
Oleh: Siti Aminah
Ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi korban penipuan modus baru dengan iming-iming keuntungan 10% dan berutang pinjaman online (pinjol). Kini, mereka terjerat utang dengan total tagihan ditaksir miliaran rupiah. Sebagian dari mereka bahkan diteror oleh penagih utang, atau debt collector.
Yang terjadi pada para mahasiswa itu adalah “penipuan untuk investasi”. Mereka diminta berinvestasi dengan dana pinjaman online dan diiming-imingi bagi hasil 10% per bulan dari nilai investasi yang mereka berikan. Alih-alih mendapat untung, kini mereka malah mendapat buntung. Sebab selain tak menerima keuntungan, mereka juga harus membayar cicilan utang dari pinjaman online. Dalam kasus penipuan itu, masing-masing mahasiswa IPB berutang melalui pinjaman online sekitar Rp2 juta hingga belasan juta rupiah.
Dia memperkirakan jumlah utang 116 mahasiswa yang dilakukan melalui pinjol itu sekitar Rp900 juta. Hingga saat ini, kasus penipuan ini masih dalam penyelidikan kepolisian Kota Bogor. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bahwa apa yang terjadi pada ratusan mahasiswa itu adalah “modus penipuan baru”.
Sementara itu, ekonom INDEF berpendapat banyaknya mahasiswa menjadi korban penipuan, mengindikasikan minimnya literasi keuangan digital (BBC news Indonesia, 17/11/2022).
Kehidupan sekulerisme menyebabkan mahasiswa tidak mengenal agama sehingga mereka dengan mudah tertipu dengan pinjaman online yang jelas hukumnya haram, mahasiswa yang hanya berpikir materialis tidak bisa berpikir jernih karena tuntutan biaya pendidikan tinggi yang cukup mahal.
Pendidikan kapitalis yang hanya memikirkan materi membuat mahasiswa ini mudah tertipu dengan investasi, mereka berpikir bisa mendapatkan uang lebih tapi tidak mengeluarkan banyak tenaga sehingga mereka bisa fokus dalam pendidikannya.
Pendidikan di Indonesia ternyata masuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal menurut survei yang dilakukan oleh HSBC. Indonesia berada di peringkat 13, sementara posisi pertama diduduki oleh Hong Kong.
Sangat mahalnya biaya kuliah pada Pendidikan Tinggi tak terkecuali Pendidikan Tinggi Negeri, apapun alasannya, adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa lembaga Pendidikan Tinggi tersebut dikelola di atas prinsip-prinsip liberalistik, kapitalistik, komersialitik, bukan sosial (gratis atau dengan biaya sangat murah).
Bersamaan dengan itu, tidak sedikit yang terkecoh dengan gagasan tata kelola yang liberalistik tersebut. Yang demikian karena gagasan ini dipoles dengan prinsip-prinsip yang dipandang elegan. Seperti efisien, efektif, anti korupsi, birokrasi sederhana, transparansi, dan gagasan-gagasan serupa dari prinsip good governance. Yang bila diteliti secara seksama prinsip-prinsip tersebut hanyalah untung melanggengkan liberalisasi layanan publik dalam hal ini pendidikan tinggi dan tata kelolanya. Dimana fungsi pemerintah dikebiri sebatas fasilitator dan regulator saja.
Bukan hanya itu, bukan satu dua orang yang berpendapat bahwa mahalnya pendidikan tinggi (baca liberalisasi) tidak menjadi masalah yang penting “kualitasnya”. Asalkan “kualitas” yang ditawarkan sesuai dengan besarannya bayaran itu tidak menjadi masalah. Ini adalah logika dari benak-benak yang telah teracuni ide individualiastik, yang menyalahi ketentuan Islam.
Lebih dari pada itu semua, tata kelola pendidikan tinggi yang baik tidak akan pernah terwujud selama komersialisasi menjadi jiwa tata kelola. Bahkan inilah (liberalisasi,komersialisasi) yang menjadi sumber petaka pendidikan tinggi saat ini. Mulai dari biaya pendidikan tinggi sangat mahal, hingga disorientasi visi dan misi pendidikan tinggi. Jelas ini konsep tata kelola pendidikan tinggi yang menyalahi ketentuan Islam, di samping amat sangat membahayakan masa depan umat.
Tata kelola pelayanan pendidikan tinggi sebaiknya hanyalah dengan prinsip-prinsip dan sistem politik yang selaras dengan karakter asli pengelolaan pelayanan pendidikan tinggi tersebut. Yaitu seperangkat prinsip yang sesuai ketentuan Allah ï·», Zat Pencipta manusia. Diterapkan melalui sistem pemerintahan yang telah didesain Allah ï·» sedemikian rupa sehingga selaras bagi keniscayaan terealisasinya sejumlah prinsip tersebut di tataran realitas, yaitu Khilafah Islam. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya adalah:
Pelayanan pendidikan harus steril dari unsur komersial. Artinya Negara berkebijakan setiap individu masyarakat dijamin aksesnya oleh Negara terhadap pelayanan pendidikan gratis berkualitas, tanpa membayar sepeserpun. Hal ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap muslim, dan menjadikan pelayanan pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang dijamin langsung pemenuhannya oleh Negara. Hal ini akan menjamin tersedianya calon peserta didik berkualitas dan memadai untuk mengikuti pendidikan di tingkat pendidikan tinggi. Dan pada tingkat perguruan tinggi, pendidikan gratis berkualitas disediakan sesuai kebutuhan dan kemampuan Negara
Negara selain bertanggungjawab penuh juga memiliki kewenangan penuh dalam peran pelayanan pendidikan. Ini dikarenakan Allah ï·» telah mengamanahkan tanggung jawab mulia ini di pundak Pemerintah/Khalifah. Yaitu sebagaimana ditegaskan Rasulullah ï·º yang artinya, ”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari). Jadi, Negara tidak dibenarkan hanya melakukan langkah politik yang mengakibatkan peran Khalifah tereduksi sebatas regulator/fungsi administratif belaka.
Strategi pelayanan harus mengacu pada tiga aspek. Yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional. Yang demikian karena Rasulullah ï·º telah bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya Allah ï·» mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (melaksanakan qishash) lakukanlah secara ihsan. Jika kalian menyembelih lakukanlah secara baik/sempurna.” (HR Muslim).
Anggaran mutlak. Artinya Negara berkewajiban mengalokasikan/menyediakan anggaran dengan jumlah yang memadai untuk pengadaan pelayanan pendidikan gratis berkualitas bagi setiap individu masyarakat. Karena jika tidak, akan mengakibatkan kemudharatan, yang dilarang Islam. Sabda Rasulullah ï·º yang artinya, “Tidak boleh membuat mudharat (bahaya) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain”.(HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Pengelolaan keuangan haruslah dengan penuh amanah (anti korupsi, tidak boros) Yang demikian karena Rasulullah ï·º telah bertutur, yang arti penggalan akhirnya menyatakan, “……Maka demi Allah tidaklah salah seorang kalian mengambil darinya (hadiah) sesuatupun tanpa hak melainkan ia akan datang dengan membawanya pada hari kiamat”. (HR Bukhari)
Peran individu/swasta dalam pengelolaan pendidikan (tinggi) tidak dibenarkan karena mengakibatkan terjadinya pelalaian tanggung jawab dan fungsi pemerintah terhadap pelayanan pendidikan masyarakat.
Demikian prinsip-prinsip tata kelola pendidikan tinggi yang menjamin akses setiap orang pada pendidikan tinggi gratis/murah lagi berkualitas.
0 Komentar