
Oleh: Rayna Nursafitri
Mahasiswa Peduli Umat.
Pemerintah memastikan akan menghapus tenaga honorer mulai 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dengan adanya keputusan itu maka Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas dua jenis antara lain PNS dan PPPK. Tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan sistem outsourcing.
Meski begitu, masih ada kesempatan bagi tenaga honorer mengikuti tes CPNS. Tapi tentu tidak semua bisa lulus dalam tes tersebut. Melansir keterangan resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), pada tahun 2018-2020, sebanyak 438.590 THK-II (tenaga honorer kategori II) mengikuti seleksi CASN (CPNS dan PPPK). Per Juni 2021 (sebelum pelaksanaan seleksi CASN 2021), terdapat sisa THK-II sebanyak 410.010 orang. Itu artinya masih ada sebanyak 410.010 tenaga honorer saat ini. Jumlah THK-II itu terdiri atas tenaga pendidik sebanyak 123.502, tenaga kesehatan 4.782, tenaga penyuluh 2.333, dan tenaga administrasi 279.393.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).
"Tenaga honorer sekarang kesejahteraannya jauh di bawah UMR. Pemerintah dan DPR mencari jalan agar kompensasi tenaga honorer bisa setara dengan UMR," dengan penghapusan tenaga honorer pada 2023, maka keberadaan pekerja bisa ditata di setiap instansi. "Untuk mengatur bahwa honorer harus sesuai kebutuhan dan penghasilan layak sesuai UMR, maka model pengangkatannya melalui outsourcing," kata politisi PDIP itu. Kendati demikian, instansi tak bisa serta merta mengangkat pegawai honorer menjadi pekerja outsourcing. Pengangkatannya harus sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan masing-masing instansi.
Yang saat ini statusnya honorer tidak langsung diberhentikan tahun 2023. Tenaga non-ASN tetap dibutuhkan, hanya saja pola rekrutmennya ke depan harus sesuai kebutuhan, mendapat penghasilan layak setidaknya sesuai UMR.
Kebijakan pemerintah ini hanya berfokus menyelesaikan masalah penumpukan jumlah guru honorer agar tidak memberatkan tanggungan keuangan pemerintah pusat. Padahal bila di praktikkan kebijakan ini akan berdampak ratusan ribu tenaga kehilangan pekerjaan, juga akan menimbulkan masalah sosial ekonomi bahkan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.
Kebijakan ini mengindikasikan lepas tangannya pemerintah pusat terhadap guru dan kebutuhan kesejahteraan guru. Ini juga mencerminkan rendahnya perhatian terhadap nilai sektor pendidikan bagi pembangunan SDM.
Kenyataannya, jumlah guru honorer yang cukup besar ini sudah sangat membantu bagi kebutuhan guru di negeri ini. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, "Honorer itu sangat membantu, sangat. Kalau mau jujur, ambil data Dikbud, 48 persen guru negeri, itu tahun lalu. Dengan posisi pensiunan 50.000 sampai 70.000 setahun bisa dibayangkan. Belum lagi banyak guru untuk jabatan tertentu di daerah. Itu makin mengurangi. Harus ada solusi," pungkas Unifah (Kumparan, 22/1/2020). Pemerintah seharusnya sangat mengerti keberadaan guru honorer yang jumlahnya cukup besar dan merata di seluruh wilayah Indonesia ini, menunjukkan kekurangan tenaga pendidik yang berstatus ASN. Padahal yang namanya pendidikan sangat ditentukan oleh tenaga pengajarnya, baik jumlah maupun kualitasnya. Namun dari tahun ke tahun, jumlah guru honorer selalu meningkat, kisah penderitaannya pun tidak pernah sepi dalam pemberitaan media. Paradigma sistem pendidikan di negeri ini patut dipertanyakan. Apakah pendidikan menjadi hal yang dianggap penting dan krusial? Jika ya, mengapa justru faktor penunjang pendidikan, yaitu ketersediaan tenaga didik yang handal selalu menjadi masalah yang berkepanjangan?
Jika kita menelaah penerapan sistem pendidikan dalam Islam, sungguh sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Berawal dari paradigma mendasar bahwa pendidikan adalah salah satu hak warga negara yang harus dijamin oleh negara, maka negara Khilafah Islamiyyah akan menjamin kebutuhan masyarakatnya.
Jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara itu diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat, menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara Khilafah juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.
Semua guru yang melayani pendidikan di instansi negara berstatus sebagai Pegawai Negeri yang mendapatkan gaji dari baitulmal. Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan Negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Mekanisme inilah yang membuat negara Islam mampu mencukupi ketersediaan tenaga guru sekaligus menjamin kesejahteraan mereka sebagai abdi negara. Sehingga tidak perlu ada guru honorer, karena semua guru dijamin oleh negara.
Oleh karena itu jika penghapusan guru honorer ini dalam rangka menjadikan semua guru honorer menjadi aparatur negara yang dijamin kesejahteraannya seperti dalam sistem Khilafah Islam, tentu tidak akan ada penolakan dari para guru. Namun jika mereka nantinya tersisih karena kuota ASN dan PPPK yang terbatas, inilah bukti nyata kezaliman penguasa sekuler terhadap para pahlawan tanpa tanda jasa.
Wallahu 'alam Bish-Shawwaab...

0 Komentar