengenai pendidikan. Kita tidak menemukan kegagalan sistemik dalam sejarah peradaban islam. Melainkan kita hanya menemukan abad keemasan dengan kemajuan di bidang tsaqofah dan penguasaan sains dan teknologi. Lahirnya para ulama dan ilmuwan yang berkhidmat kepada umat. Mari kita kembali pada syariat islam kaffah, menegakkan khilafah rasyidah agar hidup lebih berkah. Aamiin. Wallahu a'lam bish shawab.

Posting Komentar

0 Komentar