
Oleh: Diaz
Jurnalis Lepas
Dilansir dari CNBC pada 06 Maret 2024, PT Jasamarga Transjawa Tol (JTT) selaku pengelola Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (JJC) pengelola Jalan Layang Mohamed Bin Zayed (MBZ) bakal menaikkan tarif kedua tol tersebut mulai 9 Maret ini.
Besaran penyesuaian tarif integrasi jarak terjauh dengan sistem terbuka pada Jalan Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Layang MBZ adalah sebagai berikut:
- Golongan I : Rp27.000,- yang semula Rp20.000,-
- Golongan II dan III : Rp40.500,- yang semula Rp30.000,-
- Golongan IV dan V : Rp54.000,- yang semula Rp40.000,-
Banyak masyarakat mengkhawatirkan kenaikan tarif tol tersebut yang akan berdampak pada kendaraan angkutan barang dan menyebabkan kenaikan barang atau komoditi tersebut sehingga menyebabkan efek domino pada standar harga pasar lainnya kemudian menyumbang angka kenaikan inflasi yang tinggi.
Dalam Undang-Undang (UU), mekanisme kenaikan tarif jalan tol telah diatur dan dilegalkan dalam UU nomor 38 tahun 2004 pada pasal 48, dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 2005, khususnya pasal 68 yang mengatur soal evaluasi dan penyesuaian tarif tol yang dilakukan setiap 2 tahun sekali.
Dari UU dan PP tersebut telah jelas bahwa kenaikan tarif tol tersebut adalah hal yang lumrah dan legal secara hukum, hal ini sejalan dengan sudut pandang kapitalisme dalam mengatur perekonomian negara yang sangat mengedepankan keuntungan materi.
Dalam kacamata kapitalis, negara tidak ubahnya seperti korporasi besar di mana pemerintah berperan sebagai pedagang yang menawarkan barang dagangannya kepada konsumen demi mendatangkan keuntungan. Tindakan tersebut sangat berkebalikan dengan pandangan Islam dalam hal pengelolaan jalan.
Dalam pandangan Islam, pemerintah beserta aparatnya adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan fasilitas umum termasuk jalan. Tanggung jawab ini bersifat penuh, tidak boleh asal terselenggara yang bisa mengakibatkan fungsi dan wewenang negara tereduksi lalu menyebabkan berpindah tangannya kepemilikan jalan pada swasta, atau yang lain.
Terkait fungsinya sebagai raa’in (pelayan masyarakat), penguasa adalah pihak yang paling tidak boleh mengakibatkan kemudaratan terhadap rakyat. Adapun jika pemerintah berkepentingan mengontrak swasta untuk kepentingan tertentu yang mendesak, aktivitas ini tidak sampai memandulkan atau mereduksi fungsi, wewenang, dan tanggung jawab negara.
Islam mewajibkan seorang kepala negara terampil dalam mengelola harta milik umum termasuk jalan, haram hukumnya kepala negara mengambil untung dari penggunaan harta milik umum tersebut, apalagi sampai menyengsarakan rakyatnya. Kualitas jalan juga harus di jamin dalam Islam, sehingga tidak mencelakakan penggunanya dan itu semua harus dapat di nikmati rakyatnya bahkan secara gratis.
Dalam hal menjaga jiwa rakyat, Umar bin Khathab ketika menjabat sebagai khalifah berkata, “demi Allah jika ada seekor keledai jatuh terperosok dari negeri Irak aku khawatir keledai itu akan menuntut hisab aku di hari kiamat.” Waktu itu Umar bin Khatab tinggal di Madinah, sedang lubangnya di Irak.
Sosok pemimpin seperti Umar bin Khathab mustahil lahir dari sistem yang tidak menggunakan aturan Allah ï·», dan aturan Allah ï·» tidak akan bisa diterapkan secara menyeluruh tanpa adanya negara yang kompatibel dengan aturan Islam, negara itu adalah Khilafah yang di pimpin oleh seorang khalifah.
Walahuallam.
0 Komentar