PROYEKSI KONDISI DI TAHUN POLITIK 2023


Oleh: Wahyudi al Maroky
Dir. Pamong Institute

Tak lama lagi kita akan segera meninggalkan tahun 2022 dan segera memasuki tahun 2023. Bagi para politisi, tahun 2023 sangatlah teramat penting karena merupakan tahun politik untuk mempersiapkan pertarungan politik di tahun 2024. Kemenangan politk dalam pesta demokrasi 2024 sangat ditentukan oleh persiapan yang matang ditahun 2023. Ibarat seorang petinju, latihan persiapan mental dan fisik menjelang pertarungan itu sangatlah penting. Sangat menentukan dalam pertarungan nantinya.

Apalagi pada 2024 ada dua agenda besar politik di negeri ini, yakni Pemilu Nasional dan Pilkada serentak. Ya, pada 14 Februari 2024 ada pemilu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tentu ini akan manghabiskan banyak perhatian dan energi yang besar untuk anak bangsa, setidaknya ada 3 (tiga) pihak yang akan terlibat intensif. Pertama, para politisi yang akan berkontestasi. Kedua, para penyelenggara pesta demokrasi. Dan ke tiga, rakyat yang hendak memilih mereka. Hal ini tentu akan memerlukan biaya yang besar dan sekaligus berdampak besar bagi kehidupan rakyat negeri ini.

Selanjutnya, ditahun 2024 pula akan digelar pilkada serentak pada 27 November 2024. Ini merupakan pilkada terbesar di dunia. Ada pemilihan Gubernur di 37 Provinsi (dari 38 provinsi, minus Daerah Istimewa Yogyakarta). Juga ada pemilihan pemilihan Bupati/Wali Kota di 508 Kabupaten/Kota (dari 514 kab/kota minus 6 kab/kota di DKI). Bisa dibayangkan betapa gaduhnya dunia perpolitikan selama tahun 2023 dan tahun 2024 nanti. Bukan sekedar gaduh, tapi juga rawan konflik yang menimbulkan gesekan dilapangan.

Pertanyaannya dengan biaya dan energi yang begitu besar, apakah hasilnya akan mendapatkan pemimpin terbaik? Pemimpin yang memikirkan rakyat, menjaga, melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat? Ataukah lagi-lagi rakyat hanya akan mendapatkan janji-janji manis nan beracun yang tak pernah ditepati oleh para politisi? Siapa sebenarnya yang berkepentingan dalam pesta demokrasi ini? Dimana posisi rakyat? Lebih jauh dimana kepentingan umat islam?


Pesta Demokrasi, Pesta Para Oligarki

Pesta demokrasi yang dikenal dengan Pemilu (pemilihan umum) itu, hakekatnya bukanlah pestanya rakyat tapi sesungguhnya merupakan pestanya para oligarki. Termasuk juga Pemilukada (Pemilihan umum Kepala daerah), bukanlah merupakan pesta rakyat.

Memang dalam pesta demokrasi banyak slogan yang menghipnotis rakyat. Ada slogan kedaulatan tertinggi ditangan rakyat. Ada juga slogan “suara rakyat suara tuhan”. Ada juga slogan “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Namun faktanya rakyat tak punya kewenangan. Pertama, bahkan dari hal yang mendasar, sekedar menentukan pasangan calon pemimpin pun rakyat tak bisa. Kedua, yang menghitung perolehan suara juga bukan rakyat. Ketiga, yang menentukan siapa pemenang juga bukan rakyat. Jadi rakyat hanya sekedar diminta untuk melegalisasi dengan memilih calon yang sudah ditentukan oleh para oligarki.

Pertama, dalam menentukan pasangan calon presiden, rakyat tak bisa menentukan siapa pasangan calon yang mereka kehendaki. Pintu pencalonan di persempit oleh oligarki melalui tangan-tangannya untuk membuat aturan dan kebijakan. Maka keluarlah aturan presidensial treshold. Bahkan ketika aturan itu bawa ke MK (mahkamah konstitusi) untuk diuji materil demi minta keadilan, maka hasilnya pun mengecewakan publik.

Indikasi lain, bahwa pasangan calon sangat ditetukan para oligarki nampak saat ada calon wapres yang sudah diminta ukur baju tapi ternyata yang muncul nama lain.

Kedua, dalam hal menghitung suara, rakyat juga tak diberikan kewenangan untuk ikut menghitung. Rakyat hanya diminta untuk memilih dan mencoblos. Tapi yang menghitung bukan rakyat. Sebagai salurannya ada saksi yang boleh ikut saat menghitung namun dengan akses data yang terbatas dalam proses selanjutnya. Namun intinya rakyat tak diberikan kewenangan untuk ikut menghitung hasil pilihan mereka.

Ketiga, yang menentukan siapa pemenang hasil pemilu bukanlah rakyat. Bahkan kapan dan tempat diputuskannya pun rakyat tak punya kewenangan menentukan. Ketika diumumkan saat tengah malam buta, ketika rakyat sedang tertidur pun, semua jadi wajar-wajar saja. Ini mengkonfirmasi bahwa rakyat tak punya kedaulatan untuk menentukan calon maupun menghitung hasil pemilihan serta menentukan siapa yang menjadi pemenang.

Keempat, penyelesaian sengketa jauh dari keadilan dan harapan rakyat. Jika terjadi kecurangan maupun adanya sengketa maka pintu terakhir ada di MK. Rakyat harus mengadukan sengketa itu ke MK dengan menyiapkan bukti-bukti dengan batasan waktu yang sangat singkat. Dalam hal tersebut, keputusan terakhir ada ditangan hakim MK. Bukan ditangan rakyat.


Biaya Pesta Termahal di dunia

Tahukah kita, biaya pesta demokrasi yang harus ditanggung rakyat melalui APBN? Ternyata biaya Pemilu 2024 mencapai Rp76 triliun. Hal itu berdasarkan hasil tim konsinyering antara Komisi II DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/5/2022).

Jumlah ini 3 (tiga) kali lebih mahal dari pemilu 2019 lalu sebesar 25 trilyun. Padahal Dengan biaya 25 Trilyun yang dikeluarkan Negara, itu bisa untuk menggelar 15 kali pesta pernikahan termahal di dunia. Ya, pesta pernihakan Pangeran Charles dan Lady Diana. Dalam catatan sejarah, pesta termahal di dunia itu pernikahan Pangeran charles dan Lady Diana. Dilansir dari toprichest.com pernikahan pangeran Inggris ini menghabiskan dana US$ 48juta kala itu. Jika di sesuaikan dengan inflasi saat ini mencapai US$ 110juta atau sekitar 1,573 Trilyun. Belum lagi ditambah dengan korban jiwa yang begitu banyak. Konon mencapai 700 orang meninggal dan korban lainnya.

Lalu berapa biaya yang harus ditanggung individu calon presiden? Majah Forbes 20 November 2013 lalu memprediksi, bahwa setiap calon presiden di Indonesia minimal harus menyiapkan US$ 600 juta atau sekitar Rp 7 triliun. Asumsinya, seorang calon presiden minimal harus memeeroleh 70 juta suara untuk terpilih. Jika biaya yang diperlukan satu orang pemilih Rp 100 ribu, maka total yang harus dikeluarkan pasangan calon Rp 7 triliun.

Sedangkan untuk menjadi anggota DPRRI biaya yang diperlukan bervariasi. Anggota DPR dari PKB Daniel Johan menyebut 2 milyar. Bahkan menurut hendrawan Supratikno dari dapil Jateng ternyata memerlukan dana 5 Milyar.

Dengan biaya yang begitu mahal maka pesta demokrasi jelas menjadi hajatan para oligarki. Hanya Mereka yang punya dana besar yang bisa ikut dalam pesta tersebut atau minimal orang yang dibiayai oleh para investor politik yang bisa ikut bertarung dalam pesta tersebut.


Pesta mahal tak jamin hasilkan pemimpin yang baik

Pesta demokrasi yang begitu mahal ternyata tak menjamin hasilkan pemimpin berkualitas yang pro rakyat. Banyak calon pemimpin yang baik dan berkualitas tidak punya kesempatan untuk ikut dalam pesta demokrasi karena tidak punya dana yang cukup. Bahkan tidak ada investor politik yang mau membiayainya karena tidak bisa bersepakat (“kompromi”) dengan kepentingan para oligarki.

Kalaulah ada calon pemimpin yang baik, punya integritas dan pro rakyat itu belum cukup untuk maju menjadi calon pemimpin. Ia harus di calonkan dan punya amunisi yang cukup untuk bertarung dalam pesta demokrasi. Bahkan jika ia memiliki semua syarat, kaya dan mampu membiayai sendiri dana politiknya, ia pun harus mengikuti mekanisme dan sistem yang berlaku. Akibatnya ia terpojok dan tunduk mengikuti sistem politik yang ada.

Siapapun calon pejabat politik, ketika masuk ke dalam sistem politik demokrasi yang super mahal, ia akan banyak menerima tekanan yang harus dihadapi. Ada yang datang dari para oligarki maupun para pimpinan yang lebih tinggi. Akibatnya ia tak mampu manjaga integritasnya. Perlahan namun pasti, integritasnya mulai lentur dan makin luntur. Akhirnya ia kesulitan dan tak bisa lagi menjalankan fungsi kepemimpinan yang baik dan pro rakyat. minimal ia harus menjaga dirinya agar tidak jadi korban atau dikorbankan dalam pertarungan politik yang ada. Setidaknya ia bisa pensiun dengan selamat tanpan harus jadi korban dan meringkuk di hotel prodeo.


Pesta politik 2024 mempertahankan kepentingan oligarki

Pesta demokrasi tahun 2024 bukanlah pesta rakyat. Bukan pula agenda umat islam. Pesta itu lebih untuk kepentingan oligarki. Mereka perlu melakukan evaluasi atas loyalitas para pejabat yang mereka dukung selama ini. Mereka juga perlu mengajukan komitmen baru bagi proyek-proyek besar. Mereka juga perlu menghukum para pejabat yang dinilai kurang optimal dalam mendukung dan mengamankan kepentingan bisnis oligarki.

Oligarki politik tentu ingin mempertahankan kekuasaannya atau bahkan ingin memperbesar jabatan politiknya. Sementara oligarki bisnis tentu ingin mempertahankan keuntungan bisni mereka bahkan ingin memperbesar bisnis mereka. Oleh karenanya para oligarki tentu akan memanfaatkan pesta demokrasi yang super mahal itu untuk mengevaluasi loyalitas para pejabat yang didukungnya serta sekaligus menghukum mereka yang kurang loyal.

Pertama, menguji loyalitas para pejabat. Mereka akan mengajukan permintaan yang sangat besar demi kepentingan bisnisnya. Jika pejabat itu loyal maka akan dilanjutkan kekuasannya atau dilanjutkan oleh orang yang direkomendasikan olehnya untuk meneruskan loyalitas itu. Oleh karenanya akhir periode suatu jabatan biasanya ada keputusan penting yang masih dikeluarkan sang pejabat sebelum lengser. Ketika rezim orde lama akan berakhir, keluarlah UU PMA (Penanaman Modal Asing). Dan UU No. 1/1967 ini menjadi pintu gerbang masuknya kapitalisme dan untuk mengeksploitasi Kekayaan alam di republik ini.

Kedua, menghukum para pejabat yang kinerjanya kurang baik atau dinilai kurang loyal kepada oligarki. Ada pejabat yang main dua kaki. Misal, ketikan pesta demokrasi mendapat dukungan dana namun ketika sudah duduk kurang loyal terhadap permintaan oligarki sang investor politik. Pejabat seperti ini akan dihukum tidak mendapat perahu dalam pesta demokrasi selanjutnya. Bahkan bukan sekedar tak bisa ikut pesta demokrasi, ada juga pejabat yang dipersoalkan secara hukum sehingga harus menghabiskan waktunya dibalik jeruji besi.

Ketiga, kesempatan sekali dayung tiga pulau terlampaui. Maknanya para oligarki menggunakan ajang pesta demokarsi sebagai sarana untuk mengganti pejabat yang lebih loyal lagi dan rela melakukan apa pun untuk kepentingan mereka. Tak peduli mengorbankan kepentingan rakyat maupun kepentingan negara dan lainnya, bahkan rela mengorbankan sesama teman politik mereka, bahkan pimpinan partai sekalipun dapat dikorbankan demi melayani kepentingan para oligarki yang bisa memberikan suntikan dana investasi politik.

Jika membaca mekanisme pesta demokrasi tersebut maka sangat terasa bahwa tak ada agenda untuk membela umat islam dan meningkatkan dakwah islam. Apalagi hendak menerapkan hukum-hukum islam. Satu yang pasti terjadi adalah adanya kepentingan memanfaatkan suara umat islam untuk melegitimasi kemenagan politik oligarki.

Oleh karenanya, jika ada calon pemimpin yang direstui para oligarki tentu bertujuan untuk mengamankan kepentingan mereka. Sebaliknya jika ada calon pemimpin yang tidak pro oligarki maka para oligarki tak akan membantunya apalagi membiayainya dalam pesta demokrasi. Bahkan sebaliknya, kemungkinan mereka akan mendapat hambatan yang tak mudah untuk berhadapan dengan para oligarki dan pendukungnya.


Proyeksi kondisi di tahun politik 2024

Tahun politik 2023, merupakan tahun yang sangat sibuk bagi para oligarki. Oligarki politik akan berusaha mempertahankan, memperbesar dan meraih kekuasaannya. Sedangkan oligarki ekonomi, akan serius menyiapkan kadernya untuk mempertahankan bisnisnya dan sekaligus memperbesar bisnisnya.

Para oligarki akan sangat sibuk untuk melakukan persiapan dan langkah-langkah politiknya demi kesiapan bertarung ditahun 2024. Mereka akan bekerja siang malam untuk membangun komunikasi politik dan melakukan langkah-langkah politik secara riil.

Dalam situasi ini mereka akan meminimalisir musuh politik. Mereka akan fokus menggalang dukungan dari semua potensi yang mungkin bisa memperkuat dukungan politik dan dukungan ekonomi. Tak ada waktu dan energi untuk berkonfrontasi dengan pihak lain apalagi mencari-cari musuh politik.

Kondisi tersebut sangat ideal untuk umat islam, terutama para aktifis agar lebih fokus berdakwah ditengah umat. Fokus menyadarkan umat agar punya agenda sendiri untuk kepentingan islam dan umatnya. Tak harus mengorbankan perhatian dan waktu serta energi untuk mendukung pesta demokrasi yang mahal. Karena sesungguhnya pesta itu bukan untuk kepentingan islam dan umat islam.

Kaum oligarki tak akan sungguh-sungguh memikirkan Nasib umat islam dan kepentingan islam dalam pesta demokrasi. Bagi mereka, umat islam hanya sekedar digunakan untuk meraih suara dan memenangkan calon mereka.

Kaum oligraki hanya memberikan toleransi bagi umat islam yang mendukung calon dari para oligarki. Sebaliknya tidak akan memberikan kesempatan bagi umat islam yang ingin membawa islam untuk diterapkan. Apalagi ingin menerapkan islam dengan benar dan kaffah.

Oleh karenanya, disaat para oligarki sangat sibuk ditahun politik, maka umat islam mestinya harus sibuk dengan agendanya sendiri untuk melakukan perubahan yang lebih baik.

Semoga ada perubahan yang mendasar demi perbaikan negeri ini dimasa depan. Aamiin.

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Posting Komentar

0 Komentar