MENYEMBAH HANYA KEPADA ALLAH


Oleh: Muslihah
Sahabat Surga Cinta Qur'an

Setiap hari kita membaca surat Al Fatihah sedikitnya tujuh belas kali. Sebab dalam lima waktu terdapat tujuh belas rakaat yang masing-masing harus membaca surah pembuka Al Qur'an itu. Maka sangat mungkin membacanya lebih dari tujuh belas kali. Lebih-lebih di bulan suci ini. Jika ditambah shalat Tarawih saja, sudah berapa kali itu, sesuai jumlah rakaatnya. Belum lagi jika ditambah tadarus, dan lain-lain.

Salah satu ayat dalam surat Al Fatihah yang setiap hari kita baca berulang-ulang itu adalah,

اِÙŠَّا Ùƒَ Ù†َعْبُدُ Ùˆَاِ ÙŠَّا Ùƒَ Ù†َسْتَعِÙŠْÙ†ُ
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (QS. Al-Fatihah 1: Ayat 5)

Ini semacam janji setia kepada Allah ï·». Bahwa hanya kepada Allah ï·» melakukan sesembahan. Hanya Allah ï·» yang patut dipatuhi. Juga memohon pertolongan itu hanya kepada Allah ï·», langsung tanpa perantara.

Nah, kalau sehari berjanji setia kepada Allah ï·» minimal tujuh belas kali, layakkah mengingkari-Nya? Layakkah durhaka kepada-Nya? Pantaskah meninggalkan perintah wajib dan melanggar larangan-Nya?

Beberapa orang mengaku hamba Allah ï·», menyembah Allah ï·» sehari lima kali sebagaimana diwajibkan bagi kaum muslim. Sayangnya di luar shalat banyak kewajiban yang ditinggalkan. Kewajiban menutup aurat dan menuntut ilmu banyak diabaikan.

Berpakaian tertutup dengan sempurna hanya di waktu tertentu, saat pengajian atau paling tidak sedang bepergian. Itu pun tidak konsisten. Lebih tepatnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Seakan berbusana itu kostum sebuah drama. Ketika sedang melakoni peran sebagai ibu rumah tangga ia akan memakai daster. Okelah, jika di rumah tak ada orang asing atau non makhram tak apa, boleh-boleh saja.

Nanti ketika sedang menghadiri resepsi pernikahan atau sebuah pesta, akan mengenakan pakaian termewah dengan perhiasan maksimal. Seakan ia mau menarik perhatian semua orang agar tertuju kepadanya. Jangan lupa dengan riasan wajah yang jika dibandingkan dengan aslinya bagai sedang mengenakan topeng. Bahkan dirinya sendiri sampai tak mengenali.

Sedang jogging atau voli memakai celana pendek dan kaus pendek. Nah, ini yang harus diwaspadai. Maksudnya sebagai seorang hamba Allah ï·», harus memiliki ilmu terkait berpakaian. Terutama ilmu agama Islam. Ya, karena dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ï·º ini sudah sempurna (QS Al Maidah: 2). Artinya sudah lengkap dengan semua perangkatnya. Termasuk aturan berbusana bagi wanita (QS An Nur:31 dan QS Al Ahzab: 59).

Di sisi lain, ia juga melanggar larangan Allah ï·» misal terkait riba. Hari ini pelaku riba bahkan sudah masuk ke jamaah pengajian-pengajian. Simpan pinjam dengan bunga sepuluh persen, sudah menjamur tanpa adanya kontrol. Bahkan jika ada kelompok pengajian yang belum membentuk badan simpan pinjam dianggap ketinggalan.

Mirisnya, hampir setiap anak sekolah, mulai PAUD disarankan menabung. Konon sebagai pembelajaran agar anak tidak boros. Sayangnya, ini pun pasti disunat oleh gurunya dengan dalih untuk membayar yang mencatat. Itu artinya generasi hari ini sejak dini sudah ditanamkan aktivitas yang melanggar larangan Allah ï·» terkait riba.

Mereka menganggap bahwa bunga sepuluh persen itu boleh jika kembali berputar untuk kepentingan bersama kelompok. Pertanyaannya, berdasar apakah alasan ini? Firman Allah ï·» atau sabda Rasulullah ï·º yang mana yang membolehkan riba semacam ini? Tidak ada sama sekali.

Bagi orang yang biasa melakukan maksiat (baca: melanggar larangan dan meninggalkan kewajiban), tak ada beda antara hari-hari biasa dan bulan Ramadhan yang mulia. Meski sanak saudara puasa, ia tetap pada kebiasaannya. Terlebih banyak warung yang buka.

Beginilah ketika urusan agama dikotak sebagai urusan individu. Puasa atau tidak puasa terserah pada masing-masing pribadi. Padahal perintah Allah ï·» terkait ini (QS Al Baqarah: 183) memerintahkan dengan frasa كتب عليكم الصيام "Diwajibkan atasmu berpuasa."

عليكم Berarti yang diajak bicara oleh Allah ï·» itu bukan hanya seorang-seorang, tetapi banyak orang. Maknanya ia diperintahkan ke cara komunal, bukan individual. Maka semestinya penerapan pun secara komunal dalam hal ini diterapkan oleh sebuah institusi yang menaungi seluruh kaum muslim. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah ï·º ketika ayat ini turun. Kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sebagai penerus Baginda yang mulia, penerapan aturan Allah ï·» dilindungi oleh negara.

Semestinya sebagai insan yang mengaku hamba Allah ï·» dan bersumpah setia kepada-Nya setiap hari menjauhi larangan-Nya. Apa pun bentuk larangan itu. Ia juga harus menjalankan setiap kewajiban yang Allah ï·» bebankan kepada setiap orang yang baligh, berakal dan mengaku beragama Islam.

Untuk itu, diperlukan ilmu. Maka Allah ï·» melengkapi aturannya dengan kewajiban menuntut ilmu tanpa ada kata berhenti kecuali malaikat Izrail beraksi mengakhiri kehidupan di dunia, barulah kewajiban menuntut ilmu selesai. Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar