MEMBUKA WARUNG


Oleh: Muslihah
Sahabat Surga Cinta Qur'an

Ramadhan bulan puasa. Kaum muslim menjalankan mulai dari terlihatnya hilal tanggal satu Ramadhan hingga berakhir saat melihat hilal di bulan Syawal. Dulu saat aku masih mondok lebih dari tiga puluh tahun silam, orang buka warung sebada Asar, untuk mempersiapkan berbuka. Meski tak dipungkiri ada beberapa yang melayani walaupun makan di tempat. Itu pun dengan keadaan warung tertutup, kecuali sebuah pintu yang terbuka setengah, sekedar cukup lewat.

Sekitar dua puluh tahun lalu, orang masih malu-malu membuka warung di siang hari bulan Ramadhan. Mereka memastikan warung tertutup rapat. Itu pun setelah setengah bulan puasa ini terlampaui. Semakin ke sini, orang semakin tak punya malu membuka warung makan sejak pagi. Hanya awal bulan saja yang libur. Mirip sama anak sekolahan, yang libur di awal bulan puasa.

Ramadhan tahun ini di desaku dan sekitarnya, tak ada acara tutup warung makan di pagi, siang apalagi sore hari. Sebagian ada yang masih sedikit sopan dengan menutup warung dengan tabir. Sebagian hanya tertutup sebagian. Bahkan penjual bakso di pinggir jalan sudah mangkal sejak menjelang Zuhur.

Semakin ke sini, secara umum penghormatan terhadap bulan suci ini semakin luntur. Keadaan ini seakan wajar sebab tidak ada support sistem terhadapnya. Bahkan dari pemilik kewenangan mengimbau agar kaum muslim yang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa. Imbauan ini seakan baik dan benar, bahwa orang yang berpuasa semestinya memiliki kerendahan hati dan toleransi terhadap mereka yang berkeyakinan di luar Islam.

Akan tetapi, sadarkah mereka dengan ucapan itu mereka berpihak kepada siapa? Siapakah yang lebih berhak dibela, apakah (agama) Allah ﷻ ataukah taghut? Jika memang mereka seorang yang mengaku umat Nabi Muhammad ﷺ, seyogyanya membela agama yang dibawa oleh Baginda Rasulullah ﷺ kan?

Dulu waktu aku masih kanak-kanak dan remaja, diajarkan agar saat tidak puasa (sebab sakit atau haid) maka jika makan dan minum harus dengan sembunyi-sembunyi di dalam kamar. Hal ini tak sekedar menghargai mereka yang sedang berpuasa, lebih dari itu menjunjung tinggi bulan suci ini.

Sayangnya, pemahaman ini semakin hari semakin terkikis. Tak hanya di kalangan umum, bahkan di lingkungan kaum muslim sendiri? Bagaimana mungkin bisa terjadi? Banyak hal yang mempengaruhi, diantaranya pendidikan yang tak berbasis Islam.

Pendidikan dewasa ini berbasis sekuler, yang memisahkan antara sistem hidup dan sistem beragama. Padahal dalam Islam semua perbuatan tak lepas dari aturan Allah ﷻ. Apakah terkait shalat, zakat, puasa atau terkait makan makanan, minum minuman serta berpakaian, juga semua hal sehubungan dengan muamalah sesama manusia, jual beli, sewa menyewa, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya.

Semua ada aturannya. Dengan kata lain sejak bangun tidur hingga tidur lagi semua ada tata tertibnya, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Sang Pembuat aturan.

Menyadari semua itu terbersit dalam benakku kekhawatiran, jangan-jangan mereka yang membuat kurikulum pendidikan, yang pasti bertanggung jawab terhadap hasil pendidikan generasi seluruh negera termasuk dalam firman Allah ﷻ:

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
وَهُمْ يَنْهَوْنَ عَنْهُ وَيَنْـئَوْنَ عَنْهُ ۚ وَاِ نْ يُّهْلِكُوْنَ اِلَّاۤ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
"Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan (Al-Qur'an) dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari." (QS. Al-An'am 6: Ayat 26)

Secara logika yang melarang orang lain mendengarkan (menjalankan isi) Al-Qur'an, tentu bisa dinyatakan sesat. Tersesat dari ajaran (aturan) Allah ﷻ. Jauh dari jalan yang lurus. Alangkah ruginya mereka. Sebab orang yang seperti itu hanya neraka tempat kembali. Nauzubillah. Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar