HARI JUMAT


Oleh: Muslihah
Sahabat Surga Cinta Qur'an

Dalam ajaran Islam tidak ada hari yang jelek, terlebih hari sial. Tak sekalipun Baginda Rasulullah ﷺ menyebut salah satu sebagai hari buruk. Oleh karena itu, tak ada alasan meninggalkan sebuah aktivitas dengan alasan bukan hari baik.

Hal seperti ini tak jarang masih terjadi dalam masyarakat pada umumnya. Sepasang anak manusia yang hendak melakukan ibadah pernikahan, harus ditunda atau bahkan gagal hanya sebab perhitungan jahiliyah yang menganggap tak ditemukan hari baik untuk menyatukan mereka. Astagfirullah.

Pada dasarnya semua hari adalah hari baik, namun yang terbaik adalah hari Jumat. Hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda:

Sebaik baik hari yang matahari terbit adalah hari Jum’at, dihari Jum’at Nabi Adam diciptakan, diihari Jum’at Nabi Adam dimasukan kedalam surga, dihari Jum’at juga Nabi Adam dikeluarkan dari dalam surga dan tidak tegak hari kiamat kecuali di hari Jum’at.” (HR Muslim)

Pada hari Jumat pula Allah ﷻ memberi perintah khusus untuk orang beriman. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَا سْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۗ ذٰ لِكُمْ خَيْرٌ لَّـكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 9)

Memang Allah Maha Sempurna. Dalam hal hendak menyerukan sebuah kewajiban bagi manusia, Dia memulai dengan panggilan, "Wahai orang-orang beriman".

Hal ini menegaskan bahwa kewajiban yang akan disampaikan khusus untuk orang beriman. Maka mereka yang enggan mendatangi panggilan Allah ﷻ sudah bisa dipastikan jika mereka tidak beriman. Dengan kata lain mereka yang tak mematuhi perintah Allah ﷻ, ia menempatkan diri di luar orang beriman.

Tak jarang ada kekecewaan melihat banyaknya orang yang mengaku beragama Islam, tetapi di waktu Zuhur hari Jumat terlihat berkeliaran di luar masjid dengan pakaian yang jelas tak hendak melakukan ibadah. Pernah suatu kali di tengah hari mulia itu, seorang penjual buah yang biasa mangkal di depan pabrik sebelah rumah dengan terlihat tidak enak hati berkata,

"Kulo mboten Jumatan, Neng."

Padahal sebelumnya aku tak berbicara sepatah kata pun.

"Kenapa, lo, Pak?" Akhirnya aku jadi bertanya.

"Mboten mbeto rasukan (Tak membawa baju ganti)".

Segera aku balik ke rumah, kuambilkan sepotong baju suami yang masih bagus, dan selembar sarung baru. Ingin aku membuktikan bagaimana responnya. Apakah ia akan ke masjid yang hanya berjarak kurang dari seratus meter atau meneruskan berjualan? Ternyata ia lebih memilih mengabaikan panggilan Allah ﷻ dari pada melayani pembeli, emak-emak buruh pabrik.

Inilah bukti lemahnya akidah dan iman umat pada hari ini. Berjualan tentu dimaksudkan mencari rezeki halal. Namun, ia melupakan bahwa Sang Pemberi rezeki adalah yang mewajibkan shalat Jumat. Bahkan pada ayat itu dengan rinci berseru, "Apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli."

Tak cukup hal itu, Allah ﷻ kembali menegaskan, "Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Sayangnya dengan melupakan atau dengan kata lain tidak yakin bahwa Allah ﷻ yang mengatur rezeki, maka mereka lebih memilih menghadang laba penjualan yang tak seberapa dibanding dengan dosa yang ia peroleh, serta pahala dan barakah shalat Jumat yang di dia-siakan. Masyaallah.

Teringat cerita di masa Amirul Mukminin Umar Bin Khattab yang bertemu dengan seorang anak penggembala kambing, ia berkata,

"Wah, kambingmu banyak sekali. Boleh aku membelinya seekor?"

"Maaf Tuan. Kambing-kambing ini bukan milikku. Aku tak berhak menjualnya," jawab anak lelaki itu.

"Bukankah majikanmu tak akan tahu jika hanya berkurang seekor saja? Sementara kamu mendapat uang dari penjualannya?" Umar sengaja menguji.

"Memang benar majikan saya tak tahu. Tapi dimana Allah? (Bukankah Allah Maha Melihat?) Sedang aku takut akan murka-Nya." Pemuda itu tak menyadari jika yang sedang bersamanya adalah orang nomor satu di masanya.

Mendengar itu Umar menitikkan air mata bahagia, sebab bertemu dengan anak yang jujur berdasarkan takut kepada Allah ﷻ.

Khalifah kedua dari Khulafaur Rasyidin juga menemukan seorang lelaki yang seharian di masjid tanpa bekerja. Lelaki itu mengandalkan rezeki dari Allah ﷻ. Kemudian ia dinasehati oleh sang khalifah bahwa bekerja mencari nafkah keluarga bagi lelaki itu adalah kewajiban, yang mana menunaikannya merupakan ibadah.

Kisah ini berkebalikan dengan fakta penjual jual buah yang aku temukan. Namun, yang bisa diambil pelajaran bahwa mengharapkan rezeki dari Allah ﷻ tanpa usaha dalam syariat Islam pun salah. Namun menafikan Allah ﷻ sebagai pengatur rezeki juga tidak benar. Di sisi lain, menjadi penguasa itu memiliki kewajiban meluruskan rakyatnya yang melakukan kesalahan, baik terkait dengan masalah duniawi (muamalah) maupun masalah ukhrawi (peribadatan).

Lebih dari itu bahwa setiap yang manusia lakukan di dunia merupakan bekal kembali kepada Allah ﷻ. Jika sesuai dengan aturan Allah ﷻ maka akan mendapat keberuntungan, mendapat rida Allah ﷻ masuk surga. Sebaliknya jika tak sesuai akan mendapatkan azab neraka.

Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar