HARI KELULUSAN HARUSKAH ANARKIS?


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Bagi orang tua yang memiliki anak kelas 9 atau 12, pasti tahu minggu-minggu ini adalah hari kelulusan. Bermacam cara mereka gagas untuk merayakannya, berbagi sembako, makanan, rihlah, wisata, mengunjungi anak yatim bahkan ada yang ekstrem yaitu budaya corat-coret seragam dan konvoi.

Meski prihatin dengan kejadian kecelakaan siswa SMK di Subang dalam rangka perpisahan kelas setelah kelulusan, namun ada yang lebih menyobek hati yaitu mencoret-coret seragam kemudian konvoi. Beberapa video di media sosial bahkan ada yang joged berpasangan, seks bebas dan lainnya yang tidak terpuji.

Seperti kejadian tawuran sejumlah pelajar tingkat SMA di kawasan Jalan Pramuka, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Dan polisi sudah mengamankan sejumlah pelajar yang terlibat (Republika.co.id, 13/5/2024).

Menurut Kepala Seksi Humas Polresta Yogyakarta AKP Sujarwo, tawuran terjadi saat konvoi pelajar tingkat SMA dalam rangka kelulusan sekolah. Betapa pendeknya pola pikir anak sekarang, hasil pendidikan kurikulum merdeka belajar semakin jauh dari kata santun dan beradab.

Merayakan kelulusan sah-sah saja, namun melakukan tindakan sia-sia bahkan membahayakan sangat tidak disarankan. Terlebih jika mereka mengaku beragama Islam. Bukan bermaksud SARA, tapi siapapun akan sepakat jika masih banyak pilihan kegiatan apa untuk perayaan kelulusan.

Namun inilah faktanya, jika kurikulum pendidikan disusun di atas ide pemisahan agama dari kehidupan (sekular). Tak ada lagi pertimbangan baik buruk halal haram sesuai standar agama yang diyakininya. Kebebasan berperilaku justru dijunjung.

Output pendidikan hari ini tak memiliki kepekaan akan persoalan umat atau setidaknya pelajar yang lain. Masih banyak yang belum seberuntung mereka bisa mengenyam pendidikan dengan lancar hingga lulus. Masih banyak yang untuk makan saja susah sehingga lebih memilih bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Bahkan ada demonstrasi menuntut keringanan UKT atau ajakan agar tak menjadi dosen lantaran gaji tak sepadan. Atau anak-anak di daerah pinggiran, tertinggal yang berjuang keras agar bisa menempuh pendidikan, bertaruh nyawa dengan medan tempuh yang jauh dan berbahaya.

Semua karena agama dipisahkan dari kehidupan, seolah agama, terutama Islam hanya berbicara di ranah domestik, urusan salat, zakat, puasa haji atau ibadah sunnah lainnya, yang itu bergantung pada individu.

Mata hati mereka jadi mati, terlalu sering bersikap egois dan individualistis karena ada kewajiban capaian akademik yang hampir tak masuk akal, bukannya merangsang akal sehingga produktif tapi malah melemahkan. Apalagi, didengungkan jika sekolah itu tujuannya agar mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Atau tak sarjana tak masalah, sebab konten kreator atau aktifitas digital lainnya hari ini juga menjanjikan.

Sungguh rendah apa yang ditanamkan, padahal dalam Islam tujuan pendidikan adalah mencetak manusia berkepribadian Islam. Yang cerdas akademik, sains, teknologi, sekaligus bertakwa, cinta Allah dan Rasul-Nya, serta tak enggan berjuang tegakkan kalimat Allah.

Seandainya mereka paham, tentulah mereka tak akan melakukan coret mencoret seragam, melainkan menyumbangkan kepada adik kelas yang tak mampu misalnya. Mereka juga tak akan melakukan konvoi karena jelas itu berbahaya bagi pengguna jalan yang lain.


Pendidikan Tak Sekadar Memperoleh Gelar Lulus

Pendidikan sejatinya seumur hidup. Namun, di era kapitalisme ini seolah pendidikan berjenjang dan hanya memperoleh gelar untuk mencari pekerjaan. Padahal pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda, pekerjaan adalah rizki, yang murni dari Allah ï·», “Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS At-Talaq: 3).

Pendidikan bertujuan menajamkan pemikiran dan mengasah kepekaan sehingga menjadi pribadi yang cerdas, tangguh dan bertakwa. Dengan ilmunya ia akan menjalani seluruh amanah dengan kesungguhan dan semata mencari rida Allah ï·».

Asas pendidikan haruslah akidah yang sahih, yaitu akidah Islam. Yang mampu menyikapi dunia hanya sebatas tempat mencari bekal untuk hidup yang lebih kekal di akhirat.

Pendidikan juga dijamin penyelenggaraanya oleh negara, dengan kualitas terbaik, baik sarana prasarana maupun tenaga pendidiknya. Yang utama mudah diakses oleh setiap individu rakyat tanpa kecuali.

Pembiayaan negara atas pendidikan diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kepemilikan umum, harta kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj dan lainnya. Juga dari pos zakat. Ini adalah pemasukan yang sangat besar dan mandiri, sangat berbeda dengan postur APBN kita hari ini.

Hasilnya, peradaban Islam begitu cemerlang mengisi sejarah manusia yang panjang. Dengan tokoh-tokoh ilmuwan hingga tingkat polymath atau menguasai berbagai disiplin ilmu. Tak sekadar berpuas diri dengan pendidikan rendah, namun terus menerus belajar sepanjang negara mampu menyediakannya. Tidakkah kita merindukan saat itu kembali?

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar