PENGHAPUSAN TENAGA HONORER: SOLUSI ATAU IRONI?


Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat

Mulai 28 November 2023 pemerintah akan memastikan untuk menghapus tenaga honorer. Hal tersebut tertulis dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Menurut keterangan resmi kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), jumlah THK-II (Tenaga Honorer Kategori II) sebanyak 410.010, yang terdiri atas tenaga pendidik sebanyak 123.502, tenaga kesehatan 4.782, tenaga penyuluh 2.333, dan tenaga administrasi 279.393.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).

Selama ini, pekerja honorer bukan direkrut oleh pemerintah pusat, melainkan diangkat secara mandiri oleh masing-masing instansi. Hal ini menyebabkan sistem perekrutan dan standar gaji pekerja honorer di setiap instansi itu berbeda-beda pula, tak ada satu standar yang sama. Dengan demikian, penghapusan tersebut untuk memberi kepastian bagi instansi tempat tenaga honorer bekerja, baik secara pengeluaran anggaran untuk upah maupun hasil kinerjanya.

Namun, kebijakan penghapusan tenaga honorer ini masih banyak menuai protes karena dinilai malah akan menimbulkan keresahan-keresahan yang lain. Karena kebijakan pemerintah ini hanya berfokus menyelesaikan masalah penumpukan jumlah guru honorer agar tidak memberatkan tanggungan keuangan pemerintah pusat. Padahal bila dipraktikkan, kebijakan ini akan berdampak kepada ratusan ribu tenaga kerja honorer yang akan kehilangan mata pencahariannya karena tidak ada lagi alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk gaji honorer. Bukan tidak mungkin hal ini akan menimbulkan masalah yang baru berupa masalah sosial ekonomi, bahkan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.

Kebijakan ini pun mengindikasikan bahwa pemerintah pusat lepas tangan terhadap kebutuhan sekolah, guru dan kebutuhan akan kesejahteraan guru. Hal ini juga mencerminkan rendahnya perhatian pemerintah terhadap nilai sektor pendidikan bagi pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam sistem kapitalisme, hubungan antara penguasa dan rakyat didasarkan pada asas untung dan rugi. Hitung-hitungan secara ekonomi selalu berlaku, sementara rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas negara. Sangat sulit bagi masyarakat, termasuk para tenaga honorer, untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemaslahatan. Dalam hal penyediaan tenaga kerja, sistem kapitalisme akan mengutamakan unsur efektivitas dan efisiensi kerja. Misalnya dengan mengurangi program padat karya yang tentu membutuhkan dana lebih besar untuk upah tenaga kerja.

Dalam sistem Islam kaffah, tata kelola urusan ummat berlandaskan aturan sederhana, pelayanan cepat, dan profesionalitas pegawai pemerintahan yang menangani urusan tersebut. Pemerintah sudah menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, terutama bagi laki-laki yang wajib berkerja mencari nafkah untuk keluarganya.

Dalam pemerintahan Islam, umat tidak akan dibingungkan dengan istilah ASN, honorer atau semacamnya. Karena, ketenagakerjaan dalam Islam menganut sistem rekrutmen berbasis pemenuhan kebutuhan, bukan sekadar status. Sistem penerimaan kerjanya pun tidak mematok syarat yang kompleks. Yang terpenting, ia adalah warga negara Khilafah dan memenuhi kualifikasi baik laki-laki maupun perempuan, baik muslim maupun non-muslim.

Akad ijarah (kontrak kerja) adalah sistem upah yang dipakai oleh negara Khilafah, dan tentunya para tenaga kerja akan mendapatkan gaji yang layak sesuai pekerjaannya. Proses pemberian gajinya pun tidak berbelit-belit. Ketika dalam kontrak sudah tertulis gaji diberikan setiap bulan, maka gaji langsung diberikan saat itu juga. Tidak ada gaji yang sampai ditangguhkan selama berbulan-bulan, seperti yang sudah marak terjadi di dalam sistem Kapitalisme.

Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, upah setiap guru di Madinah yang mengajar anak-anak adalah 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas; 15 dinar=63,75 gram emas). Apabila harga 1 gram emas saat ini adalah Rp. 900.000, maka gaji guru pada saat itu sebesar Rp. 57.375.000 setiap bulannya. Tentunya, penggajian tersebut tidak berdasarkan sistem kasta ketenegakerjaan seperti di dalam sistem saat ini. Yang jelas mereka adalah tenaga kerja, tanpa memandang ASN atau honorer.

Begitulah ketika Islam diterapkan dalam berbagai lini kehidupan. Negara akan menjamin seluruh kesejahteraan dan kemaslahatan setiap warganya, baik muslim ataupun non-muslim. Jadi, apa yang diragukan lagi? Sudah saatnya kita beralih dari sistem rusak buatan manusia ini kepada sistem Islam yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu 'alam bish-shawwaab.

Posting Komentar

0 Komentar