POLITIK TAK BISA DIPISAHKAN DARI AGAMA


Oleh: Nurlela
Muslimah Peduli Umat

Ditengah panasnya bursa pencalonan capres dan cawapres, menteri Agama Yaqut Cholil memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. "Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebar Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil Islam tok," ujarnya.

Pernyataan menteri Agama RI menyiratkan, kalau agama Islam itu adalah sesuatu yang negatif, bahkan menjadi musuh bersama jika menyatu dengan politik dan pemerintahan. Bahkan pernyataan Menteri agama soal Islam rahmatan lil alamin juga keliru.

Salah jika kaum muslim menegakkan akidah dan syariat islam akan mengancam umat lain. Ucapan ini berbahaya dan menyudutkan ajaran islam. Komentar ini bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-qur'an surat al-anbiya ayat 107 yang artinya: "tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." selain itu juga bertentangan dengan hukum-hukum Islam.

Penggambaran negatif tentang syariat islam, terutama dalam politik dan pemerintahan, sesungguhnya datang dari barat, utamanya kaum orientas. Tujuannya untuk menciptakan Islam pobia pada politik, dengan begitu ummat islam akan memisahkan agama dan politik.

Ironisnya, hari ini justru tuduhan tersebut datang dari mulut umat Islam sendiri (Menag). Seharusnya yang harus diperingatkan oleh Menag adalah ketika agama dipisahkan dari politik dan pemerintahan (alias menggunakan prinsip prinsip sekularisme demokrasi) hal itu terbukti menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai rebutan parpol dan elite politisi setiap pemilu.

Bahkan mereka sering menggunakan prinsip Niccolò Machiavelli yaitu menghalalkan semua cara, modus pencitraan seolah merakyat dan peduli rakyat, janji palsu, dan politik uang menjadi formula baku banyak politisi. Tidak ada rasa takut lagi akan dosa-dosa akibat perbuatan mereka.

Mestinya yang pantas dicap mempolitisasi agama adalah mereka yang berkamuflase menjelang pemilu seolah islami, bersorban, berkerudung, sawon kepada para ulama, difoto sedang beribadah dan sebagainya, faktanya, keseharian mereka belum tentu demikian. Semuanya dilakukan sebagai pencitraan agar dipilih oleh kaum muslim.

Lebih buruk lagi, sistem politik sekularisme demokrasi meniscayakan politik uang, jumlah uang yang berputar dalam pemilu tidak main-main jumlahnya. Apa yang bisa diharapkan oleh rakyat dari mekanisme pemilu seperti itu? Terbukti eksekutif dan legislatif sering melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat seperti, UU Cipta kerja, rencana pembagunan IKN, bahkan rencana pencabutan pertalite untuk diganti pertamx green yang justru lebih mahal dan membuat rakyat makin tercekik.

Sudah seharusnya umat meluruskan pandangan politik dan kepemimpinan, bahwa pemimpin yang amanah buka sekedar pemimpin yang sholeh secara personal, tetapi justru menciptakan kesholehan secara menyeluruh. Ia tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah ï·», sebab ia yakin tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah islam.

Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan sekedar memilih yang beragama islam, tetapi memilih pemimpin yang akan menjadikan islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam. Tanpa menerapkan syariat islam, sesholeh apapun seorang pemimpin tidak akan mengundang rahmat dari Allah ï·».

Wallohua'lam bisshowab

Posting Komentar

0 Komentar