PENGESAHAN RKUHP, BUKTI ADANYA STANDAR GANDA DEMOKRASI


Oleh : Lathifa Rohmani

Pada Selasa, 6 Desember 2022, DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan saat masih banyak pihak yang menolak dengan beberapa pasal yang ada dalam undang-undang tersebut.

Masyarakat menilai bahwa substansi KUHP ini memuat banyak pasal yang bermasalah. Salah satunya yaitu pasal 218 RKUHP terkait dengan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, ketentuan tersebut bermasalah karena ini merupakan pasal yang tidak sesuai dengan keadaan Indonesia hari ini.

Ancaman pidana akan akan ditimpakan ketika masyarakat melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, karena telah menyerang kehormatan kepala negara Indonesia. Kemudian ancaman pidana tersebut akan dilipatgandakan ketika hal itu dilakukan di media sosial.

Dengan masih banyaknya masyarakat yang keberatan dengan substansi dari pasal-pasal RKUHP ini, membuktikan bahwa ada kepentingan lain di balik pengesahan undang-undang ini. Namun pemerintah dan DPR tidak peduli terhadap suara masyarakat yang menolak RKUHP ini. Mereka malah segera membawanya ke rapat paripurna dan mempercepat pengesahannya.

Padahal menurut demokrasi, pemerintah dan DPR bertugas untuk menjalankan aspirasi dari rakyat. Mereka yang duduk di kursi pemerintahan hanyalah sebagai wakil rakyat. Yang berarti, mereka harus membuat aturan berdasarkan kepentingan rakyat semata. Namun sebaliknya, ketika banyak masyarakat yang menolak sebuah aturan yang akan ditetapkan oleh pemerintah dan DPR, suara mereka malah tidak didengar.

Dalam demokrasi juga, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan suatu hal yang diatur dalam undang-undang. Pada pasal 28 dan pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat." Sudah jelas bahwa berpendapat merupakan hak setiap rakyat Indonesia. Maka, RKUHP sedikit banyaknya telah mengesampingkan amanah dalam pasal ini.

Pada praktiknya, demokrasi hanya sebagai teori. Suara atau aspirasi rakyat berguna pada saat PEMILU saja. Namun, aspirasi rakyat tidak didengar ketika hal tersebut menyangkut dengan kemaslahatan rakyat. Pemerintah dan DPR hanya akan mendengar aspirasi dari rakyatnya yang berduit saja.

Hal ini harusnya dapat menjadi hal penting bagi kita untuk dipertimbangkan, bahwa setiap aturan yang dibuat oleh manusia sangatlah lemah dan terbatas. Juga, akan sangatlah mudah untuk diubah-ubah berdasarkan kepentingan manusia. Terbukti, demokrasi merupakan aturan yang sangat lemah. Akal manusia tidaklah mampu menciptakan aturan-aturan yang mengakomodasi setiap kebutuhan rakyat. Demokrasi yang bertentangan dengan fitrah manusia sudah jelas hanya akan melahirkan perbedaan pendapat, bahkan memicu munculnya masalah baru.

Dalam pandangan Islam pun, demokrasi sangatlah bertentangan dengan Islam itu sendiri. Karena demokrasi membuang peran agama untuk mengatur kehidupan manusia. Selain itu, dalam Islam yang berhak membuat aturan hanyalah Allah ï·». Allah ï·» adalah Tuhan yang menciptakan semesta alam dan Zat Yang Maha Tahu Segalanya. Oleh karena itu, Allah ï·» telah menyediakan seluruh aturan yang memenuhi seluruh kebutuhan makhluk-Nya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang rusak. Dan hanyalah Islam yang akan mampu melahirkan kemaslahatan dan keadilan bagi setiap manusia, baik muslim ataupun non-muslim. Hal ini sudah terbukti selama 13 abad ketika Islam dijadikan sebagai aturan di dalam segala aspek kehidupan. Maka sudah saatnya kita kembali menegakkan aturan Islam di dunia ini.

Wallahu 'alam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar